Wartapilihan.com, Jakarta – Setelah dua kubu (Djan Faridz dan Romahurmuziy atau Romy)Partai Persatuan Pembangunan(PPP) memberi dukungannya kepada Basuki Tjahaja Purnama(Ahok)-Djarot, Ahad(9/4) kemarin Partai Kebangkitan Bangsa(PKB)DKI Jakarta, menyusul.
Deklarasi dukungan terhadap Ahok-Djarot berlangsung di GOR Ragunan, Jakarta Selatan, bersamaan dengan peringatan Isra’ Mi’raj yang diselenggarakan oleh PKB. Berbeda dengan PPP, dukungan PKB terhadap Ahok-Djarot belum menimbulkan gejolak internal.
Sementara di PPP, penolakan datang tidak hanya dari kader, tapi juga dari DPW dan cabang. Abraham “Lulung” Lunggana, Ketua DPW PPP DKI Jakarta, menolak dukungan PPP kepada Ahok-Djarot. “Jangan paksa saya untuk mendukung Ahok, karena saya bertanggung jawab kepada umat dan Allah Subhanallahu wa Ta’ala, PPP adalah partai yang berazaskan Islam,” tutur Haji Lulung. Atas sikapnya itu, DPP PPP Pimpinan Djan Faridz memecat Haji Lulung, Ahad(12/3).
Begitu pula DPW PPP Yogyakarta dan DPC se Madura menolak keputusan DPP PPP kubu Romy yang mendukung Ahok-Djarot. Bahkan, mereka mengusulkan digelarnya muktamar luar biasa untuk menggantikan DPP yang dipimpin Romy. Bachtiar Chamsjah selaku anggota Majelis Tinggi (A’la) PPP kubu Romy, juga menolak. “PPP itu kan azasnya Islam. Itu artinya azas itu segala tindak tanduk harus bernapaskan Islam,” kata Bachtiar.
Mengapa di tubuh PKB tidak atau belum ada gejolak? Di PKB, ada kultur “penolakan” secara diam-diam. Jadi meskipun sikap resmi partai mendukung Ahok-Djarot, para kadernya tidak serta merta mendukung dengan sepenuh hati. Karakter kader PPP dan PKB tidak sama. Hal ini karena kader-kader PPP berasal dari berbagai unsur dari kalangan umat Islam, sedangkan kader-kader PKB murni dari kalangan nahdliyin(satu warna).
Sikap politik PPP dan PKB yang mendukung Ahok-Djarot memberi pelajaran berharga pada umat Islam. Jika partai ber-azas dan berbasis massa Islam saja tidak melaksanakan syariat Allah, maka ia akan ditinggalkan oleh umat dan kader-kader yang masih memegang teguh Islam secara kaffah.
Hal tersebut bisa berdampak pada kepercayaan umat kepada partai ber-azas dan berbasis massa Islam. Umat Islam akan mencari jalan keluarnya sendiri dengan dua cara. Pertama, umat akan benar-benar selektif dalam menyalurkan aspirasinya. Mereka akan mencari partai ber-azas dan berbasis massa Islam yang konsisten dengan ajaran Islam; dan Kedua, mereka yang kecewa dengan partai-partai Islam akan menyeberang menjadi golongan putih alias Golput. Dan ini akan merugikan perjuangan politik Islam ke depan.
Memilih pemimpin pemerintahan tidak sama dengan memilih pimpinan di sebuah perusahaan. Jika di perusahaan atau instansi pemerintah, melilih pemimpin sudah ada mekanismenya, dan karyawan tidak berhak untuk mencampurinya. Begitu pula jika di sebuah perusahaan, ada dewan komisaris yang punya wewenang untuk eksekutif di perusahaan tersebut.
Tapi, jika memilih pemimpin pemerintahan, seperti gubernur, misalnya, maka itu sepenuhnya adalah hak rakyat untuk menjatuhkan pilihannya. Dan, umat Islam sudah terang benderang diberi petunjuk dalam memilih pemimpin. Bagi mereka yang mengaku Muslim tapi memilih orang kafir sebagai pemimpinnya, maka ia termasuk golongan kafir(QS. al-Maidah: 51), munafik(QS. An-Nisa’: 138-140), zhalim(QS. At-Taubah: 23), dan fasiq(QS. Al-Maidah: 81).
Dengan demikian, ketika PPP dan PKB menetapkan pilihannya pada calon pasangan yang jadi tersangka penista agama Islam, maka ia akan ditinggalkan oleh kontituennya. Para petinggi di dua partai tersebut telah dengan sengaja merobohkan tiang-tiang partai yang selama ini menjadi penopangnya.
Masih adakah harapan terhadap partai Islam? Masih ada. Partai-partai yang ber-azas dan berbasis massa Islam saatnya bangkit dan ambil kendali. Caranya, rawatlah kontituen secara Islami, berilah mereka solusi, dan berjalanlah bersama-sama menuju Allah. Godaan duniawi, berupa finansial dan tahta, hendaknya mampu diatasi dengan orientasi akherat. Hanya dengan cara seperti itu politik Islam punya masa depan yang cerah. Wallahu A’lam.
Penulis: Herry M. Joesoef