Kerajaan yang kuat dan silih-berganti melewati fase-fase peradabannya. Akhir masa imperium yang didirikan Cyrus yang Agung sekitar satu milenium sebelum lahirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berakhir lewat futuhat dan jihad kaum Muslimin.
Wartapilihan.com, Jakarta –Sejarawan Muslim Ad-Dinawari menyatakan dalam Al-Akhbar Ath-Thiwal (h.70) hampir seluruh lapisan masyarakat Persia memiliki aqidah dan pola pikir majusi. Majusi tidak lain adalah Zoroaster, agama yang didirikan Zaratustra, ‘nabi’ lokal bangsa Persia Kuno. Doktrin agama majusi sendiri suka menyembah api dan menjadikan api sebagai benda yang dikeramatkan. Ada pun agama Yahudi dan Nasrani berkembang di daerah jajahan Persia seperti Irak dan Bahrain (DR. Abdul Aziz bin Ibrahim Al-Umari, Buku Referensi Penaklukan dalam Islam, h. 75)
Kerajaan Persia menguasai sepenuhnya kawasan Persia, Khurasan, Irak, serta Timur dan Selatan Jazirah Arab. Kasta masyarakat Persia dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan hak, keistimewaan dan kewajibannya. Seorang Raja Persia dapat membuat aturan dan hukum sesuai kehendaknya sendiri, itu karena seorang Raja Persia dalam pandangan masyarakatnya memiliki kekuasaan layaknya tuhan. (Al-Mas’udi, Muruj Adz-Dzahab wa Ma’adin Al-Jauhar jld 1, h. 284 DR. Abdul Aziz bin Ibrahim Al-Umari, Buku Referensi Penaklukan dalam Islam)
Selain peraturan dan hukum, ada titah Raja Persia sebagai ‘hukum’ lain, bahkan titah raja adalah hukum itu sendiri, siapa yang tidak taat berarti menentang hukum dan bisa sampai taraf dihukum pancung. Anggota keluarga kerajaan termasuk pula yang tidak boleh melanggar aturan yang ada, jika ada anggota keluarga yang menikah dengan rakyat biasa, maka akan dijatuhi hukuman berat, karena dianggap mencampur-aduk darah ‘suci’ kerajaan dengan rakyat biasa. (Ad-Dinawari, Al-Akhbar (75-76) Maka keluarga kerajaan biasa berlaku lalim dan sewenang-wenang kepada rakyat jelata.
Para tentara memiliki hak dan kehormatan yang lebih tinggi dari warga biasa karena dari mereka kerajaan Persia bergantung. (Dr. Yahya Al-Kasysyab, Tasir Aqdami Nashs ‘An An-Nuzhum Al-Farisiyyah Qablal Islam (h.40). Aturan dari kaisar Persia pada pelaksanaannya ditopang oleh hukum-hukum wilayah, serta disokong oleh sebagian besar para pemimpin dan penguasa di seluruh daerah kekuasaan Persia. Para pemimpin tersebu adalah penguasa tanah dan desa-desa, mereka juga menerapkan pajak, kepada para pekerja, petani dan masyarakat umum untuk diserahkan ke kas negara.
“Para penguasa Persia terkenal dengan harta simpanan yang banyak, pakaian dan kemewahan yang sangat berlebihan sehingga tiada yang biasa menyaingi kemewahan mereka.” (Al-Mas’udi, Muruj Adz-Dzahab wa Ma’adin Al-Jauhar (1/193-194, 303) Karena terdorong dengan nafsu gaya hidup mewahnya, pajak dan upeti kepada para pemimpin, keluarga kerajaan dan tentara pun dinaikan. Masyarakat pun semakin merasa teraniaya karena aturan yang lebih mirip pemerasan itu, para pemimpin harus diberikan upeti oleh rakyat Persia sendiri (DR Subhi, Ash-Shalih An-Nuzhul Al-Islamiyyah, Nasy’atuha wa Tathawwuruha (36).
Peperangan dengan Romawi di masa akhir imperium Persia menjadikan pajak dan upeti warga Persia semakin bertambah karena negara memerlukan biaya perang, maka bisa dipahami setelah futuhat Islam rakyat Persia berbondong-bondong masuk Islam karena keadilan Islam yang tidak ditemui dalam kebudayaan mereka.Secara ilmu pengetahuan dan intelektual, lambat-laun literatur dan kebudayaan Persia diganti oleh Islam karena masyarakatnya sendiri mayoritas telah memeluk Islam pasca Perang Qadisiyah setelah sebelumnya memeluk agama majusi. Sekalipun ada literatur-literarur Persia Kuno, tetapi itu sudah diproses Islamisasi sehingga menjadi bernafaskan Islam.
Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam jilid I (h. 143) menyatakan: “Literatur-literatur Semit dan Iran dari masa-masa sebelumnya secara perlahan-lahan digantikan oleh literatur-literatur Arab dan kemudian Persia, selama abad-abad pertama Islam. Kecuali dalam kelompok-kelompok yang sangat kecil, mereka punah dan sangat sedikit yang bertahan meski hanya bentuk terjemahan-terjemahan.”
Kekhasan kebudayaan dan intelektual kaum Muslimin pasca penaklukan Persia begitu terasa karena banyak dari mereka tidak mengenal karya-karya kuno Persia, serta banyak dari generasi baru masyarakat Persia yang telah memeluk Islam tidak kembali kepada ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Kebudayaan dan Peradaban Islam di wilayah Persia membentuk wajahnya sendiri yang betul-betul baru.
Marshall Hodgson menyatakan: “Secara tidak langsung, unsur-unsur tradisi tertulis lama terus bertahan kokoh dalam yang baru; tetapi karya-karya kuno yang agung kebanyakan tidak dikenal oleh kaum Muslimin baik dalam versi aslinya maupun terjemahan. Sebaliknya, kaum Muslimin mengembangkan model-model klasiknya sendiri secara betul-betul baru” (The Venture of Islam, ibid).
Dengan demikian narasi sejarah umum antara kebudayaan Persia dan Islam yang menyatakan Islam mewarisi Persia betul-betul rentan terhadap kritik. Hal itu dipahami dari betul-betul barunya apa yang ada pada Peradaban Islam, sesungguhnya akal sehat kita justru berkata: tidak tepat jika ditafsirkan kebudayaan Islam mewarisi Persia, karena Islam sendiri memiliki kebudayaan khasnya sendiri yang unik yakni kebudayaan dan peradaban wahyu Ilahi. Konsep keadilan, kenegaraan, hukum, kebudayaan dan intelektual Islam membangunnya sendiri dari wahyu sekalipun dalam masyarakat yang heterogen seperti di Persia. Sekalipun memang harus ada -dengan jumlah yang sangat sedikit- warisan-warisan budaya Imperium Persia Kunobaik seni, literatur dan sastra namun itu semua sudah menjadi bernafaskan Islam.
Ilham Martasyabana, penggiat sejarah Islam