Bangladesh menuduh Myanmar meletakkan ranjau darat di sepanjang perbatasan untuk mencegah Rohingya menuju Bangladesh.
Wartapilihan.com, Dhaka –Myanmar telah meletakkan ranjau darat di bagian perbatasannya dengan Bangladesh selama tiga hari terakhir. Begitu bunyi sebuah laporan yang mengutip dua sumber pemerintah di ibukota Bangladesh, Dhaka.
Sumber tersebut mengatakan bahwa tujuannya untuk mencegah kembalinya Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan tersebut.
Bangladesh pada hari Rabu (6/9) secara resmi mengajukan protes menentang peletakan ranjau darat yang begitu dekat dengan perbatasan.
Sejak kekerasan terakhir dimulai di negara bagian Rakhine di Myanmar, setidaknya 400 orang telah terbunuh dan hampir 125.000 orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh yang menyebabkan krisis kemanusiaan besar.
“Mereka menempatkan ranjau darat di wilayah mereka di sepanjang pagar kawat berduri,” salah satu sumber mengatakan kepada Reuters.
Kedua sumber tersebut mengatakan bahwa Bangladesh mengetahui tentang ranjau darat terutama melalui bukti dan informan fotografi.
“Pasukan kami juga telah melihat tiga sampai empat kelompok yang bekerja di dekat pagar kawat berduri, memasukkan sesuatu ke dalam tanah,” kata salah satu sumber.
“Kami kemudian mengkonfirmasi dengan informan kami bahwa mereka meletakkan ranjau darat.” Sumber tersebut tidak menjelaskan apakah kelompok tersebut berseragam, tapi mereka yakin mereka bukan Rohingya.
Bereaksi terhadap laporan tersebut, Phone Tint, Menteri Rakhine untuk Urusan Perbatasan, mengatakan kepada Al Jazeera: “Kami tidak melakukan hal seperti itu.”
Manzurul Hassan Khan, seorang petugas penjaga perbatasan Bangladesh, yang mengatakan kepada Reuters bahwa dua ledakan terdengar pada hari Selasa (5/9) di sisi Myanmar.
Dua ledakan serupa pada hari Senin (4/9) telah mendorong spekulasi bahwa pasukan Myanmar telah meletakkan ranjau darat.
Seorang anak laki-laki kaki kirinya terkena ledakan pada hari Selasa (5/9) di dekat persimpangan perbatasan dibawa ke Bangladesh untuk perawatan, sementara anak laki-laki lain menderita luka ringan, kata Khan, menambahkan bahwa ledakan tersebut bisa jadi ledakan ranjau.
Seorang pengungsi Rohingya yang pergi ke lokasi ledakan pada hari Senin (4/9) di jalan setapak dekat tempat warga sipil yang melarikan diri dari kekerasan dalam apa yang digambarkan sebagai “tanah tak berpenghuni” merekam sesuatu yang tampak seperti ranjau: sebuah cakram logam dengan diameter sekitar 10cm sebagian terkubur di lumpur.
Dia mengatakan bahwa dia yakin ada dua ranjau lain yang terkubur di tanah.
Dua pengungsi juga mengatakan kepada Reuters bahwa mereka melihat anggota tentara Myanmar di lokasi tersebut dalam waktu dekat sebelum ledakan pada Senin (4/9) yang terjadi sekitar pukul 02.25 waktu setempat.
Reuters tidak dapat secara independen memverifikasi bahwa perangkat yang ditanam adalah ranjau darat dan bahwa ada kaitan dengan tentara Myanmar.
Tentara Myanmar belum berkomentar mengenai ledakan di dekat perbatasan.
Zaw Htay, juru bicara pemimpin nasional Myanmar, Aung San Suu Kyi, tidak segera memberikan komentar.
Pada hari Senin (4/9), Htay mengatakan kepada Reuters bahwa klarifikasi diperlukan.
“Di mana bom itu meledak, siapa yang bisa pergi ke sana dan yang meletakkan ranjau darat itu? Siapa yang pasti bisa mengatakan bahwa ranjau tersebut tidak diletakkan oleh teroris?” tuduhnya.
Tidak Berkomentar
Tiang-tiang perbatasan yang disebutkan oleh sumber-sumber yang berbasis di Dhaka membatasi kedua negara dan Myanmar memiliki sebagian pagar kawat berduri.
Sebagian perbatasan kedua negara sepanjang 217 kilometer itu sudah berkarat.
“Mereka tidak melakukan apapun di tanah Bangladesh,” kata salah satu sumber.
“Namun, kami belum pernah melihat peletakan ranjau darat seperti itu di perbatasan sebelumnya.”
Myanmar yang berada di bawah kekuasaan militer sampai saat ini adalah satu dari sedikit negara yang belum menandatangani Perjanjian Anti Ranjau 1997.
Lebih dari satu juta Rohingya di Myanmar dipandang sebagai imigran ilegal di negara bagian terutama oleh para Buddhis.
Daerah tempat Rohingya tinggal, terutama di Rakhine, berada di bawah tindakan keras militer yang terus-menerus, dengan laporan pembunuhan di luar proses hukum, pemerkosaan, pembakaran, dan penyiksaan oleh aparat keamanan.
Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, meminta pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada hari Selasa (5/9) untuk mengakhiri kekerasan terhadap Rohingya.
Dia memperingatkan akan terjadinya “destabilisasi regional” jika kekerasan terus berlanjut.
Myanmar berpendapat tindakan keras keamanan diperlukan untuk melawan “terorisme”.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya di Facebook, Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa pemerintah telah “mulai membela semua orang di Rakhine dengan cara terbaik” dan memperingatkan terhadap kesalahan informasi yang dapat merusak hubungan dengan negara lain.
Moedja Adzim