Salah satu sejarawan Muslim senior Indonesia, Ahmad Mansur Suryanegara, pernah menyatakan dalam karyanya Menemukan Sejarah
Wartapilihan.com, Jakarta –-“Banyak karya sejarah Islam Indonesia dan Dunia Islam umumnya, yang beredar di sekitar kita. Namun, banyak pula isinya sangat bertentangan dengan apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah saw, sahabat, khalifah, wirausahawan, ulama, waliyullah dan santri, serta umat Islam. Apalagi dengan adanya upaya deislamisasi sejarah Indonesia, peranan Ulama dan Santri, serta umat Islam di dalamnya ditiadakan. Atau tetap ada, tetapi dimaknai dengan pengertian yang lain.”
Kata-kata Ahmad Mansur tersebut semakin menyadarkan kita akan keperluan islamisasi penulisan sejarah. Hal tersebut menjadi satu bagian dari proyek islamisasi tradisi keilmuwan yang ada di sekitar kita, mengingat dampak penulisan sejarah atau historiografi yang tidak kecil bagi alam pikiran umat. Dampak dari penulisan sejarah dan pemaknaan yang tidak didasarkan dari spirit dienullah ialah menghasilkan narasi-narasi (qashash) dan interpretasi yang jauh dari pandangan keislaman. Padahal sebagai umat Islam, kapan dan di mana saja, tiap individunya diwajibkan untuk memandang segala sesuatu dari pandangan Islam, tidak terkecuali dalam bidang sejarah.
Permasalahan lain yang timbul dari jauhnya pandangan Islam dalam melandasi penulisan dan pemaknaan sejarah ialah Ibrah dan hikmah yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Hal ini tentunya menjadi masalah lanjutan bagi umat Islam, karena sejarah menjadi tidak mendapatkan relevansinya dengan nilai-nilai Islam. Historiografi atau penulisan sejarah kontemporer yang banyak berkiblat ke paradigma Barat ( Western view ) yang memisahkan nilai-nilai agama dari ilmu, pendidikan, budaya serta politik melalui berbagai macam pemikiran filsafatnya memang tidak ditujukan untuk mengambil hikmah serta‘ibrah, terlebih dari perspektif Islam. Sejarah, sebagaimana yang terjadi pada bidang keilmuwan lainnya, terperangkap dalam sifat-sifat sekularistik, skeptisisme serta cenderung menolak wahyu yang ada di balik hakikat ilmu.
Apabila dicari penyebabnya, faktor yang membuat sejarah Islam menjadi demikian sekularistik adalah adanya invasi budaya dan pemikiran Barat (Eropa) ke negeri-negeri Muslim di masa lalu, khususnya sejak abad 17. Semenjak itu, dari abad ke 18 sampai paruh pertama abad 20, westernisasi, sekularisasi hingga liberalisasi gencar dilakukan penjajah Barat di negeri-negeri kaum Muslimin, salah satunya lewat kajian orientalisme. Hal itu dimungkinkan karena negeri-negeri Barat telah menjajah negeri kaum Muslimin serta memiliki hegemoninya. Lewat hegemoninya itu, Barat telah mengambil alih institusi pemerintahan, kebudayaan, dan pendidikan sekaligus di dunia Islam. Hal ini berlangsung ratusan tahun sejak melemahnya Khilafah Turki Utsmani hingga keruntuhannya tahun 1924 M.
Invasi budaya, pemikiran serta ilmu dalam ranah historiografi dan sejarah ada dalam bentuk distorsi sejarah umat Islam. Para orientalis di masa penjajahan berperan besar dalam pembentukan citra negatif terhadap sejarah kaum Muslimin. Distorsi sejarah itulah yang menjadikan narasi sejarah kaum Muslimin menjadi sangat negatif, seperti mengidentikan masa-masa awal Islam dengan pertikaian, kekerasan, kebodohan dan keterbelakangan. Hal ini berakhir pada kehilangan kebanggaan terhadap sejarah dan identitas kaum Muslimin sendiri. Ironisnya, banyak umat Islam sendiri menelan mentah-mentah narasi sejarah para orientalis itu, lantaran sedang dilanda kemerosotan keilmuwan, pemikiran dan intelektualitasnya.
Pihak Barat yang sejak beberapa abad terakhir menjadi peradaban paling unggul serta memiliki pengaruh yang signifikan bagi dunia Islam telah menyebarkan pandangan ilmu yang bersifat sekular dan skeptis seperti yang dipahami Barat sendiri. Revolusi ilmiah besar-besaran di Eropa bertepatan dengan masa stagnansi keilmuwan umat Islam kira-kira akhir abad ke 17 M, selain revolusi ilmu, Eropa juga gencar melakukan penjelajahan samudera. Di kemudian hari keunggulan Barat dalam sains, teknologi dan pelayaran dilanjutkan dengan menjajah negeri-negeri Muslim. Itu sebabnya invasi kultur, ilmu, pendidikan dan misionarisme menjadi relatif mudah dilakukan, perlahan tapi pasti sekularisme masyarakat serta institusi-institusi negeri kaum Muslimin pun dimulai.
Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam