Siapa Dibalik Penyerangan Ulama?

by
Diskusi bertajuk "Siapa Dibalik Penyerangan Ulama?" Foto: Zuhdi.

“Pada peristiwa Banyuwangi 1998, 147 orang yang dituduh dukun santet adalah guru ngaji yang kritis terhadap pemerintah,” ujar Mahfud MD.

Wartapilihan.com, Jakarta –Penyerangan terhadap ulama sejak Februari lalu menjadi pertanyaan besar beberapa pihak. Berbagai spekulasi muncul. Namun, jika dikaitkan dengan fakta sejarah, peristiwa ini mirip dengan tragedi Banyuwangi tahun 1998. Apakah ada operasi intelijen?

“Kemungkinan ada. Dulu, Februari 1998 terjadi kekerasan politik yang luar biasa di Banyuwangi, orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam atau santet diselamatkan. Padahal, 147 orang yang dituduh dukun santet adalah guru ngaji yang kritis terhadap pemerintah,” ujar pakar hukum tata negara Mahfud MD dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Infonesia (ISPPI) di Auditorium PTIK, Jakarta, Rabu (4/4).

Lebih lanjut, mantan Ketua MK itu menyampaikan tidak menutup kemungkinan terdapat konspirasi yang dilakukan oleh swasta untuk menyerang lawan politiknya dan mengadu domba antar anak bangsa menjelang pesta demokrasi. Dimana, kata Mahfud, hal itu berlanjut dari isu SARA Pilkada DKI Jakarta.

“Jika kita melihat, posisi polisi ini dilematis. Mengungkap kasus secara cepat dibilang sudah di skenario, tidak ditangani secara cepat terkesan menutup-nutupi. Saran saya, polisi tetap bekerja sesuai Undang-Undang dan harus tegas kepada orang yang melabeli Islam di balik perbuatan anarkisnya,” tuturnya.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Drs. Umar Surya Fana menjelaskan, kasus yang menimpa pimpinan pondok pesantren (Ponpes) Al Hidayah KH Umar Basyri saat ini sudah P21 dan menunggu proses sidang. Kendati penyerang Umar Basyri adalah orang gila, lanjutnya, penyidik tidak memiliki kewenangan menghentikan perkara, walaupun memenuhi Pasal 44 KUHP yaitu memiliki gangguan kejiwaan.

“Kepentingan penyidik adalah untuk memperlakukan tersangka. Jika memiliki gangguan kejiwaan bukan dimasukkan ke Lapas, tapi dimasukkan ke RS Kartika Asih di Bandung,” paparnya.

Dikaitkan dengan tahun politik, ia lebih suka dengan frasa pesta demokrasi. Menurutnya, tahun politik lebih berkonotasi gaduh, seram dan banyak pertikaian yang berujung disharmonisasi dan disintegrasi bangsa. Sedangkan pesta demokrasi dilakukan secara happy fun, penuh kegembiraan dan suka cita.

Kendati demikian, ia tidak menampik ada orang gila yang sudah dipersiapkan untuk menyerang orang lain. Berdasarkan pencerahan dari dokter jiwa, Surya Fana menyampaikan bahwa ada cairan yang dapat disuntikan ke orang gila dan dapat membuat dia lebih aktif serta dapat dikendalikan.

“Kami bekerja sesuai dengan hukum positif. Koridor hukum pidana sudah kami lakukan dan belum mendapatkan hasil apa-apa. Kalau KUHP menyatakan A, kita harus A. Di luar penyidikan, ini adalah tugas intelijen untuk mencari tahu apa motif di balik itu semua,” tandasnya.

Pengamat Intelijen Wawan Purwanto mengatakan, tugas BIN (Badan Intelijen Negara) adalah melindungi dan menjaga semua elemen dalam koridor Undang-Undang.

“Kita tidak bisa memanas-manasi bahwa (penyerangan ulama) itu adalah rekayasa. Intinya, BIN harus mampu melakukan early warning, problem solving dan forecasting kepada masyarakat dan negara,” ujar Direktur Komunikasi dan Informasi BIN tersebut.

Berawal Dari Kapolres Cirebon

Adik KH. Umar Basyri, Amas Mansyur dalam kesempatan sama memaparkan kronologi kejadian penyerangan terhadap pimpinan Ponpes Al Hidayah itu. Pada 27 Januari, sekitar pukul 05.30 ba’da shalat Shubuh di Pesantren, para santri, pimpinan dan masyarakat biasa melaksanakan Shubuh berjamaah, wirid, doa, dan musofahah (bersalam-salaman).

“Setelah itu, anak-anak langsung masuk ke Madrasah dan para jamaah pulang ke rumah masing-masing. Kakak saya tidak terburu-buru pulang. Kejadiannya disaat anak-anak masuk ke Madrasah dan para jamaah sudah pulang, disitulah terjadi dan tidak ada saksi,” cerita dia.

Ketika para santri mau di BAP, lanjutnya, santri tidak ada yang menyaksikan peristiwa nahas tersebut. Namun, ada santri yang ketinggalan shalat subuh. Ketika menyalakan lampu masjid, ia melihat sang Kyai sudah bergeser dari tempatnya dengan banyak lumuran darah.

“Pak Kapolsek menanyakan barangkali ada hal yang janggal baik sebelumnya ataupun jauh. Sebulan sebelum itu, anak-anak ingat ada orang masuk masjid tidak mau buka sandal. Ketika ditegur, anak itu marah dan mengejar santri hingga menggedor kaca. Mendekati hari H, ada yang masbuq dan janggalnya tidak menambah rakaat. Ketika dzikir dan doa, dia ada tetapi tidak ikut musofahah. Dan santri mengatakan itu adalah orang yang sama sebulan lalu,” terangnya.

Awalnya, ia tidak dapat menuduh pelaku orang gila atau bukan karena sebelumnya tidak pernah melihat. Namun, ia mendapatkan informasi bahwa pelaku merupakan orang gila dari Kapolres Cirebon.

“Kami minta ke pengacara agar disampaikan ke penyidik, untuk BAP keluarganya (Kapolres Cirebon). Dan ini bertujuan untuk menghilangkan tuduhan-tuduhan miring kepada polisi,” tutup dia.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *