Tantangan Ekonomi di 2018

by
foto:http://www.kemendagri.go.id

Pemerintah perlu bercermin dengan negara-negar alain yang masih bisa lebih baik dalam pengelolaan ekonominya. Faktor eksternal seharusnya bukan jadi alasan. Perlu kebijakan lebih inovatif.

Wartapilihan.com, Jakarta –Sebulan lagi tahun 2017 berakhir, dan tahun 2018, perekonomian Indonesia diramalkan masih belum bisa berlari kencang. Usaha pemerintah untuk menggenjot ekonomi dengan menyelenggarakan pembangunan infrastruktur secara masif masih belum membuahkan hasil.

Setidaknya sepanjang tahun ini perekonomian Indonesia memang dihadapkan pada berbagai kendala baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Ini membuat laju pertumbuhan menjadi sangat terbatas. Hingga ujung tahun ini, diperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya mampu mencapai 5% hingga 5,2%. Capaian ini berdasar kinerja perekonomian sampai semester I 2017 hanya tumbuh 5,01%.

Konsumsi sektor rumah tangga yang porsinya 56% terhadap PDB memang tidak bisa lagi diharapkan sebagai motor utama pertumbuhan karena adanya penurunan level konsumsi yang signifikan, di bawah 5%, akibat daya beli yang menurun.
Kinerja sektor industri manufaktur pun merosot menjadi 3,88% di paruh pertama 2017, membuat sektor swasta tak memiliki peran besar dalam mendorong pertumbuhan.

Kondisi seperti ini, terjadi tahun depan, di mana tantangan yang sama juga akan dihadapi. Seperti perubahan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat dan Eropa yakni normalisasi neraca (tappering off) dan kenaikan suku bunga acuan Fed rate.

Dampak dari kebijakan moneter tersebut membuat likuiditas global kembali berkurang dan memberi tekanan pada nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2018 mendatang.

Meski pun, ada beberapa harapan yang bisa membuat ekonomi lebih baik. Seperti pemulihan ekonomi China yang berada di atas ekspektasi dengan pertumbuhan di triwulan II sebesar 6,9% (yoy).

Hal ini membuat IMF dalam World Economic Outlook pada bulan Oktober 2017 meyaini pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2018 akan tumbuh menjadi 3,7% lebih tinggi dari 3 tahun sebelumnya.

Namun, kondisi geopolitik masih perlu dicermati karena dampaknya cukup besar bagi stabilitas perekonomian global. Ketegangan di Semenanjung Korea, dengan ancaman nuklir dari Korea Utara, bisa mempengaruhi ekonomi di Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang.

Sementara di dalam negeri, inflasi akibat penarikan subsidi listrik, dan beberapa faktor lainnya, bisa memicu penurunan daya beli, khususnya membuat pendapatan di kelompok petani dan buruh menurun.

Meski begitu Bank Indonesia memprediksi, laju inflasi pada 2018, mengerucutkan proyeksinya dari sebelumnya 2,5%-4,5%, menjadi 3,3%. Angka tersebut lebih rendah dari asumsi inflasi pemerintah dalam RAPBN 2018 yaitu 3,5%. laju inflasi yang semakin rendah memang semakin baik untuk meningkatkan daya saing. Namun, laju inflasi yang terlalu rendah juga dinilai tidak baik bagi perekonomian.

Terkait pertumbuhan ekonomi pada 2018, Bank Indonesia meramalkan bisa mencapai 5,26 persen, lebih rendah dibandingkan target pemerintah dalam RAPBN 2018 5,4 persen. Di tengah masih beratnya laju perekonomian tersebut, ada harapan motor ekspor mampu diandalkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Hal ini tercermin dari kenaikan surplus neraca perdagangan bulan Agustus yang menyentuh angka US$ 1,72 milyar dolar. Sepanjang Januari-Agustus 2017 ekspor tumbuh lebih dari 17% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Kinerja ekspor yang berkontribusi sebesar 19% terhadap PDB diproyeksi akan terus mengalami kenaikan seiring harga komoditas khususnya batu-bara, minyak mentah dan CPO tumbuh lebih cepat dibanding periode 2014-2016.

Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia akan tetap stabil dengan sektor keuangan tumbuh, inflasi terjaga dan suku bunga yang turun. Namun, di sisi lain, tahun 2018, juga menjadi tahun politik. Maka, berbagai persiapan haru dilakukan.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu lebih inovatif dalam membuat kebijakan untuk publik. Agar Indonesia) tidak terjebak dalam pertumbuhan 5% saja. Karena potensi ekonomi dalam negeri jauh di atas itu.

Pemerintah kerap kali berdalih bila lambatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri terjadi karena ekonomi global yang juga melambat. Namun ternyata, perekonomian di negara-negara seperti India yang tumbuh di atas 7% , Vietnam lebih 6% dan China mampu tumbuh di atas 5%, mereka mampu bertahan dan lebih berprestasi.

Negara-negara ini juga menghadapi lingkungan global sama dengan Indonesia, tapi tumbuh lebih tinggi. Apa yang dilakukan Vietnam sudah tepat di mana negara komunis ini fokus menerima relokasi industri dari China. Sementara China yang tadinya pemerintahnya mendorong ekspansi kini didorong untuk melakukan konsumsi.

Negara-negara lain mengoptimalkan ekonomi domestik saat ekspor belum bisa didorong. Sehingga pemerintah harus juga melakukan inovasi-inovasi kebijakan dari level pemerintah ke level korporasi.

Bila dilihat dari ranking kompetitifnes Indonesia sudah naik luar biasa. Namun secara keseluruhan Indonesia belum bisa menerima investasi sebagus negara lain. Kebijakan yang pro pasar dan tepat sasaran, diperlukan agar momentum yang datang bisa dimanfaatkan dengan tepat.

Rizky Serati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *