Telah ditemukan di Mexico, tepatnya di Cenote Angelita, sebuah sungai di bawah laut yang airnya tetap tawar yang seharusnya air tersebut menjadi asin karena bercampur dengan air laut. Sungguh fenomena alam yang luar biasa. Ternyata, fenomena alam ini telah diberitakan dalam al-Qur’an (QS. Furqan: 53). Namun, ketika kita membicarakan keajaiban atau mukjizat dalam al-Qur’an, apakah akan terbatas pada fenomena alam atau indrawi saja? Jika begitu, maka apa bedanya dengan mukjizat para Rasul yang lain?
WartaPilihan.com, Depok– Apakah mukjizat hanyalah sebuah hal yang membuat kita terkagum-kagum? Padahal Muhammad Ali Ash-Shabuny dalam kitab At-Tibyân menyebutkan, “Al-Qur’an telah membangkitkan ummat, memperbarui masyrakat, dan menyusun generasi yang belum pernah tampil dalam sejarah.”[1] Maka, pasti ada hal yang berbeda antara mu`jizat al-Qur’an yang diberikan untuk Nabi Muhammad (Saw) ini dengan mukjizat para Rasul yang lain. Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan mukjizat? Berupa apa mukjizat dalam al-Qur’an itu? Mengapa al-Quran adalah mukjizat terhebat yang pernah ada? Semua hal itu Insya Allah akan dibahas sebagai berikut.
Makna Mukjizat
Dalam bahasa Arab, mukjizat yang berasal dari kata i`jaz berarti, “menisbatkan lemah kepada orang lain”[2]. Buya Hamka mengartikannya, “yaitu lemah orang untuk meniru atau menyamai, apatah lagi menandingi dan melebihinya”[3]. “Yang dimaksud dengan i`jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi setelah mereka”, kata Manna Khalil al-Qatthan[4]
Jadi, bilamana manusia dihadapkan dengan sebuah mukjizat, maka bukan hanya tercengang mereka, tetapi juga menjadi lemah. Lemah karena ketidakmampuan mereka untuk menandingi keajaiban Rasulullah, walau pun mereka telah berusaha dengan seluruh kemampuan mereka.
“Tujuannya hanya untuk melahirkan kebenaran mereka, menetapkan bahwa yang mereka bawa adalah semata-mata wahyu dari Dzat Yang Maha Bijaksana dan diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa” kata Ash-Shabuny dalam At-Tibyan.[5]
Mu’jizat dalam al-Qur’an
Ada perbedaan pendapat diantara para Ulama tentang kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi, mukjizat yang ada dalam al-Qur’an secara ringkas oleh Buya Hamka dibagi menjadi empat:
- “Fashahah dan balaghah amat tinggi derajat kata dan maknanya, yang memesona pendengarnya, yang dimulai oleh orang Arab yang empunya bahasa itu sendiri, yang lebih tahu apa susun, irama, gaya, dan pengaruh ungkapan kata yang dapat menarik dan memesona. Susunan al-Qur’an bukanlah susunan syair dengan susun rangkai kata menurut suku-kata bilangan tertentu, dan bukan ia puisi, dan bukan ia prosa, dan bukan pula ia sajak, tetapi ia berdiri sendiri melebihi syair, nashar, nazham, yang belum pernah sebelumnya turun, orang Arab belum pernah mengenal yang seperti itu”[6].
Bahasa Arab yang ada di dalam al-Qur’an terlalu hebat derajat kata dan makna serta rangkaian katanya untuk ditandingi oleh manusia, sampai-sampai Nabi Muhammad sendiri disebut tukang sihir karena hanya membaca al-Qur’an. ‘Tersihir’ bukanlah merupakan ungkapan yang salah, karena orang-orang yang mengerti bahasa Arab pasti akan terpesona dengan balaghah-nya, terpukau oleh makna yang terkandung di dalamnya, tenggelamlah perasaan halus mereka pada butir katanya, susunannya, dan gaya bahasanya serta kandungan isinya. Walaupun, mereka bukan orang Islam. Sebagaimana pemuka-pemuka Quraisy dahulu, seperti Abu Jahal, Abu Sufyan, al-Walid bin al-Mughirah, dan lain-lain.
Contoh dari kemukjizatan bahasa al-Qur’an diantaranya adalah ayat dalam al-Qur’an yang bersajak. Seperti dalam surat al-Muddatsir ayat 18-25, yang di dalamnya juga ada perkataan dari al-Walid bin al-Mughirah sendiri, seorang ahli sastra pada zaman Nabi, yang ia berkata, “(Al-Qur’an) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang terdahulu), ini hanyalah perkataan manusia.”(QS. Al-Muddatsir: 24-25)[7]. Ia mengatakan ini karena ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang lebih hebat darinya.
- “Al-Qur’an banyak menceritakan berita tentang masa-masa lalu” kata Buya Hamka.[8]
Kisah-kisah tentang Kaum ‘Ad, Tsamud, kaum Luth, kaum Nuh, kaum Ibrahim, kaum Musa, negeri Madiyan, cerita tentang Maryam binti Imran dan putranya Nabi Isa As. dan lain sebagaiannya adalah kisah-kisah yang bisa kita temui dalam al-Qur’an. Kisah-kisah ini bertujuan agar umat Muslim berpikir dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah itu. Seperti dalam firman Allah, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 112)
- “Didalam al-Qur’an pernah diberitakan pula hal yang akan terjadi.”[9]
Sebagai contoh, adalah ayat awal surah ar-Ruum yang memberitakan kekalahan orang Rum (Romawi Timur) dalam perang melawan orang Persia, tetapi setelah beberapa tahun kemudian, orang Rum pasti akan menang kembali. Ketika orang Rum kalah pada awalnya, musyrikin Quraisy bergembira hati sebab orang Persia yang mengalahkan mereka juga penyembah berhala. Sedangkan kaum Muslimin bersedih, karena orang Rum adalah pemeluk Nasrani yang pokok ajarannya tauhid juga.
Namun, turunnya ayat yang memberi kepastian bahwa Rum akan menang kembali dalam beberapa tahun lagi atau bidh`i sinina, artinya tujuh sampai sembilan tahun lagi, Abu Bakar ra. sampai bertaruh dengan orang Quraisy beberapa ekor unta bahwa Rum akan menang lagi. Ketika tiba waktunya, terjadilah kemenangan Rum atas Persia. Abu Bakar yakin bahwa dirinya akan menang, sebab bunyi dari ayat tersebut. Maka, diterimalah kemenangan pertaruhannya (ketika itu zaman Makkah, belum ada larangan bertaruh).
- “I`jaz yang lebih mengagumkan lagi ialah terdapatnya beberapa pokok ilmiah yang tinggi di dalam al-Qur’an mengenai alam.”[10]
Di dalam al-Qur’an, dibicarakan soal kejadian langit dan bumi, soal asal-usul kejadian manusia, dan tentang ilmu pengetahuan alam lainnya. Disinilah terletaknya mukjizat. Nabi kita Muhammad (Saw) tidak bisa menulis dan tidak pula bisa membaca, apalagi masuk satu sekolah. Bahkan, tidak ada sesuatu yang dapat dikatakan sebagai sekolah pada waktu itu. Satu-satunya agak patut disebut ilmu pada masa itu hanyalah ilmu ansab, yaitu ilmu nasab-keturunan, yang diajarkan secara verbal (lisan ke lisan). Ilmu itu pun tidak dikuasai oleh beliau, malah sahabat setianya, Abu Bakar, yang ahli dalam ilmu keturunan suku-suku Arab itu, bukan beliau.[11]
Mukjizat Terhebat
Setelah kita mengetahui mukjizat al-Qur’an di atas, lalu apakah yang membuat mukjizat dalam al-Qur’an lebih hebat dari mukjizat-mukjizat nabi lainnya? Pasti akan timbul pertanyaan, bila mu’jizat adalah sesuatu yang melemahkan, mengapa Nabi Muhammad hanya diberi sebuah al-Qur’an yang dibaca atau satu kitab yang dipelajari, bukan sebuah mukjizat yang mengagumkan akal secara langsung? Seperti tongkat Nabi Musa yang dapat membelah laut, Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api, atau sebagaimana Nabi Isa yang dapat menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra.
Jawabannya adalah time changes, waktu atau zaman berubah, mukjizat seorang rasul atau pun seorang nabi selalu disesuaikan oleh Allah dengan zaman hidup rasul atau nabi itu sendiri, dan harus sesuai pula dengan macam-ragam risalah yang dibawanya. Buya Hamka berkata, “Apabila risalahnya adalah risalah yang merata untuk seluruh manusia, yang kekal dan tidak akan berubah lagi selama-lamanya, hendaklah mukjizatnya itu yang kekal dan merata pula, yang kian mendalam orang berpikir, yang kian mengaku akan mukjizat itu.”[12]
Nabi Muhammad (Saw) adalah rasul yang diutus untuk seluruh ummat sampai akhir zaman, maka tidaklah tepat apabila muikjizat yang beliau miliki adalah mukjizat yang dapat dilihat secara empiris (hissi). Karena mukjizat yang seperti itu akan hilang seiring wafatnya rasul tersebut. Sebab itu, diturunkanlah untuk Rasulullah (Saw) mukjizat yang dapat dilihat hati dan memacu pikiran (maknawi). Agar mukjizat tersebut dapat kekal hingga akhir zaman.
Yang hebat juga adalah bagaimana perkataan-perkataan dari al-Qur’an mulai terbukti sedikit demi sedikit pada zaman ini. Padahal telah lebih dari 1400 tahun yang lalu al-Qur’an pertama kali diturunkan dan Nabi Muhammad (Saw) meninggal dunia. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an bukanlah dari Rasulullah (Saw), tetapi dari Allah SWT. Karena tidak mungkin seseorang dapat menulis tentang hal yang telah terjadi mulai dari ribuan tahun yang lalu dan hal yang akan terjadi ribuan tahun setelahnya, kecuali mereka mendapat pengetahuan dari Yang Maha Mengetahui. Banyak hal mengagumkan yang juga telah terungkap pada zaman kita. Hal-hal yang terungkap antara lain, secara sains seperti yang saya telah sebutkan di atas, air laut yang tidak bercampur dengan air tawar. Lalu, ada pertemuan antara dua laut sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Kahfi: 61.
Al-Qur’an juga memberitakan hal-hal yang akan datang di masa depan, seperti hari kiamat, kejadian di alam kubur, kejadian di akhirat serta surga dan neraka. Lagi-lagi hal ini tidak dapat dilakukan, kecuali al-Qur’an benar-benar merupakan firman Allah SWT.
Penutup
Jadi, al-Qur’an itu meliputi apa yang ada pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Al-Qur’an juga memiliki tingkat bahasa yang tinggi dan berisi ilmu-ilmu pengetahuan seperti, ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu tentang manusia, disamping ilmu agama Islam. Hal ini tidak mungkin keluar dari seorang yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis. Jadi, tidak mungkin Nabi Muhammad (Saw) menulis atau pun yang memberikan isi al-Qur’an, kecuali al-Qur’an memang bersumber dari firman Allah SWT.
Kehebatan dari al-Qur’an ini pun diakui oleh orang Barat. Dr. Maurice Bucaille, seorang dokter ahli bedah dari Perancis yang menulis buku berjudul The Bible, The Quran and Science berkata dalam bukunya tersebut:
“Once again, this fact must be noted if one is to be objective, and yet again its great importance appears very clearly in the face of the unfounded statments which are made claiming that Muhammad, the author of the Qur’an, largely copied the bible. One wonders in that case who or what reason compelled him to avoid copying the passage of the Bible contains on Jesus’s ancestry, and to insert at this point in the Qur’an the correction that put his text above any criticism from modern knowledege. The Gospels and Old Testament texts are quite the opposite; from this point of view they are totally unacceptable.”[13]
Dalam bukunya tersebut, Dr. Bucaille menyatakan bahwa al-Qur’an ditulis oleh Nabi Muhammad (Saw) atau pun menjiplak Bibel, seperti yang dituduhkan oleh banyak sarjana Barat, tidak dapat diterima akal sehat. Karena al-Qur’an memiliki keunggulan dibanding buku-buku lainnya, seperti pengungkapan atas hal-hal tentang sains yang baru ditemukan beberapa abad kemudian dan bahwa al-Qur’an tidak dapat dikritik oleh pengetahuan modern, bahkan sejalan dengannya, tidak seperti Bibel.
Akhirul Kalam, hal-hal yang ditulis di atas sekiranya sudah cukup untuk menjadi hujjah bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah dan mukjizat terhebat yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad serta menjadi bukti dari kerasulan beliau. Hal ini pula yang telah diakui oleh orang non-Muslim. Jadi, kita sebagai orang yang beragama Islam dan pengikut Nabi Muhammad (Saw), mengapa ragu atas keunggulan al-Qur’an?
Wallahu `alam bisshawab.
Muhammad Faris Ranadi, Santri Program PRISTAC- Pesantren At Taqwa, Depok
Daftar Pustaka
Hamka. 2015, Juz `Amma Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani.
Husaini, Adian. 2016, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media.
Al-Qatthan, Manna Khalil. 1996, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, a.b. Mudzakir A.S., Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Ash-Shabuny, Mohammad Aly. 1984, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), a.b. Moch Chudlori Umar, Bandung: Alma’arif.
[1] Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Study Al-Qur’an (At-Tibyan), a.b. Moch Chudlori Umar, Bandung: Alma’arif, 1996, hlm. 98.
[2] Ash-Shabuny, At-Tibyan, hlm. 102.
[3] Hamka, Juz `Amma Tafsir al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015, hlm. 11.
[4] Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, a.b. Mudzakir A.S., Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1996, hlm. 371.
[5] Ash-Shabuny, At-Tibyan, hlm. 103.
[6]Hamka, Al-Azhar, hlm. 15.
[7] Ash-Shabuny, At-Tibyan, hlm. 120.
[8] Hamka, Al-Azhar, hlm. 16.
[9] Hamka, Al-Azhar, hlm. 16.
[10] Hamka, Al-Azhar, hlm. 17.
[11] Hamka, Al-Azhar, hlm. 18.
[12]Hamka, Al-Azhar, hlm. 11-12.
[13] Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 126-127.