Cendekiawan Islam Pakistan, Mohammad Iqbal berkisah tentang berlangsungnya sebuah sidang di Parlemen Iblis. Para Iblis itu mengkhawatirkan akan adanya umat Islam yang sadar akan ajaran agamanya.
Wartapilihan.com, Jakarta –Tulisan Iqbal ini dimuat kembali oleh ulama besar Syekh Hasan an Nadwi dalam bukunya “Ma Dza Khasiral Alam bi Inkhithathil Muslimin?” (Kerugian Apa yang Diderita Dunia, dengan Kemerosotan Kaum Muslimin).
Dalam sidang yang dipimpin Iblis itu, beberapa setan mengungkapkan argumentasinya tentang kondisi masyarakat dan negara yang membahayakan ide-ide mereka. Seorang setan mengkhawatirkan keberadaan negara republik yang akan menghapus Negara kerajaan. Setan yang lain membantahnya dan mengatakan bahwa tidak masalah Negara itu republik asal jiwa-jiwa yang memimpin negara itu adalah kerajaan. Seorang setan mengkhawatirkan tumbuhnya sosialisme dan setan lain membantahnya. Hingga akhirnya Iblis menutup sidang itu dan membuat kesimpulan bahwa hanya Islam dan umat Islam yang sadar keislamannya lah yang membahayakan mereka.
Kata Iblis : “Aku tahu, bahwa umat Islam dewasa ini sudah banyak yang meninggalkan Al Qur’an dan sekarang sedang dirangsang oleh harta kekayaan. Mereka sedang rindu ingin menimbun dan menyimpan harta sebanyak-banyaknya, sama seperti umat manusia lainnya.
Aku tahu bahwa malam di Timur amat gelap gulita dan akupun tahu bahwa para ulama Islam dan para pemimpinnya tidak mempunyai tangan putih yang memancarkan sinar cahaya yang dapat menembus kegelapan dan menerangi dunia. Akan tetapi aku khawatir sekali kalau-kalau cobaan dan ujian yang sedang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini akan dapat membangkitkan mereka dari tidur dan mengarahkan mereka kembali kepada syariat Nabi Muhammad saw.
Kalian kuperingatkan, bahwa agama Islam adalah agama yang tangguh melindungi pusakanya, pengawal kehormatan dan penjaga keselamatannya, agama keluhuran dan kemuliaan, agama kejujuran dan kesucian, agama kemanusiaan dan kepahlawanan, agama yang sedang berjuang menghapuskan segala bentuk perbudakan, melenyapkan sisa-sisa penghambaan manusia oleh manusia. Agama yang tidak membeda-bedakan antara si Tuan dan Budak, agama yang tidak mengistimewakan antara yang yang berkuasa dan kaum yang sengsara, agama yang dengan zakat membersihkan harta dari noda dan kotoran hingga menjadi jernih dan murni, agama yang menjadikan para pemilik harta sebagai manusia-manusia yang memperoleh kepercayaan Allah dititipi kekayaan.Cobalah Anda renungkan mana ada revolusi atau perubahan kekuasaan yang lebih besar bahayanya daripada yang akan dicetuskan oeh agama itu pada saat sudah mengusai alam fikiran dan menjiwai amal perbuatan manusia? Yaitu pada saat manusia sudah mulai berteriak: Bumi ini adalah milik Allah bukan milik raja-raja atau sultan-sultan!
Oleh karena itu kalian harus mencurahkan segala kekuatan untuk membuat agama itu tetap jauh dari pandangan manusia. Kalian harus giat bekerja agar setiap muslim lemah kepercayaannya kepada Tuhan, dan tipis keyakinannya terhadap kebenaran agama Islam. Adalah lebih baik bagi kita setiap orang Muslim terus menerus sibuk dan tenggelam menekuni ilmu kalam atau ilmu-ilmu ketuhanan (teologi) lainnya. Biarkanlah mereka sibuk mentakwilkan kitab Allah dan ayat-ayat suci seenak sendiri. Tutuplah telinga orang Muslim rapat-rapat, karena dengan gema azan dan kumandang takbir ia dapat menghancurkan jimat-jimat dan mantera-mantera di dunia serta sanggup menggagalkan sihir kita. Kalian harus bekerja keras agar setiap orang Muslim tidur nyenyak lebih lama dan agar kesanggupannya datang terlambat.
Hai teman-teman, buatlah supaya setiap orang Muslim tidak bekerja sungguh-sungguh dan bermalas-malas, agar ia tertinggal dalam perlombaan di dunia. Adalah sangat baik bagi kita bila setiap orang Muslim menjadi budak orang lain, meninggalkan menjauhi dunia ini serta menyerahkannya kepada orang lain. Alangkah celakanya kita kalau umat Islam karena dorongan agamanya akan sanggup mengawasi dan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran!”
Tentang kemerosotan kaum Muslimin ini, juga menjadi sorotan dari Syekh Amir Sakib Arselan. Buku itu ditulis oleh Syekh Amir, setelah mendapat pertanyaan dari Syekh Muhammad Basyumi Imran, Imam bagi Kerajaan Sambas, Kalimantan. Surat pertanyaan itu disampaikan via pemimpin majalah Al Manaar, Mesir, Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Oleh Rasyid Ridha jawaban dari Ustadz Syakib Arsalan itu diberi kata pengantar dan dicetak menjadi sebuah buku yang terbit pertama kali pada 1349 H. Buku itu diberi judul “Limadza taakharal Muslimun wa limadza taqaddama ghairuhum?” (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum non Muslim Maju?)
Dalam bukunya itu, Syekh Amir memberikan beberapa sebab kemunduran kaum Muslimin. Diantaranya: tidak seriusnya umat Islam berjihad dengan harta dan jiwa, melunturnya kebanggaan kaum Muslimin terhadap peradabannya, menjangkitnya kebodohan, akhlak yang buruk (termasuk di dalamnya sikap penakut, pengecut, cinta dunia dan takut mati), dan banyaknya ulama su’, ulama yang buruk. Tentang perilaku ulama yang buruk ini diuraikan secara panjang lebar. Bahkan ia menyatakan bahwa kebejatan moral dan kerusakan budi pemimpin Islam atau ulama ini adalah pokok permasalahan yang menyebabkan kemunduran Islam.
“Juga daripada sebesar-besar pokok yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran umat Islam, ialah kebejatan moral dan kerusakan budi para ketua atau para pemimpin mereka…Kemudian datanglah para ulama yang berperangai suka mendekatkan diri kepada para pejabat dan pemuka dalam pemerintahan atau para raja yang selalu dalam kesenangan kemewahan hidup. Yang suka bermain sendok garpu dalam kue-kue yang mereka makan, dengan memberikan fatwa kepada mereka itu (para raja dan pemegang kekuasaan) yang berarti membolehkan mreka membunuh orang yang berani mmberikan nasehat, meluruskan barang yang bengkok itu dengan alasan bahwa ia adalah seorang yang telah berani merusak ketaatannya dan telah berani keluar dari jamaahnya.
Padahal sebenarnya Islam telah memerintahkan kepada para ulama supaya berani bertindak meluruskan kebengkokan para raja, para pejabat dan para pemuka pemerintahan. Dan para ulama itu dahulu dalam pemerintahan Islam yang benar adalah bertempat di tempat kedudukannya yang sesuai dengan kewajibannya sebagai ulama, yang menurut cara sekarang sebagai wakil rakyat dalam majelis perwakilan rakyat. Mereka berkuasa atas seluruh umat, mengatur dan menguasai langkah para raja dan para wakil-wakilnya, mengeluarkan suara dan mengemukakan peringatan yang tegas pada waktu rajanya atau pemerintahnya akan berbuat aniaya atau durhaka dan berani mengemukakan nasehat serta menunjukkan jalan kepada pemerintahnya supaya menuju ke jalan yang benar, jalan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.” II
Izzadina