Menyusul terjalinnya kerjasma keamanan antara Mesir dengan Tiongkok, Etnis Uighur di Mesir diburu oleh pihak keamanan untuk dideportasi.
Wartapilihan.com, Kairo – Mahmoud Muhammad dan keluarganya tidak berada di rumah saat pasukan keamanan Mesir mengetuk pintu apartemen mereka di Kota Nasr, pada 30 Juni lalu.
Satu jam kemudian, pasukan keamanan kembali dengan peralatan lengkap dan masuk ke apartemen dengan paksa bersama anjing pelacak di belakangnya. Polisi Mesir tersebut menanyai warga lain tentang bangunan tersebut untuk mengetahui keberadaan Muhammad, seorang anggota komunitas Uighur yang beranggota 700 orang.
Begitu mendengar kejadian tersebut, Muhammad mengatakan bahwa dia segera melarikan diri ke Turki dan memperingatkan keluarganya agar tidak lagi tidur di flat mereka. Ia sudah 15 tahun tinggal di Mesir sejak pertama kali menetap di Kairo untuk belajar di Universitas al-Azhar.
Sedikitnya 30 orang yang merupakan siswa dan warga Uighur ditangkap pada tanggal 2 Juli dari rumah dan restoran mereka di Kairo yang sering mereka kunjungi. Puluhan lainnya ditahan pada hari-hari berikutnya, selanjutnya di deportasi ke Tiongkok.
Sakhr al-Din Razi, seorang siswa Uighur berusia 22 tahun yang berhasil lolos dari penangkapan, mengatakan kepada Al Jazeera, beberapa tahanan telah dikumpulkan di dalam penjara dengan keamanan maksimum di Tora, pinggiran kota Kairo, untuk menunggu deportasi.
“Mereka terbagi dalam 10 kelompok di berbagai kantor polisi, seperti cabang Nuzha, Heliopolis, dan Ayn al-Shams,” kata Razi. “Sekarang mereka berada di Tora dan segala komunikasi telah benar-benar terputus.”
Dari Istanbul, Turki, Muhammad mengatakan kepada Al Jazeera, bahwa jumlah Uighur yang ditangkap tidak diketahui dengan pasti karena aparat keamanan Mesir belum merilis rincian.
“Yang ditahan di pusat penahanan di Bandara Kairo, Alexandria, dan Hurdaga, sekitar 30 orang, tetapi ada lebih dari 100 lokasi yang tidak kami ketahui,” katanya. “Banyak mahasiswa telah hilang, kita tidak tahu apakah dengan pilihan atau pemerintah menahan mereka di lokasi rahasia atau kantor polisi.”
Human Rights Watch merilis sebuah pernyataan setelah tindakan keras tersebut yang meminta Mesir tidak mendeportasi orang-orang Uighur kembali ke Tiongkok, sebagai minoritas Muslim, dapat menghadapi hukuman penjara atau siksaan. Seorang juru bicara kementerian luar negeri di Beijing mengakui penahanan tersebut dengan mengatakan bahwa individu tersebut akan menerima kunjungan konsuler, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Sarah Leah Whitson, juru bicara Human Rights Watch, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Mesir bertindak atas permintaan Tiongkok setelah dua pertemuan baru-baru ini antara menteri dalam negeri Mesir dan wakil menteri keamanan Tiongkok .
“Mesir ingin membangun hubungan keamanan dengan Tiongkok dan berniat melakukan kerja sama intelijen,” kata Whitson.
Xinjiang, sebuah wilayah otonom barat laut Tiongkok, merupakan rumah bagi 22 juta orang, sekitar 40 persen di antaranya adalah Uighur. Populasi Muslim yang berbahasa Turki ini telah dianiaya oleh pihak berwenang Tiongkok selama beberapa dekade.
Tiongkok menganggap Xinjiang, yang diterjemahkan sebagai New Frontier, menjadi bagian penting negara yang kaya akan sumber daya dan berbatasan dengan enam negara lainnya.
Orang-orang Uighur menganggapnya sebagai tanah air tradisional mereka dan membenci masuknya etnis Han Cina yang umumnya menerima pekerjaan dan gaji yang lebih baik.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok memperketat penguasaannya atas Xinjiang di bawah slogan memerangi “ekstremisme agama”, “terorisme”, dan “separatisme”.
Pada bulan Maret tahun ini, pemerintah mengeluarkan sebuah undang-undang yang mencantumkan 15 jenis perilaku atau komentar yang dianggapnya “ekstremisme”, termasuk larangan jilbab dan jenggot.
Ismail al-Rashidy, seorang pengacara hak asasi manusia Mesir, mengatakan bahwa beberapa orang Uighur dibebaskan setelah mendapat tekanan dari organisasi dan kampanye internasional.
“Dua belas orang seluruhnya dideportasi,” katanya kepada Al Jazeera. “Tidak ada tuntutan resmi terhadap orang-orang yang ditahan, jika tidak, mereka akan diajukan ke pengadilan Mesir. Ini adalah kasus penangkapan karena persiapan deportasi mereka kembali ke Tiongkok.”
Mesir, sebagai penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951, berkewajiban untuk tidak mengembalikan warga negara asing ke negara asalnya jika mereka menghadapi bahaya oleh pemerintah mereka.
Namun, negara-negara lain, seperti Kamboja dan Malaysia, telah melanggar hukum internasional dengan mengembalikan orang-orang Uighur ke Tiongkok. Pada bulan Agustus 2015, Thailand mendeportasi 220 orang Uighur.
Bagi Muhammad –yang membangun kehidupan baru di Mesir, termasuk kelahiran keempat anaknya—tindakan keras baru-baru ini oleh pihak berwenang Mesir sangat mengejutkannya. Dia mengatakan bahwa ada ketakutan yang meluas di masyarakat Uighur karena pasukan keamanan terus mengejar mereka. Banyak juga yang takut bepergian ke luar negeri karena bisa dihentikan atau ditahan.
“Saya tidak pernah melanggar hukum dan tidak pernah dihentikan oleh polisi atau diinterogasi oleh pihak berwenang,” kata Muhammad. “Kami tahu bahwa rakyat Mesir tidak mendukung apa yang sedang terjadi dan berdiri bersama kami.
“Di sini, di Istanbul, saya disambut oleh masyarakat Uighur,” tambahnya. “Namun, anak-anakku dan aku rindu Mesir, rumah kami, dan kehidupan kami di sana.”
Moedja Adzim