Oleh : Agung Waspodo (Dosen Ilmu Sejarah UNJ)
Pada tahun 1876 dua sultan silih berganti digulingkan. Pertama, Sultan Abdülaziz yang dikudeta dan dibunuh. Kedua, sepupunya yang menggantikan, Sultan Murad V hidup tertekan sampai divonis sakit jiwa lalu diturunkan dari singgasana serta disekap sebagai tawanan di istana Çırağan.
Wartapilihan.com, Jakarta – Naik menggantikannya adalah Sultan Abdülhamid II yang “berjanji” kepada elit istana untuk mengembalikan konstitusi sebagai dasar pemerintahan. Padahal konstitusi ini yang dirancang elit istana untuk mengebiri kekuasaan Khalifah. Sepanjang dua tahun, beliau berhasil mengatasi dua kali kudeta yang diduga kuat didalangi oleh jaringan Freemason di Turki. Cukup santer beredar di kalangan diplomat Barat di İstanbul bahwa Inggris lebih mendukung agar Murad V dikembalikan ke singgasana.
Percobaan kudeta ini membuat Sultan Abdülhamid II lebih hati-hati dan menahan frekuensi tampil di depan publik. Padahal semasa waktu şehzade, calon sultan, beliau terkenal supel dan gemar berbaur dengan masyarakat. Jalan kehidupan membuat beliau sangat hati-hati dalam mengelola harinya. Beliau tidak mudah percaya kepada sembarang orang.
Melalui prakarsa Sultan Abdülhamid II dengan mempertimbangkan perkembangan ancaman atas kekhilafahan maka beliau membentuk Dinas Rahasia Yıldız pada tahun 1880. Salah satu semboyan yang beliau populerkan adalah “bersiaga lagi waspada adalah kunci loyalitas” terhadap kekhilafahan.
Dinas Intelijen Era Klasik
Pada masa klasika Turki Utsmani, sekitar tahun 1300-1600 Masehi, data intelijen diperoleh melalui kesatuan kavaleri ringan Akıncı pada masa perang. Pada masa damai, data intelijen diperoleh dari para penjelajah dan pedagang internasional. Kota dagang metropolitan seperti Dubrovnik di pesisir Laut Adriatik menjadi pusat pertemuan perwira dinas intelijen Turki Utsmani.
Di samping itu, Asesbaşı, perwira pasukan khusus Yeniçeri yang menangani keamanan internal juga merangkap kepala polisi di beberapa propinsi. Terdapat juga perwira polisi kota yang dikenal sebagai böcekbaşı dengan tanggung jawab membongkar kejahatan pembunuhan. Böcekbaşı memiliki personil perempuan dalam mengumpulkan bukti kasus pembunuhan. Dalam kesatuan Böcekbaşı juga terdapat unit Çuhadar yang mengumpulkan data intelijen domestik disamping tugas umum unit Ases yang juga memantau lingkungan masyarakat. Di samping itu, ada kebiasaan di kalangan masyarakat bahwa mereka saling jaga keamanan dan melaporkan hal-hal yang mencurigakan.
Pada era Sultan Mahmud II didirikan Zabtiye Müşirliği yang setara dengan pusat intelijen kepolisian dengan sistem penjenjangan aparatus pengumpulan data serta pusat pengelolaannya. Cakupan Zabite adalah seluruh wilayah kekhilafahan. Sedangkan dinas kepolisian rahasia pertama kali dibentuk oleh Reşid Paşa sang Perdana Menteri. Sayangnya direktur dinas polisi rahasia waktu itu diberikan kepada Civinis seorang etnis Yunani.
Ketika Sultan Abdülhamid II dilantik menjadi khalifah, beliau ingin merombak dinas intelijen serta jaringannya di seluruh negeri mulai dari istana. Perdana menteri Said Paşa menyarankan sultan untuk berhati-hati dan menyusun sendiri sistemnya demi keamanan kekhilafahan. Namun, perlu diketahui bahwa Said Paşa juga dekat dengan perkumpulan Turki Muda.
Sultan Menyortir Langsung Laporan Intelijen
Sultan Abdülhamid II merasa perlu untuk memiliki perwira intelijen yang “memihak” padanya, namun sayangnya beliau menggunakan hadiah sebagai pengikat. Beliau mungkin juga terpaksa memberikan sesuatu yang tidak menjamin loyalitas; beliau sadar jaman sudah berubah dan manusia do sekitar istana banyak yang tamak harta.
Hadiah berupa uang, medali penghargaan, serta kenaikan pangkat bukanlah sesuatu yang patut diberikan kepada perwira intelijen, namun sultan tidak punya banyak pilihan. Dengan mekanisme rentan ini beliau membentuk dinas intelijen berkekuatan 30 ribu personil.
Menarik juga untuk diamati bahwa dinas intelijen pada era Sultan Abdülhamid II mempekerjakan personil dari berbagai etnis dan profesi. Tidak kurang tercatat dalam dinas intelijen tersebut mereka dari kalangan Tarekat Kaşgarlı, imam dari Dagestan, pengemis dari India, pelancong dari Sudan, syaikh dari Libya, syaikh Kurdi dan Afghan, guru Tatar, pemain teater, pesulap, dan bahkan aktor humor. Sepertinya makna kata “hafiye” (mata-mata) benar-benar diaplikasikan dalam pengumpulan data intelijen.
Di samping itu, profesi dan kedudukan jabatan seperti perwira provinsi maupun staf kedutaan tentunya juga dilibatkan. Namun mengagetkan ketika dalam catatan dinas intelijen ditemukan juga agen rahasia dari kalangan penghuni Harem serta Ağa satuan pengaman Harem. Tipe yang kedua ini yang paling menuntut “hadiah” sebagai imbalan melapor ke pusat dinas intelijen. Bisa dibayangkan “banjir data” yang masuk akibat “tidak tersaringnya data sampah” yang biasa dikumpulkan oleh personil tak terlatih.
Laporan yang Tak Terbaca
Pada jaman itu laporan masuk dalam bentuk tertulis dalam amplop tersegel. Sultan Abdülhamid II membacanya sendiri satu-persatu serta memilah mana yang perlu ditindak-lanjuti oleh sekretaris kepercayaannya. Sultan biasa menggunting bagian tanda tangan agen intelijen pembuat laporan sebelum menyerahkannya kepada sekretaris.
Setelah sultan dimakzulkan oleh kudeta Turki Muda, banyak ditemukan amplop laporan intelijen yang masih tersegel dan belum dibuka. Tentu berat bagi beliau untuk memproses semuanya. Menarik untuk diketahui bahwa sebagian laporan yang belum diproses itu justru berasal dari agen Turki Muda. Beginilah kasus kontra intelijen dalam bentuk “data flooding” dan disinformasi. Setelah pemakzulan, diperlukan beberapa hari untuk membakar sisa laporan intelijen itu semuanya; terbayang betapa banyaknya.
Laporan kondisi darurat mendapat prioritas untuk sampai ke meja sultan walau beliau sedang tidak di tempat. Sultan Abdülhamid II berkeinginan mengetahui denyut nadi bahkan sampai ke wilayah kekuasaan terpencilnya.
Pernah suatu hari, perwira senior intelijen, Kadri Bey, menertawakan tugas penindak-lanjutan karena menilai tidak penting apa yang ditugaskan sultan kepadanya. Tentu hal ini membuat sultan meradang. Beliau menhardik Kadri Bey dengan perkataan:
“Jika aku memecatmu sekarang, engkau masih bisa mendirikan kantor di depan Yeni Camii dan bekerja sebagai pengacara hukum, namun jika aku meremehkan suatu kasus (yang penting) maka tidak ayal menuju liang lahatlah (terbunuh) diriku.”
Walau begitu, diakui bahwa sebagian besar data intelijen yang kemudian” dikejar” ternyata tidak menghasilkan temuan penting.
Seiring perjalanan waktu, laporan-laporan ini semakin dinilai tidak penting oleh para perwira intelijen. Bahkan menjelang akhir, terdapat kecenderungan antar agen saling melaporkan kecurigaannya. Sultan Abdülhamid II juga tahu akan semua itu, namun ia bersikap pura-pura tidak tahu dengan harapan sistem intelijen itu terus berjalan. Tujuan lainnya yanh bisa diduga, sultan mencoba membanjiri jalur spionase agar menyulitkan koordinasi para perancang kudeta yang dikhawatirkannya. Demikian kontra atas kontra intelijen yang dilancarkan sultan sekaligus khalifah Turki Utsmani.
Efek buruknya adalah hukuman atas orang yang bersalah juga merenggut nyawa orang yang tidak bersalah atau terjebak dalam pusaran data intelijen. Para perwira intelijen yang biasanya diidentifikasi dari topi peci Fez berwarna merahnya menjadi musuh bagi semua, semacam public enemy. II