Daeng menilai, skandal lembaran saham Freeport tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) di tahun 1991.
Wartapilihan.com, Jakarta –-“Masalah saham Freeport yang melilit Indonesia saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari asal-usul kesepakatan sebelumnya, yakni Kontrak Karya di tahun 1991. Bung Karno menyebutnya ‘Jasmerah,’ yakni jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Apa yang terjadi saat ini adalah akibat saja dari sebab yang diciptakan di masa lalu,” ujar peneliti ekonomi politik pertambangan, Salamuddin Daeng kepada media menyikapi perkembangan negosiasi Pemerintah RI dengan PT Freeport McMoran, Rabu (3/1/2018).
Dia mengecam ketidaktegasan pemerintah yang tampak frustasi lantaran gagal mencaplok 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Hal ini terlihat dari pernyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot pada 27 Desember 2017 yang lalu, bahwa pemerintah sedang memikirkan alternatif lain untuk mengambil saham Freeport sebesar 51 persen, dengan cara membeli hak partisipasi (participating interest/PI) milik perusahaan tambang asal Australia, Rio Tinto, yang memiliki 40 persen saham di Freeport.
Padahal empat bulan sebelumnya, lanjut dia, bertempat di Kementerian ESDM, Selasa 29 Agustus 2017, Pemerintahan Jokowi yang diwakili Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan bangga mengumumkan keberhasilan kesepakatannya terkait hasil negosiasi dengan PT Freeport Indonesia, yang diwakili langsung oleh CEO Freeport McMoran Copper & Gold Inc, Richard Adkerson.
Dalam pengumuman tersebut, dipaparkan telah tercapai tiga kesepakatan yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport. Di antaranya adalah kesepakatan bahwa “Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51% saham kepada pihak Indonesia.”
“Skandal lembaran saham Freeport tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) di tahun 1991. Dari jabatan Mentamben tersebutlah Ginandjar mulai memainkan perannya selaku ‘good boy’-nya Amerika,” kecam Daeng, sapaan akrabnya.
Dia menerangkan, Freeport telah lama mengincar ‘membeli’ Ginandjar semenjak menjabat Kepala BKPM (1985-1988). Tangan raksasa itulah yang menempatkan Ginandjar untuk jabatan lebih tinggi, Mentamben.
Setahun setelah Ginandjar Kartasasmita diangkat menjadi Mentamben oleh Presiden Soeharto, Freeport Indonesia langsung mengajukan perpanjangan kontrak mereka di tahun 1989 dan meminta untuk memasukkan situs Grasberg sebagai lokasi pertambangan mereka.
“Sebetulnya Kontrak Karya tahun 1991 sangat strategis untuk meraih kedaulatan dan kemakmuran bangsa dari sektor tambang. Karena di 1988, Freeport menemukan cadangan emas senilai 40 milliar dollar AS di Grasberg, sekitar 3 kilometer dari lokasi tambang lama Ertsberg yang dikuasai sejak 1967 dan dieksploitasi 1970,” urai peneliti tambang dari Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut.
Dari sumber lainnya, disebutkan Grasberg menyimpan 72 juta ons emas murni, ditambah perak dan tembaga senilai sekitar 60 miliar dollar AS. Sedikitnya tiga kali lipat dari besarnya cadangan di Ertsberg.
Namun, Ginandjar mengamini saja, dengan embel-embel kenaikan pajak dan bagian saham lebih besar bagi Pemerintah Indonesia dari 10% menjadi 20%. Freeport pun menyetujui dan kedua belah pihak menandatangani perjanjian Kontrak Karya pada 30 Desember 1991.
“Tentu tak ada makan siang yang gratis. Elite Indonesia yang tak punya karakter gampang dibeli, tentu dengan mudah mengobral kekayaan bangsa kita untuk dikuasai asing, dengan imbalan yang sangat murah,” kritik Daeng.
Menurut dia, Freeport Indonesia sangat paham dan mengimani bahwa mayoritas elite Indonesia telah mengubah dirinya sebagai komoditi yang bisa dibeli. Bahkan harga jualnya tidak perlu terlalu mahal, jauh lebih murah dari harga barang loakan di pinggir jalan.
Walaupun diduga dibeli secara murah, namun dalam kasus Kontrak Karya Freeport tahun 1991, sebuah perusahaan pertambangan terbesar di dunia, imbalan yang diduga diterima oleh Ginandjar Kartasasmita diperkirakan tak kecil jumlahnya, bahkan tak akan habis hingga tujuh turunan.
Dalam catatan Daeng, perusahaan milik adik kandung Ginandjar, Agus Gurlaya Kartasasmita, yakni PT Catur Yasa konon pernah menang tender pembangkit listrik untuk kegiatan tambang di area Freeport, sebagai salah satu imbalan dalam wujud proyek, belum yang lainnya.
Di tengah kemiskinan rakyat, imbuhnya, kini anak, cucu dan cicit Ginandjar dapat hidup foya-foya dengan uang hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, serta pesta pora dengan uang hasil mengobral kekayaan bangsa secara murah ke asing, lalu tampil seakan-akan bersih dari korupsi dan bebas dari suap.
“Ribut-ribut skandal saham Freeport ‘kadal versus buaya’ tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita, sang aktor strategis yang menyebabkan kertas saham Freeport kini melilit Indonesia. Ginandjar Kartasasmita biang skandal Freeport. Jasmerah!” pungkas Salamuddin Daeng.
Adi Prawira