Majalah Tempo edisi 22 Oktober 2017, melaporkan adanya pertemuan pengembang reklamasi di rumah Prabowo. Tapi Anies Baswedan dalam pertemuan itu menyatakan bahwa tidak terjadi kesepakatan apa-apa.
Wartapilihan.com, Jakarta –Pertemuan itu terjadi di rumah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada awal Agustus lalu. Hari itu, Prabowo mengundang mereka yang terlibat dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Dua tamu Prabowo siang itu adalah bos Grup Artha Graha, Tomy Winata, dan pemilik Grup Agung Sedayu yang punya lima pulau reklamasi, Richard Halim Kusuma. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Gerindra, Muhammad Taufik, juga terlihat ada di sana.
Bintang tamu makan siang itu tak lain adalah jagoan Prabowo yang telah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam pemilihan pada April lalu, Anies Rasyid Baswedan. °Pertemuan itu hanya untuk kulonuwun ke gubernur baru,” kata Taufik pada Kamis pekan lalu kepada Majalah Tempo.
Anies terlihat kaget begitu melihat Tomy Winata dan Richard Halim. Apalagi, menurut orang-orang dekatnya, mantan pemimpin Komando Pasukan Khusus itu tak memberi tahu Anies bahwa makan siang tersebut akan mengundang dua pengusaha ini.
Prabowo lalu mempersilakan Tomy Winata menjelaskan tujuan pertemuan itu. Bos Artha Graha itu memulai percakapan dengan memperkenalkan Richard. Ia adalah anak Sugianto Kusuma alias Aguan, bos Grup Agung Sedayu. Perusahaan ini merupakan induk PT Kapuk Naga Indah, pemegang izin Pulau A, B, C, D, dan E.
Pulau A dan B seluas 259 hektare berada di wilayah Provinsi Banten, sementara Pulau C, D, dan E seluas 872 hektare berada di wilayah DKI Jakarta. Pemerintah pusat menghentikan sementara pembangunan Pulau C dan D, yang dianggap melanggar banyak aturan, sampai akhirnya mencabutnya pada awal Oktober ini.
Setelah memperkenalkan Richard, Tomy memperkenalkan laki-laki lain yang duduk di sebelahnya sebagai Ali Hanafi. Di kalangan pengusaha dan politikus, Ali dikenal sebagai orang kepercayaan Aguan. Tomy lalu meminta Ali menjelaskan lebih jauh soal proyek reklamasi.
Mendapat perintah itu, Ali mengeluarkan segepok dokumen, menjelaskan apa saja yang sudah dilakukan PT Kapuk Naga Indah terkait dengan reklamasi. “Intinya, mereka menjelaskan proyek itu telah berjalan,” kata sumber Tempo yang mengetahui pertemuan ini.
000
Masalah reklamasi pantai utara Jakarta ini mencuat kembali, setelah Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pada 5 Oktober lalu, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017 tentang pencabutan surat menteri sebelumnya (Rizal Ramli) yang menghentikan proyek reklamasi.
Menurutnya, keputusan itu diambil karena Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencabut sanksi administratif Pulau C, Pulau D dan Pulau G, karena pengembang telah memenuhi sanksi moratorium dari pemerintah pusat, tentang masalah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Menurut Luhut, tak ada alasan menolak reklamasi. Apalagi pengembang telah bersedia membayar 15 persen sebagai kontribusi tambahan terkait dengan proyek tersebut. “Kalau ada orang mau memberi duit Rp 77 triliun, ya, saya terima untuk kepentingan DKI,” kata Luhut.
Kebijakan Luhut yang mendadak, menjelang pengangkatan gubernur DKI Jakarta yang baru, menimbulkan tanda tanya. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengkritik keputusan Luhut yang tiba-tiba mencabut moratorium izin reklamasi Teluk Jakarta. “Saya belum tahu detailnya seperti apa. Kita punya ketetapan hukum, peraturan hukum. Ya tidak boleh asal bicara. Kan stakeholder nanti nelayannya kan, kita mesti tanya seperti apa? Mau tidak? Enggak semudah itu,” kata Susi, Jumat lalu (20/10).
Menurut Susi, Luhut tidak bisa asal bicara mengenai nasib nelayan. Sebab, masih ada proses dan aturan yang harus dilihat sebelum mengambil keputusan.
Karena keputusan reklamasi Luhut ini, maka pengembang reklamasi di Pulau C dan D kembali melaksanakan kegiatan pembangunan di sana. Koran Tempo hari ini (24/10) membuat headline utamanya : “Pembangunan di Pulau Reklamasi Digeber. Aturan tentang izin mendirikan bangunan di pulau itu belum ada.” Wartawan Tempo yang melakukan investigasi di pulau reklamasi itu menulis,”Puluhan pekerja juga hilir mudik menanam jaringan kabel di jalan utama Pulau D. Pekerja lainnya sibuk di deretan gedung di sisi utara pulau yang sempat mangkrak. Di sana para pekerja sedang menambah lantai bangunan. Sedangkan di sisi timur Pulau, para pekerja giat membangun fondasi yang membentuk bingkai kotak-kotak. Beberapa bangunan bahkan telah berdiri di sana.”
000
Menurut Profesor Gunawan Tjahjono, Guru Besar Arsitektur UI, reklamasi ada yang berhasil dan ada yang gagal diukur dari tujuan dan dampaknya. Singapura dianggap berhasil dalam proyek reklamasi menambah lahan hunian dan bandar udara, pencadangan air baku, dan meningkatkan pemasukan negara. Hong Kong berhasil mereklamasi untuk Bandara Chek Lap Kok, namun kurang berhasil dalam proyek reklamasi Wan Chai II karena masalah legitimasi.
Meidera gagal memasukkan laporan dampak lingkungan, sehingga proyek reklamasinya dihentikan pengadilan California. Projek reklamasi Tondo, Filipina yang disponsori Bank Dunia dianggap sebagian berhasil dan sebagian tidak, meski keberhasilan melampaui kegagalan. Proyek itu melibatkan warga dalam tataolah, sehingga pada akhir proyek 180.000 jiwa dirumahkan dengan puas.
Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta dan juga Benoa Bali, menurut professor Gunawan, pertanyaan untuk apa mungkin lebih mudah dijawab dengan alasan pendukung. Mengatasi banjir, kekurangan lahan hijau kota, dan hunian, serta penyediaan air baku adalah alasan yang sering diajukan terutama oleh pihak berkuasa.
“Namun, akan amat anggun jika reklamasi itu merupakan bagian dari strategi pelaksanaan pembangunan kota terpadu dalam arti luas, dengan mencakup kota-kota sekitar. Dalam kaitan itu, reklamasi akan menyumbangkan sumberdaya kota dengan efisien dan ekologis. Pertanyaan yang lebih sulit dijawab adalah: reklamasi untuk siapa? Jika lokasi reklamasi telah ada penghuni bermata pencaharian dan berpola budaya kuat, mereka sudah sewajibnya dilibatkan dalam tataolah pengambilan keputusan,” kata Prof Gunawan dalam liputan6.com.
Sementara itu, pakar Oseanografi dari Institut Pertanian Bogor, Dr Alan Koropitan secara terbuka menentang keras reklamasi pulau di Pantai Utara Jakarta. “Untuk konteks teluk Jakarta saya katakan bahwa 17 pulau ini memang tidak layak dilakukan reklamasi dan sebaiknya dihentikan, karena hanya merusak lingkungan,” kata Alan dalam sebuah diskusi di Jakarta, 9 April 2016 lalu.
Ia menyatakan bahwa dampak negatif dari beberapa aspek dapat terjadi jika reklamasi tetap dilaksanakan. “Kalau dari aspek lingkungan tidak ada sama sekali (keuntungan). Banjir malah akan semakin parah karena tersumbat, selain itu dari aspek sosial juga harus diperhatikan. Ada lebih dari 18 ribu nelayan yang akan telantar. Relokasi itu tidak mudah,” kata Alan.
Pakar dari IPB ini menyebutkan bahwa reklamasi akan memperparah banjir karena akan menimbulkan sendimentasi dan menyumbat aliran air dari hulu. Reklamasi ini menurutnya akan berdampak pada penumpukan sendimen di sungai-sungai Jakarta. Limbah dari darat akan lebih lama tertinggal karena arus air ke laut terhambat. “Perubahan bentang alam mengubah arus. Material tertinggal di sungai makin lama,” kata Alan.
Alan menceritakan bahwa sebelum melakukan reklamasi, sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri sudah mengontrak perusahaan konsultan Danish Hydraulic Institute (DHI) untuk mengkaji dampak lingkungan dari terbentuknya 17 pulau baru. Pada hasil laporan DHI kepada Kementerian Lingkungan Hidup, konsultan asing itu tidak dapat memberikan jaminan reklamasi di kawasan Teluk Jakarta dapat ditanggulangi dampak lingkungannya.
“Dikatakan (DHI) tidak ada pengalaman terkait implementasi reklamasi Teluk Jakarta terkait banjir, sendimen dan kualitas air. Dia tidak bisa memberi jaminan,” tegasnya.
Di samping tentu saja, seperti kata Anies Baswedan dalam kampanyenya, bila reklamasi ini diteruskan, maka penduduk Jakarta tidak bisa lagi menikmati gratis indahnya pemandangan pantai utara Jakarta.
Jadi mengapa Luhut ngotot diteruskan reklamasi? ||
Izzadina