Oleh : Hersubeno Arief
Mengapa Jokowi seperti kehilangan kontrol diri, atau kalau dalam bahasa anak sekarang “gak Jokowi banget?” Padahal di luar kesederhanaan, tampilannya yang kalem menjadi salah satu kekuatannya dibandingkan kompetitor utamanya Prabowo yang dikenal suka meledak-ledak?
Wartapilihan.com, Jakarta –– Tak biasanya Presiden Jokowi pidato di depan publik dalam nada yang tinggi. Jokowi biasanya selalu bicara dalam nada yang datar, disertai senyum. Benar dia pernah kedapatan beberapa kali pidato dengan nada tinggi, namun kebanyakan dalam konteks internal kabinet. Ia menegur beberapa menteri yang dinilai kinerjanya tidak baik. Di luar itu sebagai priyayi Jawa asal Solo, Jokowi mempunyai pengendalian diri yang sangat kuat.
Kali ini pidato Jokowi didepan ratusan relawan Gerakan Kemajuan 2018 yang sedang melaksanakan konvensi nasional di Bogor, sangat berbeda. Jokowi bicara dalam nada tinggi dengan ekspresi jengkel dan marah. Media menyebutnya sebagai “Serangan Balik Jokowi.”
Ada enam poin yang disoroti dalam pidatonya. Pertama, soal gerakan kaus #2019Ganti Presiden. Kedua, soal utang negara yang kian menggunung. Ketiga, dituduh sebagai antek asing dan PKI.Keempat, tahun 2030 Indonesia bubar.Kelima, adanya orang yang mengaku-ngaku berjasa dalam program pemerintah. Keenam, kritik harus berbasis data dan beri alternatif.
Mengapa Jokowi seperti kehilangan kontrol diri, atau kalau dalam bahasa anak sekarang “gak Jokowi banget?” Padahal di luar kesederhanaan, tampilannya yang kalem menjadi salah satu kekuatannya dibandingkan kompetitor utamanya Prabowo yang dikenal suka meledak-ledak?
Menurut Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun kesabaran Presiden Jokowi ada batasnya. Berbagai serangan kepada Jokowi dinilai sudah melampaui batas. Hal yang sama juga disampaikan oleh Menko Maritim Luhut Panjaitan. Tangan kanan Jokowi itu menyampaikan keheranannya ada orang yang meragukan keislaman Jokowi, termasuk menuduhnya sebagai PKI. “Pak Jokowi sangat jengkel dengan berbagai tudingan tak berdasar,” ujarnya.
Di luar masalah personal, kejengkelan Jokowi tampaknya berkaitan dengan dampak elektoral akibat berbagai tuduhan, maupun kritik kepadanya. Sejumlah survei menunjukkan elektabilitas Jokowi stagnan, bahkan ada kecenderungan menurun.
Menurut sebuah sumber di kalangan istana, hasil survei adalah menu wajib yang harus selalu berada dalam tumpukan dokumen di meja kerja Presiden. Seorang anggota Wantimpres bercerita pernah bertemu dengan rombongan Litbang sebuah media di Istana Merdeka. Media ini secara berkala membuat publikasi hasil surveinya.
Presiden Jokowi secara rutin mencermati hasil survei. Dia juga secara berkala mendapat briefing berbagai kebijakan dan langkah apa yang harus dilakukan untuk dapat mendongkrak elektabilitasnya. Jadi jangan terlalu heran bila Jokowi melakukan berbagai aksi diluar kelaziman seorang presiden.
Dalam kunjungan ke Sukabumi Minggu (8/4) Jokowi mengendarai sepeda motor chopperwarna emas, dan menjadi captain touring ke Pelabuhan Ratu. Jokowi bergaya bak remaja 90-an mengenakan jaket jeans ala Dilan, dan tak lupa melakukan selfie sebelum menstarter sepeda motornya.
Jokowi juga membagi-bagikan sembako ke warga sepanjang perjalanananya dari Bogor ke Sukabumi. Sejumlah video yang beredar di medsos menunjukkan sejumlah pasukan pengaman presiden (Paspamres) ikut sibuk membagi-bagikan kantong berisi sembako dengan logo Istana Presiden.
Jokowi juga secara gencar melakukan pembagian sertifikat tanah kepada rakyat. Targetnya pada tahun 2018 ini sebanyak 7 juta sertifikat. Di dalam sertifikat yang dibagikan selalu diselipkan poster dengan foto Jokowi. Istana membantah pembagian sertifikat dimanfaatkan untuk kampanye Jokowi. Namun agak sulit untuk membantah tidak adanya kepentingan politik di balik poster dan foto Jokowi tersebut
Semua langkah populis Presiden Jokowi tersebut jelas merupakan upaya untuk mendongkrak elektabilitasnya. Dia mencoba membidik remaja milenial, dan segmen masyarakat kelas bawah yang relatif tak terpengaruh hiruk pikuk politik. Namun sejauh ini dampaknya tidak cukup signifikan.
Pra rilis dari survei terbaru Median menunjukkan data bahwa saat ini jumlah pemilih Indonesia yang tidak menginginkan kembali Jokowi sebagai presiden, kian besar. Jumlahnya bahkan lebih besar dari yang menghendaki dia kembali memimpin.
Ketika diajukan pertanyaan langsung apakah mereka akan memilih kembali Jokowi atau tidak, 46% menjawab “tidak.” Yang menjawab “ya”, hanya 45%. Jumlah ini sangat mengejutkan. Dengan mempertimbangkan perilaku pemilih (voting behavior) di Indonesia yang tidak biasa bicara terbuka, diperkirakan yang memutuskan tidak akan memilih kembali Jokowi, jumlahnya lebih banyak. Di atas 50%.
Secara psikologis berbagai hasil survei tersebut sangat mengganggu Presiden Jokowi. Membuatnya galau. Hal itu menjelaskan mengapa “hal-hal kecil” termasuk gerakan kaus #2019GantiPresidenbisa membuatnya sangat jengkel. Belum lagi berbagai tudingan yang menurutnya tidak berdasar.
Upaya kembali merangkul Prabowo
Dalam beberapa bulan ke depan, utamanya menjelang pendaftaran nama pasangan capres/cawapres pada bulan Agustus, merupakan waktu yang sangat krusial bagi Jokowi. Selain masalah elektabilitas, siapa yang akan digandengnya sebagai cawapres, dan siapa yang akan menjadi lawannya, sangat menentukan.
Untuk cawapres, Jokowi harus pandai-pandai melakukan negosiasi dengan partai-partai pendukungnya. Hampir semua partai, terutama PDIP bersaing keras mendapatkan jatah sebagai cawapres. Namun Jokowi dan timnya tentu punya kalkulasi sendiri. Dilihat dari besarnya oposisi di kalangan umat Islam, hampir dipastikan Jokowi berkepentingan untuk mendapatkan cawapres yang bisa menjadi representasi dan mengakomodasi kepentingan umat.
Kecuali bila Jokowi berhasil merangkul Prabowo sebagai wakilnya, atau mendorongnya tetap maju sebagai capres —seperti tercermin dari pertemuan Luhut dengan Prabowo– maka dia akan sangat pede menatap Pilpres 2019. Bergabungnya Prabowo dengan Jokowi, atau keputusannya untuk tetap maju sebagai capres, akan membuat para calon alternatif yang potensial bisa mengalahkan Jokowi, seperti Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan harus berjuang keras mendapatkan tiketnya.
Masalahnya apakah Prabowo mau? Bila bergabung menjadi cawapres Jokowi, elektabilitas Gerindra akan terjun bebas, karena mayoritas pemilih Gerindra tidak memilih Jokowi. Sementara bila Prabowo tetap nyapres, elektabilitas Gerindra akan melejit, namun peluang Prabowo mengalahkan Jokowi sangat kecil.
Politik itu seperti permainan catur yang rumit, penuh strategi yang pelik, tapi mengasyikkan. Mari kita tunggu bagaimana Jokowi memainkan bidaknya. Apakah dia bisa membuktikan dirinya sebagai raja, atau hanya pion yang dikorbankan dalam sebuah permainan? End
9/4/18 II