Tingginya penghormatan terhadap guru erat kaitannya dengan ajaran Islam yang mementingkan ilmu pengetahuan. Sehingga para ulama sangat takzim kepada guru-gurunya, walau kadang ada yang berbeda pendapat.
Wartapilihan.com, Banten — Harus diakui bahwa orang-orang Muslim di masa lampau sangat menghormati gurunya. Bahkan disebut guru karena seseorang dianggap patut digugu (dituruti) karena ilmunya yang bermanfaat dan ditiru karena perilakunya yang mulia.
Bahkan di tempat-tempat tertentu, guru dihormati layaknya orang tua sendiri. Seperti di Aceh yang terkenal sebagai daerah berpenduduk Muslim, terdapat pepatah: “poma ngon ayah seureuta guree, ureung nyan ban lhee beuna taturot. Meunyo na salah, meu’ah talakee, peumiyup ulee tacom bak teuot” (ibu, ayah, dan guru, ketiganya perlu dituruti. Jika bersalah, kita perlu meminta maaf, menunduk dan mencium lututnya).
Tingginya penghormatan terhadap guru erat kaitannya dengan ajaran Islam yang mementingkan ilmu pengetahuan. Sehingga para ulama sangat takzim kepada guru-gurunya, walau kadang ada yang berbeda pendapat. Sampai-sampai seorang sahabat Nabi SAW, Ali bin Abi Thalib pernah mengemukakan bahwa dirinya laksana hamba bagi guru yang walaupun mengajarkan hal-hal kecil.
“Aku adalah budak (hamba sahaya) bagi orang yang mengajariku walau hanya satu huruf” (Ali r.a.).
Keberhasilan KH Ma’ruf Amin mulai dari mendapat amanah di DPRD, DPR, MPR, Ketua Rais Aam PBNU hingga Ketua MUI Pusat tak lepas dari peran sang guru. Salah satu guru Kyai Ma’ruf yang masih hidup di Tanara adalah Abah Wardi, 83 tahun.
Pada tahun 1954, Kyai Ma’ruf mempelajari ilmu agama di Pesantren Al Khairiyyah. Saat itu, usianya 8 tahun ketika ia menginjak kelas 5 Ibtidaiyah (SD). Ma’ruf banyak mendapatkan ilmu agama dan ilmu alat dari Abah Wardi.
“Ilmu Alat yaitu ilmu yang mempelajari Alquran dan Hadits. ilmu yang mempelajari sastra bahasa arab. Kalau di pondok ada ilmu ma’ani, ilmu ba’di, alfiyah, jurumiyah, dan lain sebagainya,” tutur Abah Wardi saat redaksi Warta Pilihan shilaturahmi ke kediamannya di Tanara, Banten.
Lebih jauh, Abah menjelaskan meskipun ia guru Ma’ruf Amin, Abah tak segan mengunjungi Ma’ruf di Tanjung Priok Jakarta Utara ketika mendapatkan informasi bahwa muridnya itu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Rasa syukur, haru dan bangga mendengar salah satu murid sukses dalam dunianya. Abah berdoa, semoga Ma’ruf Amin pun sukses akhiratnya.
“Saat itu saya datang ke rumahnya di Tanjung Priok tahun 1970-an. Lama tak jumpa, bertemu lagi di Cicangkil, Cilegon tahun 2015 acara perayaan Haul Al Khairiyyah. Kemudian di Tanara dua tahun lalu, tahun 2016. Dan terakhir ketemu di MUI Banten pada 2017,” ungkapnya.
Karena faktor usia dan kondisi fisik sudah mulai menurun, Abah tidak dapat pergi jauh. Sejak itu, komunikasi dengan Ma’ruf Amin hanya dilakukan melalui short message service (SMS). Ia sangat rindu untuk kembali berjumpa dengan muridnya yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum MUI Pusat.
“Guru itu lebih tinggi daripada kedua orang tua. Sebab, guru memelihara ilmu untuk keselamatan dunia akhirat. Sedangkan orang tua hanya memelihara jasmani dan rohani. Tapi, guru selalu membimbing ke jalan agama,” tuturnya.
“Siapapun, sekalipun sudah menjadi orang besar harus menghormati guru, karena itu wajib. Sebab, kalau guru membenci, sama saja orang tua benci terhadap anak. Dan Allah tidak akan ridha,” sambung Abah seraya menasehati kami agar lebih mengutamakan adab terhadap guru.
Kendati usia Abah semakin berkurang, semangat untuk mengajarkan ilmu dan adab tidak pernah surut. Setiap pekannya di hari Selasa dan Ahad, Abah memberikan materi kitab klasik kepada para Kyai di daerah Kresek, Tanara, bersama rekannya Kyai Khumaedi kepada 200 da’i dan anggota MUI Kecamatan.
“Kalau dia punya guru namanya Sayyid (tuan). Bahkan, kalau guru perlu, saya bisa digadaikan,” kata Abah menyampaikan qaul Ali bin Abi Thalib.
“Jadi jangan sembarangan sama guru walaupun hanya mengajar satu huruf. Apalagi sekalimat dalam sebulan, setahun dan seterusnya,” imbuhnya.
Dalam kitab Ta’lim Mu’taallim dijelaskan, ketika seseorang mendapatkan ilmu maka dia harus memuliakan gurunya, agar ilmunya bermanfaat. Jika tidak dimuliakan, bisa kualat.
Alfiyah Ibnu Malik pernah mengatakan, Ibnul Malik punya guru namanya Ibnu Mu’ti. Ketika membaca Faiqatan Alfiyata Ibnu Mu’ti, setelah itu dia 40 hari bisu karena mencela gurunya Ibnu Mu’ti. Karangan saya lebih indah daripada Ibnu Mu’ti. Padahal Ibnu Mu’ti adalah gurunya sendiri. Akhirnya, Ibnu Malik minta maaf kepada Ibnu Mu’ti.
“Guru tidak boleh disepelekan. Bukan perlu disujudi, karena yang wajib disujudi adalah Allah,” terang Abah.
Abah menuturkan, aktifitas rutin setiap Selasa dan Ahad membuatnya tetap istiqamah untuk menyampaikan risalah Islam. Sebab, Abah pernah mendapatkan perlakuan kurang baik dari beberapa pengurus Nahdatul Ulama (NU) Tanara karena berbeda pendapat.
“Saya hanya anggota. Bahkan saya disisihkan oleh NU karena ada beberapa hal yang tidak sejalan. Biarlah saya dipecat NU, asal tidak dipecat Allah Swt,” katanya.
Abah berpesan kepada murid-muridnya agar selalu menghormati dan berlaku baik (ahsan) terhadap gurunya karena keberkahan ilmu berawal dari keridhaan sang guru. “Harapannya Ma’ruf Amin dapat berkunjung ke gurunya. Khususnya guru-gurunya yang masih hidup dan usianya benar-benar lansia,” ujarnya.
Ahmad Zuhdi