Belakangan tengah viral video pesta pernikahan dua orang anak berinisial A (14) dan I (15) di Kalimantan Selatan, khususnya di Kampung Saka, Desa Tungkap, Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin.
Wartapilihan.com, Jakarta –Di dalam video tersebut, dua orang anak itu dinikahkan dengan pesta yang merupakan resepsi, dan ada orang-orang yang berkata ‘sah’.
Sehari setelah akad, pernikahan tersebut dikatakan tidak sah karena belum sesuai dengan aturan agama dan negara.
Pernikahan tersebut dianggap tidak sah karena usia yang belum cukup menurut Undang Undang, dan juga dinikahkan bukan oleh penghulu, melainkan oleh tokoh masyarakat setempat.
“Itu (dinikahkan) bukan oleh penghulu, tapi dituakan di sana. Artinya tokoh masyarakat setempat, saya juga baru tahu, dan ini juga bukan kebiasaan masyarakat setempat,” tutur Mahrus, pihak KUA di Tapin, dalam acara Apa Kabar Indonesia tvOne, Senin, (16/7/2018).
Sementara itu, menurut psikolog Ajeng Raviando, anak-anak yang usianya masih belum dewasa harus mendapatkan izin dari orangtua. “Tapi ini justru orangtua yang mengizinkan dan juga memestakan,” tutur Ajeng prihatin, dalam kesempatan yang sama.
Ia mengatakan, UU pada dasarnya sudah menetapkan, pernikahan yang paling dini bagi perempuan adalah 16 tahun untuk wanita, dan minimal usia 19 tahun bagi pria.
“Orangtua (sebagai pihak) screening (pengawas) pertama, kedua penghulu sebetulnya. Ada proses dan prosedur ketika di bawah 16 saja sudah tidak bisa (menikah),” tegas dia.
Adapun jika orangtua menikahkan anaknya dengan motif menghindari zina, menurut Ajeng, orangtua merupakan pihak yang berperan paling besar agar anak tidak berzina; bukan dengan cara menikah melainkan melakukan edukasi terhadap anak.
“Asal diedukasi soal organ reproduksi, dan juga seks, orangtua bisa membekali anaknya agar tidak melakukan seks sebelum waktunya,” ungkapnya.
Ajeng merasa prihatin karena anak-anak seyogyanya dapat mengembangkan hak pendidikannya lebih jauh lagi, dan juga mengembangkan diri sesuai minat dan bakatnya.
“Miris sekali anak direnggut haknya. Anak di bawah 18 tahun, kesempatan untuk mendapatkan hak pendidikan, mengembangkan posisinya lebih jauh lagi, sudah tidak ada lagi di otak mereka. Pemikiran orang dewasa (saat menikah), tapi bukan pemikiran yang matang, kewajiban apa yang harus dilakukan,” imbuh Ajeng.
Alih-alih merasa terbebani, pernikahan yang dilakukan anak masih berpikir yang membuat terbuai, seperti lebih nyaman bersama dan berduaan. Padahal, ada hal berat di balik pernikahan itu, seperti resiko kesehatan bagi perempuan, sosial dan juga perceraian yang rentan terjadi pada kedua pihak.
Masih Banyak di Indonesia
Berdasarkan data PKBI, 1 dari 5 anak dinikahkan di Indonesia. Ajeng mengatakan, pernikahan dini lebih banyak terjadi di pedesaan dengan jumlah 1,5 kali lipat.
“Prevalensi cenderung menurun, tapi yang menikah di usia 16-18 banyak,” tegasnya.
Belum lagi, banyak penelitian yang mengungkapkan dampak apa saja yang dapat terjadi jika melakukan pernikahan dini.
“Jika melakukan aktivitas seks kemudian hamil, pada anak, jalan lahir belum terbentuk kqr namun organ reproduksi belum matang. Kemungkinan kematian di usia anak menjadi lebih rentan,” ucap Ajeng.
Belum lagi dampak psikologis yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian.
“Kemampuan mengendalikan emosi juga belum matang. Muncul kecemasan dan depresi, yang bisa terjadi pada kedua-duanya. Untuk anak perempuan menjadi seseorang lebih repot. Menanggung kehamilan, kemudian untuk anak perempuan sangat rentan,” pungkas dia.
Untuk diketahui, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF tahun 2015, prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia telah mengalami penurunan lebih dari dua kali lipat dalam tiga dekade terakhir, tetapi masih merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia tidak hanya tetap tinggi (dengan lebih dari seperenam anak perempuan menikah sebelum mencapai usia dewasa (usia 18 tahun) atau sekitar 340,000 anak perempuan setiap tahunnya), tetapi prevalensi tersebut juga telah kembali meningkat.
Selanjutnya, meskipun perkawinan anak perempuan di bawah usia 15 tahun telah menurun, tetapi prevalensi anak perempuan usia 16 dan 17 tahun masih mengalami peningkatan secara terus-menerus, yang menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak-anak perempuan menurun ketika mereka mencapai usia 16 tahun.
Eveline Ramadhini