Turnkey Project Management (TPM) ialah strategi yang dilakukan oleh Tiongkok agar dapat melakukan invasi besar-besaran di negara lain. Syarat ini diajukan kepada negara tujuan investasi yang melibatkan seluruh proses seperti anggaran, pembiayaan, mesin, sistem hingga ke tenaga kerja seluruhnya harus berasal dari Tiongkok.
Wartapilihan.com, Jakarta – Keberadaan TPM ini beberapa kali disinggung oleh Mirah Sumirat selaku Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia. Ia mengaku sangat prihatin atas adanya TPM yang sejak 2016 sudah diberlakukan di Indonesia atas izin dari Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, hal yang tidak menjadi masalah jika semua sistem TPM yang diberlakukan pada Top Manegement. “Tetap yang menjadi masalah ketika TKA unskill (tidak berpengalaman) yang masuk kesini,” tutur dia prihatin, dalam acara ILC TVOne, Selasa malam, (1/4/2018).
Ia merasa tidak perlu mempekerjakan TKA yang unskill karena bisa dikerjakan oleh orang Indonesia yang notabene masih banyak yang kesulitan mencari lapangan pekerjaan dan dilingkupi kemiskinan.
Sebagai perwakilan para buruh, Mirah mengaku semakin sakit hati manakala pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Menteri tenaga kerja nomor 16 tahun 2015. “Di UU ini yang tadinya Tenaga Kerja Asing harus bisa berbahasa Indonesia sekarang dihapuskan. Bagaimana mungkin bisa mengerti peraturan di negeri ini, kalau Bahasa Indonesia aja nggak ngerti, ini menjadi sebuah persoalan,” tukasnya.
Begitu pula dengan UU No 35 tahun 2015 yang mengatur soal pekerja asing harus satu berbanding dengan sepuluh tenaga kerja lokal. “Hal itu berguna untuk transfer teknologi dan pengetahuan, tetapi kok malah dihapus. Ini maksudnya apa?” ia protes.
Ia menduga, adanya bebas visa yang mencakup 165 negara ini justru untuk memperkuat Turnkey Project Management ala Tiongkok tersebut. Pasalnya, ia menjelaskan, jika untuk menambah jumlah wisatawan yang datang tidak akan sebanyak itu, yang ada menurutnya malah akan menambah persoalan baru.
“Bebas visa 165 negara sesungguhnya dalam rangka memperkuat projek tadi. Memang berapa sih jumlah wisatawan yang datang? Yang ada tambah persoalan. Narkoba dari internasional, perjudian online, prostitusi online. Dan tidak ada sanksi pidana yang berlaku atas mereka,” pungkasnya.
Terlebih lagi, pro pemerintah terhadap asing ini semakin terlihat dari mudahnya TKA masuk hanya dengan mengurus administrasi selama dua hari. Mirah merasa geram, pasalnya ketika warga negara Indonesia hendak mengajukan pembuatan e-KTP ataupun Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bahkan membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
“Pasalnya, ketika pengajuan RPTKA, saya membuat E-KTP, SIUP, CV, PT, butuh waktu bertahun-tahun. Tetapi orang asing hanya dua hari. Orang asing gak bisa sembarangan masuk ke sini. Jaringan perdagangan organ tubuh, prostitusi internasional bisa masuk kesini dengan mudahnya,” tekannya.
Dengan demikian, ia sangat mempertanyakan mengapa untuk orang asing mudah sekali dibuat peraturan sedemikian rupa, sedangkan untuk rakyatnya sendiri masih sulit. “Maka, kami mempertanyakan, untuk siapa investasi ini? Kami tidak anti, bahkan membuka dengan senang hati, tetapi ketika membuat kesejarhteraan lebih baik, ekonomi lebih baik. Bukan sebaliknya,” tukas dia.
“Tukang masak, office boy, tukang las, pekerjaan tersebut bisa dilakukan oleh bangsa kita. Jangan merendahkan, harusnya pemerintah bangga terhadap anak bangsa sendiri,”
Mirah pun teringat janji presiden soal membuka lapangan pekerjaan sebanyak 10 juta bagi rakyat Indonesia. “Janji presiden fokusnya adalah membuka 10 juta lapangan pekerjaan untuk rakyat Indonesia, lha lha sekarang kok malah untuk TKA,” pungkas ia.
Eveline Ramadhini