Mengerti apa yang diinginkan oleh pasangan bukan hal yang mudah. Selain menjalin komunikasi yang baik dan intens, diperlukan untuk memahami psikologi pasangan, baik laki-laki (suami) maupun perempuan (istri).
Wartapilihan.com, Depok –Keluarga layaknya sebuah bahtera kapal. Laki-laki sebagai ‘nahkoda’ dalam kehidupan rumah tangga memiliki andil dalam memutuskan suatu hal. Perempuan sebagai pendamping nahkoda yang memberikan masukan mengenai perbekalan, dan sebagainya, meski keputusan pada akhirnya akan tetap diputuskan nahkoda. Hal ini disampaikan Nia Raihanah, seorang psikolog.
“Sama halnya dengan visi sebuah kapal yang akan berlayar, tentu yang menentukan adalah sang nakhoda. Adapun dalam perjalannya mau singgah dulu dimana atau dengan kecepatan seperti apa, misalkan mengingat ada perbekalan yang belum dimuat, dll, maka sang nakhoda bisa mendengarkan pendampingnya di kapal. Namun keputusan tetap ada di nakhoda kapal, apakah lanjut atau mampir,” ujar Nia, Rabu malam, (23/8/2017), Depok.
Nia menjelaskan, pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki karakteristik dan peran yang berbeda. Potensi laki-laki pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir yang kuat. Perempuan lebih ke aspek perasaan yang kuat. “Maka, peran yang kuat untuk membangun visi tentu ada di laki-laki. Meski terkadang pada kasus tertentu ada pengecualian,” lanjutnya.
Laki-laki biasanya memiliki sifat superior, dimana terkadang enggan menerima jika dievaluasi, misalnya dalam hal pengasuhan anak. Sehingga rentan terjadi konflik. Nia mengatakan, istri harus bermain cantik dengan cara memposisikan diri sebagai teman diskusi, bukan seorang evaluator. Sehingga, suami merasa nyaman dan tetap merasa harga dirinya dan kepercayaannya terjaga.
“Take over-nya harus bermain cantik. Biar sang suami yang tetap merasa bahwa ini adalah keluargaku yang aku pimpin. Saling membangun harga diri dan kepercayaan diri tetap harus diutamkan. Dengan cara demikian, istri tidak dalam posisi sebagi evaluator, tetapi sebagai teman diskusi. (Hal itu) lebih nyaman terasa oleh pasangan,” papar Nia.
Salah satu teknik yang dapat diterapkan yakni Mendengarkan Aktif. Menurut Nia, penting sekali untuk mendengarkan secara aktif ketika sedang berdua saja. Karena, dengan demikian, suami merasa didengarkan. Demikian juga suami kepada istrinya, juga orangtua terhadap anak-anaknya. Selain itu, penting untuk menilik emosi yang sedang stabil. Pasalnya, evaluasi menurut Nia lebih efektif apabila dilakukan dalam kondisi emosi yang tenang.
“Harus tunggu cooling down dulu emosinya. setelah tenang dan bisa diajak bicara, maka bisa dilakukan. Kalau terkait dengan sunah Rasul, beliau mengisyaratkan kalau marahan gak boleh lebih dari 3 hari. Maka, sesuai dengan karakter emosi yang pada sebagian orang tidak bisa segera reda. Dikasih tempo 3 hari agar tidak berlarut-larut, tetapi punya waktu untuk menenangkan diri,” imbuh dia.
Dalam situasi konflik apapun, Nia menyarankan agar mengusahakan tidak impulsif, atau memaksakan bertindak saat emosi terbangkitkan. Tapi, baiknya pikirkan dulu apa yang akan dilakukan beserta dampaknya. “Jika belum tenang, mending menghindar dulu dengan masuk kamar, gak usah lari ke rumah orangtua; atau bisa juga tempat menghindar sementara disepkati terlebih dulu, misalkan kalau saya butuh menenangkan diri, maka saya akan pergi ke suatu tempat,” tandasnya.
“Nanti kalau sudah tenang, bisa kembali ke rumah dan siap bicara, atau ketemuan di tempat tersebut untuk membahasnya,” pungkas Nia.
Eveline Ramadhini