Militer Myanmar berusaha mengusir pengungsi di “tanah tak bertuan”. Hal itu membuat Bangladesh memanggil duta besar Myanmar.
Wartapilihan.com, Kutopalong –Myanmar pada hari Jumat (2/3) mempertahankan penempatan pasukannya di dekat perbatasan Bangladesh, tempat ribuan pengungsi Rohingya berlindung. Myanmar menyebutnya sebagai “operasi anti-terorisme”.
Langkah tersebut telah menarik kritik dari Bangladesh dengan memanggil duta besar Myanmar pada hari Kamis (1/3), sementara badan pengungsi PBB mengemukakan kekhawatiran mereka pada keberadaan militer.
Sekitar 200 tentara dikirim ke perbatasan pada hari Kamis (1/3), dekat dengan sebidang tanah terdekat antara Myanmar dan Bangladesh yang merupakan rumah bagi kamp darurat yang menampung sekitar 6.000 pengungsi Rohingya.
Garis tanah secara resmi ditetapkan sebagai wilayah Myanmar, namun secara luas disebut sebagai “tanah tak bertuan” karena letaknya di luar pagar perbatasan negara tersebut.
“Kami bertindak berdasarkan informasi yang kami dapatkan mengenai terorisme, terutama gerakan Solidaritas Arakan Rohingya (ARSA),” kata Zaw Htay, juru bicara pemerintah Myanmar, kepada kantor berita AFP, Jumat (2/3). “Itu tidak ditujukan untuk menentang Bangladesh,” kata Htay.
Bangladesh meminta segera mundurnya pasukan keamanan Myanmar – yang dilaporkan telah mengeluarkan peringatan menggunakan pengeras suara kepada Rohingya untuk meninggalkan “tanah tak bertuan” – dari daerah tersebut.
Hampir 700.000 orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak Agustus 2017 menyusul tindakan keras pemerintah, yang diluncurkan setelah serangan mematikan terhadap pos militer oleh ARSA.
Ini adalah krisis pengungsi yang paling cepat berkembang di dunia, dengan mayoritas pengungsi yang mencari perlindungan di negara tetangga Bangladesh.
Rohingya, salah satu komunitas paling teraniaya di dunia, tidak diakui sebagai warga negara Myanmar dan menghadapi diskriminasi yang meluas dari pihak berwenang. Sebelum eksodus saat ini, puluhan ribu orang Rohingya telah tinggal sebagai pengungsi di beberapa negara tetangga.
Prospek untuk Repatriasi
Myanmar dan Bangladesh mengumumkan kesepakatan repatriasi (pemulangan) pada bulan Januari, namun kelompok hak asasi manusia dan Rohingya telah menyatakan kekhawatiran tentang kesepakatan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu tidak menjamin kewarganegaraan penuh atau keamanan bagi mereka yang kembali.
Filippo Grandi, komisaris tinggi PBB untuk pengungsi, mengatakan kondisi bulan lalu di Myanmar “belum kondusif” bagi Rohingya untuk kembali.
“Penyebab pengembalian mereka belum ditangani, dan kami belum melihat kemajuan substantif dalam menangani pengecualian dan penolakan hak yang telah diperdalam selama beberapa dekade terakhir, berakar pada kurangnya hak kewarganegaraan mereka,” Grandi mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengatakan pada bulan lalu bahwa sejarah diskriminasi dan pemisahan Rohingya di Myanmar merupakan “tanda peringatan” awal dari krisis yang sedang berlangsung.
“Episode ini akan berdiri dalam sejarah sebagai bukti kegagalan bencana dunia untuk menangani kondisi yang memberikan lahan subur bagi kejahatan dan kekejaman massal,” Sekretaris Jenderal Salil Shetty mengatakan pada 22 Februari.
“Transformasi diskriminasi dan demonisasi menjadi kekerasan massal dan konsekuensi yang menghancurkannya tidak dapat dengan mudah dibatalkan,” tambahnya.
PBB mengatakan bahwa operasi militer Myanmar terjadi karena genosida. Demikian dilaporkan Al Jazeera.
Moedja Adzim