Menurut Hatta makna sila pertama adalah tauhid. Kasman Singodimedjo menyesal telah membujuk Ki Bagus Hadikusumo.
Wartapilihan.com, Jakarta –Bertepatan dengan 17 Agustus 1945 kemarin, Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) memutar film Toedjoeh Kata. Film ini berkaitan dengan peristiwa 18 Agustus 1945 dimana saat itu, Piagam Jakarta yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Film ini disutradai oleh Bayu Seto, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Aktivis JIB Septian kepada Warta Pilihan (WP) menyatakan bahwa film ini telah diputar sebelumnya di Surabaya dan Yogyakarta. “Sekarang belum boleh disebarkan oleh sutradaranya,”kata Septian menanggapi permintaan WP untuk menyebarluaskan film ini. Bagi yang ingin memutar film ini, diharapkan menghubungi Muhammadiyah Multimedia Kine Klub, UMY, Bantul.
Sedangkan pegiat JIB lainnya, Beggy Rizkiansyah menyatakan bahwa pemutaran film ini dimaksudkan untuk memberikan perspektif lain tentang kemerdekaan.
“Harusnya ditampilkan juga (dalam film) dialog yang alot antara Mohammad Hatta dengan Ki Bagus Hadikusumo tentang pergantian sila pertama ini,”kata Dr Tiar Anwar Bahtiar menanggapi film besutan mahasiswa itu di Masjid Abu Bakar as Siddiq, Jakarta itu.
Tiar menjelaskan bahwa pada 18 Agustus 1945, Hatta meyakinkan kepada Ki Bagus bahwa makna sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Mendengar penjelasan tokoh republik itu akhirnya Ki Bagus menerimanya, meski sebelumnya ia menolak keras pergantian itu.
Saat itu, menurut Tiar, tokoh-tokoh Islam menerima pergantian sila pertama itu, karena kondisi darurat di hari-hari kemerdekaan itu. Dimana setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua itu, Belanda sedang bersiap-siap untuk menguasai kembali Indonesia.
Tokoh Islam saat itu berharap, Undang-Undang Dasar yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu bersifat sementara (sesuai janji Soekarno) dan di masa tenang nanti akan dirundingkan kembali tentang UUD ini.
Ketika itu, Kasman Singdomedjo berjasa besar meyakinkan Ki Bagus dengan menyatakan,”Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-undang Dasar darurat.”
Film Toedjoeh Kata memberi ilustrasi bagi tragedi yang dialami umat Islam di Gedung Cue Sangi In, pada permulaan Sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Adegan monumental dalam film ini adalah saat sosok Kasman –akibat siasat para tokoh sekuler- dengan bahasa Jawa Kromo membujuk Ki Bagus sebagai tokoh Islam untuk merelakan pencoretan tujuh kata di Piagam Jakarta. Dengan gambaran suasana hening usai Ki Bagus shalat istikharah, adegan ini menjadi sangat tragis karena sampai 30 tahun kemudian, air mata Kasman selalu menetes setiap mengingat kesalahannya merelakan tujuh kata itu terhapus dan membujuk Ki Bagus.
Seperti diketahui, menurut pengakuan Hatta, bahwa alasannya untuk mengganti sila pertama itu karena adanya desakan dari seorang opsir Jepang yang menyatakan bahwa bila sila Pertama tidak diganti, maka wilayah Indonesia Timur akan memisahkan diri.
Setelah mendapat ancaman itu, akhirnya Soekarno- Hatta mengadakan rapat kilat tanggal 18 Agustus mengganti beberapa hal yang telah disepakati pada 22 Juni 1945. Yaitu pertama, mengganti sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, mengganti kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam (pasal 6 ayat 1 UUD 1945) diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”. Ketiga, mukaddimah diganti dengan kata pembukaan.
Akhirnya pada tahun 1956-1959 dirundingkanlah kembali UUD 1945 ini dalam Majelis Konstituante. Perundingan dan rapat di Mahkamah Konstituante yang berkali-kali itu, juga mengalami jalan buntu. Voting berkali-kali tidak mencapai korum apakah Islam dipakai dasar negara atau Pancasila. Yang menarik saat itu, NU yang telah menjadi partai tersendiri dalam Pemilu 1955, bergabung bersama partai Masyumi memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Karena rapat yang mentok di Majelis Konstituante itu, akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Majelis. Dan para ulama kemudian menemui Soekarno sehingga lahirlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dimana dinyatakan dalam salah satu klausulnya bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. ||
Izzadina