Peneliti Inggris berhasil menguak rahasia terjadinya resistensi antibiotik. Terdapat gen-gen yang berperan merangsang mutasi DNA dan mengelabui kerja antibiotik. Membantu pengembangan antibiotik yang lebih cespleng.
Wartapilihan.com, Jakarta –Ketika berobat ke dokter, kita diberikan antibiotik. Dokter bilang antibiotik harus dihabiskan. Jika tidak, kuman penyakit lama-kelamaan akan menjadi kebal kepada pengobatan. Namun kita tidak tahu mengapa bisa timbul resistensi antibiotik?
Teka-teki kini terjawab. Adalah Prof. David Grainger, periset dari University of Birmingham Institute of Microbiology and Infection, Birmingham, Inggris, yang memberikan jawabannya. Menurut Grainger, bakteri rentan terhadap mutasi DNA. “Ini adalah bagian dari evolusi alami mereka dan memungkinkan mereka untuk terus menyesuaikan susunan genetik mereka,” katanya seperti dikutip situs medicalnewstoday.com (14/11/2017).
Bakteri juga mampu melewati gen ke bakteri lain. Ini dikenal sebagai transfer gen horizontal, atau “jenis kelamin bakteri.” Sementara proses ini sebenarnya cukup langka, bakteri adalah makhluk yang sangat mobile, yang memberi mereka banyak kesempatan untuk berhubungan dengan mikroba lainnya dan meneruskan gen mutasinya.
Periset menyoroti bagaimana bakteri berspesies Echerichia coli dan anggota keluarga Enterobacteria lainnya melawan antibiotik yang biasa digunakan. Kata Grainger, ada gen dalam bakteri tadi yang disebut mar. Beberapa protein yang dikodekan dalam gen ini dapat beralih pada gen lain.
“Kami menemukan dua mekanisme yang sama sekali tidak terduga,” kata Grainger. Bakteri yang digunakan untuk melindungi diri dari antibiotik memiliki beberapa gen. Satu gen melindungi DNA mereka dari efek berbahaya dari antibiotik fluoroquinolone, dan yang lainnya mencegah doksisiklin masuk ke dalam bakteri. Hasil studinya diterbitkan dalam Jurnal Nature Communications terbaru.
Prateek Sharma, Ph.D, rekan setim Grainger, mengatakan bahwa mekanisme perlawanan yang diidentifikasi itu ditemukan di berbagai spesies bakteri. “Penelitian kami dapat mengarah pada penemuan molekul yang dapat dikembangkan menjadi obat baru yang dapat mengobati bakteri,” katanya.
Resistensi antibiotika memang menjadi masalah kesehatan bertahun-tahun. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Amerika Serikat, setiap tahun setidaknya terdapat sekitar 2,1 juta lebih penderita penyakit akibat resistensi terhadap obat-obatan yang diresepkan untuk mengobati infeksi bakteri atau jamur. Dari jumlah tersebut, 23.000 orang meninggal setiap tahun gara-gara obat tersebut gagal bekerja.
Banyak ahli, termasuk yang berasal dari CDC, percaya bahwa penggunaan antibiotik adalah penyebab utama dari superbug atau bakteri yang kebal antibiotik . Pada tahun 2011, di AS saja, 262 juta resep antibiotik rawat jalan dikeluarkan atau sekitar 80% dari total resep antibiotik. Ini berarti sisanya merupakan resep antibiotik untuk pasien rawat inap.
Padahal antibiotik diandalkan untuk memerangi sejumlah penyakit. Sejak penemuan mereka di tahun 1920-an dan pengenalan mereka ke obat-obatan utama setelah Perang Dunia Kedua, dokter mengandalkan antibiotik untuk menjaga bakteri patogen.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa resistensi antibiotik merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan dunia, keamanan pangan, dan pembangunan saat ini. Di dunia ditaksir 700.000 orang meninggal dunia setiap menurut data 2014. Jika dibiarkan angkanya bakal membengkak jadi 10 juta jiwa pada 2050.
Maka, dalam Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia yang jatuh pada pekan ini, WHO memperingatkan lagi orang bahwa penggunaan antimikroba tidak tepat membuat resistansi obat menjadi lebih buruk.
WHO meminta semua orang terlibat dalam memerangi ancaman bahaya global. “Setiap orang memiliki peran untuk membantu mengurangi resistensi antibiotik,” bunyi pernyataan WHO. Lembaga di bawah PBB ini menganjurkan agar dokter berperan aktif memberikan peneraman yang mendalam bagi pasien sebelum minum obat.
Tak hanya dokter, apoteker juga perlu terlibat. Direktur Jendral Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan bahwa apoteker berperan penting dalam memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat mengenai bahaya penggunaan antibiotika yang tidak benar.
Menurut Maura, tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya resistensi obat. “Apoteker wajib memberikan penjelasan tentang obat dan menolak pembelian antimikroba tanpa resep dokter,” katanya. Apoteker harus mengontrol penyerahan antibiotik di apotek atau klinik dan rumah sakit.
Helmy K