PRT Dianiaya

by
Ilustrasi penganiayaan. Foto: E Channel.

Maghfiroh, seorang ibu dua anak yang dianiaya oleh majikannya atas tuduhan pencurian uang senilai 1,5 juta rupiah. Sang majikan menampar korban dan mencukur rambut korban hingga gundul.

Wartapilihan.com, Jakarta – Penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) seolah telah menjadi hal yang lumrah, baik di negeri sendiri maupun di negeri orang. Namun, seyogyanya hukum tetap harus ditegakkan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kisah Maghfiroh hanyalah salah satu perwakilan yang mengalami kekerasan ketika bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Ia mengalami kekerasan secara verbal dan fisik yang mempengaruhi kondisi psikisnya. Kasus seperti ini pun merupakan gunung es yang tampak di permukaan laut; Sebanyak 80 persen kasus kekerasan pada PRT sesungguhnya tidak terpublikasi.

Menurut keterangan Kapolres Bogor, Andi M Dicky Pastika, Maghfiroh menghubungi pihak kepolisian pada tanggal 10 Agustus karena tuduhan tak berdasar yang diterima dari majikannya. Setelah penyidikan dan pemeriksaan dilakukan terhadap Sembilan saksi, baik terlapor maupun pelapor, pada tanggal 22 Agustus kemarin, pelaku sudah ditahan dan dijadikan sebagai status tersangka.

“Dari terlapor saudari M memang sudah melapor pada tanggal 10 agustus 2018 setelah itu dilakukan penyidikan, pemeriksaan, terhadap 9 saksi, terlapor maupun pelapor. Tanggal 22 kita sudah menangkap dan tahan pelaku. Saksi diperiksa yang mengetahui, istri ditindaklanjuti lagi,” kata AKBP Andi, Kamis, (23/8/2018).

Andi menerangkan, perilaku ini telah melanggar pasal 365 KUHP yaitu Pasal Pencurian dengan Kekerasan sebagai Pemberatan dan pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan. “Ke depannya (pasal tersebut) dapat berkembang lebih lanjut jika ditemukan pelanggaran lain,” tukas Andi.

Sementara itu, Reza Indragiri Amriel selaku psikolog forensik mengatakan, kejahatan seperti ini memang bukan kejahatan yang seberat terorisme dan korupsi. Tetapi, menurut dia, sebagai sesama manusia ada perasaan tersayat di dalam hati karena dengan mudahnya memperlakukan orang lain sedemikian tidak adil.

“Mba maghfiroh dianggap mewakili calon korban sempurna, secara fisik dan psikis dianggap lemah sebagai perempuan. Kemudian, status sosial ekonomi yang rentan karena mau disuruh apapun dan identik dengan ketidakberdayaan. Belum lagi kendala fisik (bibir sumbing) menjadi cacian,” tutur Reza prihatin.

Walau tidak ada darah yang tertumpah dan bukan kasus kejahatan yang serius, menurut Reza tetap membutuhkan keahlian negara. “Siapa lagi yang bisa melindungi selain negara?” sergah dia.

Tamparan dan gundulan, tambah Reza, jangan dianggap sepele. Pasalnya, perlakuan tersebut menimbulkan rasa trauma, rasa tidak adil, dan hal ini perlu disikapi secara serius.

“Apakah kemudian sudah divisum? Cubitan di leher ada, tetapi luka batinnya juga harus divisum. Pendekatan psikologi memungkinkan itu. Tidak hanya bicara tentang luka korban, tapi juga ke batin. Menandakan ada sesuatu yang serius,” tegas Reza.

Trauma healing yang dilakukan ialah perlu untuk ke psikolog untuk melakukan terapi psikologis. Keluarga, lanjut Reza, juga berperan penting untuk memberikan efek penyembuhan terhadap korban.

“Apa yang bisa dilakukan keluarga, baiknya korban tidak mengisolasi diri. Semaksimal mungkin menyemangati korban untuk bekerja seperti sediakala,”

“Jika diperluas wacananya di viktimologi, ada korban primer dan sekunder. Korban primernya adalah Maghfiroh dan korban sekundernya ialah dua anak dan keluarga. Korban lebih dari satu, bisa dibawa ke ranah hukum,” pungkas dia.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *