Pemerintah mulai mendorong percepatan penyediaan sejuta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Peresmian penjualan rumah murah yang dilakukan Presiden Joko Widodo akhir bulan lalu, ingin menunjukkan pemerintah serius menyediakan hunian ramah yang tidak memberatkan dari segi harga.
Dalam beberapa kali peresmian rumah murah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melepas penjualan hunian rumah dengan harga Rp 112 juta dengan uang muka atau DP 1% yang ditujukan bagi MBR dengan penghasilan Rp 4 juta ke bawah setiap bulannya.
Program sejuta rumah yang tersebar di banyak provinsi di Indonesia dan diperuntukkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diluncurkan sejak tahun 2015 lalu. Untuk jenis rumah tapak bagi masyarakat yang memiliki penghasilan maksimal 4 juta rupiah per bulan. Sedangkan untuk rumah susun, penghasilan maksimal untuk calon pemiliknya tidak lebih dari 7 juta rupiah.
Meski sudah menjadi program prioritas, pembangunan rumah murah masih menghadapi banyak kendala, sehingga perkembangannya, tidak secepat pembangunan infrastruktur dan sarana dan prasarana penunjang lainnya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut, dalam dua tahun bergulirnya program sejuta rumah belum pernah mencapai target yang maksimal. Sejak 2015, progres capaian pembangunan sejuta rumah maksimal hanya mencapai 80%.
Agar penyediaan rumah murah bisa lebih cepat, pemerintah sebenarnya sudah meminta pihak swasta, untuk bisa berpartisipasi. Namun, kenaikan harga tanah, menjadi salah satu hambatan para pengembang swasta masuk program ini.
Organisasi para pengembang perumahan, Real Estate Indonesia (REI) sebenarnya sudah mengerek target penjualan hunian kelas bawah tersebut dari 150.000 unit menjadi 200.000 unit tahun ini. Tapi hingga kuartal I tahun ini, realisasinya baru mencapai 20% atau baru terjual 40.000 unit.
Sekretaris Jenderal REI, Totok Lusida menyebut, pemenuhan hunian bagi masyarakat sudah mendesak. Sebab, menurut hitungan REI jumlah kekurangan pasokan rumah (backlog) saat ini sudah mencapai 11,4 juta unit. Jumlah itu bisa terus membengkak, mengingat tingkat angka kelahiran Indonesia per tahun bisa mencapai 3 juta penduduk per tahun.
Pemerintah sebenarnya sudah mengagendakan program reformasi agraria untuk menyelesaikan permasalahan harga tanah. Namun, ini belum menyentuh kawasan perkotaan.
Padahal urban land reform, perubahan struktur pertanahan di kota yang pro rakyat miskin juga perlu segera diwujudkan. Perubahan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya mengembangkan wilayah masyarakat atau revitalisasi wilayah dan penataan lokasi baru.
Penataan lokasi ini, perlu didasarkan pada kebutuhan pada masyarakat berpenghasilan rendah. Sehingga pemenuhan perumahan murah tentunya harus dipikirkan proses yang berkelanjutan atas kondisi MBR sebelum maupun sesudah mendapatkan rumah murah. Misalnya kebutuhan transportasi, pendidikan, kesehatan dan kelangsungan pendapatan dalam perjalanan hidupnya.
Harapannya, dengan membuat ekosistem yang bisa memberi daya dukung ekonomi bagi masyarakat kelas bawah ini. Dampaknya akan ada penambahan penghasilan yang akan mengurangi risiko kredit, peningkatan kualitas hidup, penambahan nilai lokasi dan kegiatan ekonomi di lingkungan secara mandiri.
Konsep seperti ini sangat mungkin di implementasikan di daerah industri atau sentra kegiatan ekonomi lainnya. Namun para stake holder, dari pengembang dan pemerintah daerah harus merumuskan kebijakan yang dapat mendukung implementasi pengembangan ekosistem perumahan murah.
Jadi, kelayakan pemanfaatan ruang menjadi aspek terbaik agar penyediaan fasilitas yang terjangkau bisa diberikan. Kontrol negara terhadap komersialisasi ruang, juga harus dikuatkan. Jangan begitu saja diserahkan ke pasar.
Kebijakan penyediaan rumah bagi masyarakat kurang mampu juga perlu dilakukan secara menyeluruh, bukan parsial, hanya untuk memenuhi kebutuhan satu golongan. Sehingga reformasi agraria juga perlu menjamin adanya program tata ruang yang mampu menjamin struktur masyarakatnya yang beragam, mulai dari kelas miskin, menengah, hingga kaya.
Rizky Serati