PERJUANGAN DAN PENDIDIKAN: PIDATO PERDANA BERSEJARAH KETUA UMUM DEWAN DA’WAH

by

Oleh: Ahda Abid al-Ghiffari (Guru Sejarah Pesantren At-Taqwa Depok)

Rabu malam (21/10/2020) Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Dr. Adian Husaini menyampaikan Pidato Perdananya. Pidato ini memang bersejarah. Pidato ini disampaikan di malam Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober. Selain juga bersejarah, dan memang menyedihkan, qodarullah, pidato ini dilaksanakan setelah terdengar berita wafatnya salah seorang pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Gontor, KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Melalui Pidato Perdana tersebut, Dr Adian pun menyarikan pesan-pesan perjuangan dan pribadi visioner dari KH Abdullah Syukri Zarkasyi, sebagaimana pula disampaikan nanti dalam isi pidato Dr. Adian.

Ada tiga hal penting yang disampaikan Dr. Adian dalam pidatonya tersebut. Ketiga-tiganya saling berkait dan pada akhirnya memberikan satu kesimpulan yang menegaskan aras dan landasan pikir Ketum DDII yang baru ini dalam menakhodai DDII.

Pertama, mengingat Hari Santri Nasional, Dr. Adian kemudian mengingat monentum ketika Resolusi Jihad yang monumental difatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Momentum itu ditandai dengan semangat persatuan Kaum Muslimin yang tergabung dalam Masyumi ketika pendudukkan Jepang. Di situ, friksi-friksi modernis dan tradisionalis melebur dalam perjuangan bersama, menghadapi musuh yang sama, dan terlihat betul keikhlasan dan ukhuwah Islamiyah para pemimpin dari arsiran NU maupun Muhammadiyah. Visi Indonesia merdeka dibangun dan disamakan dengan visi kemerdekaan Muslimin. Artinya, kemerdekaan Indonesia adalah rahmat bagi Kaum Muslimin; kemerdekaan ini berarti menjamin Kaum Muslimin dalam melaksanakan ajaran agamanya.

Di selipan poin pertama ini, Dr. Adian sempat berkelakar bahwa para ulama telah mencurahkan segenap perhatian dan pengorbanannya untuk kemerdekaan Indonesia. Tetapi perhatian dan pengorbanan ini hanya ada di masa perjuangan mencapai kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, ulama jarang diajak untuk menentukan dan membangun konsep dan kebijakan kenegaraan: pendidikan, ekonomi, politik, atau kebudayaan seringkali tidak melibatkan tangan ulama. Padahal para ulama tentu bukan sekedar aktor-aktor dalam perjuangan fisik semata. Tangan dan keilmuannya justru sangat bermakna dalam menentukan arah dan konsep pembangunan bangsa dan negara.

Ini berbeda dengan peran dan kiprah ulama terdahulu, setidaknya merujuk pada abad ke-17 dan 18 di Indonesia, ketika Ulama bukan saja menjadi penghimpun massa untuk melawan musuh, tetapi perannya ditegaskan melalui otoritas keilmuan yang mendalam yang diakui dan dihormati dalam kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Hal ini adalah poin Kedua dari isi pidato Dr. Adian tersebut. Perjuangan ulama jelas takkan pernah surut. Pada tahun 1660-an, kepulangan Syaikh Yusuf al-Makassari disambut hangat oleh Kesultanan Banten.

Tidak begitu mengherankan, sebab Syaikh Yusuf telah menjalin persahabatan dangan para bangsawan Banten dan putera mahkkota ketika Syaikh Yusuf singgah kali pertama waktu akan berangkat menuju tempat ngelmu paling bergengsi di dunia Islam saat itu: Haramayn. Di saat Syaikh Yusuf kembali ke tanah air, tidak kembali ia ke tanah kelahirannya di Makasar; tetapi di Banten putera mahkota yang terdahulu menjadi sahabatnya kini telah memimpin Banten sebagai Sultan. Di masa Sultan Ageng inilah Banten mengalami kemajuan pesat dalam bidang perdaganga, pertanian, kebudayaan, dan juga pendidikan. Sosok penting di balik kemajuan ini di samping kekuasaan Sang Ageng, adalah Syaikh Yusuf al-Makassari sendiri.

Tatkala Sultan Ageng menghadapi perang yang sulit dan menentukan, karena menghadapi puteranya sendiri, Syaikh Yusuf berada di pihaknya. 1682, seketika Sultan Ageng ditangkap Belanda, tidak pula Syaikh Yusuf menyerah, melainkan melanjutkan asa Banten. Membawa pasukan gabungan (Jawa, Banten, Makasar) sejumlah kurang lebih 4000 pasukan, Syaikh Yusuf melanjutkan perang geriliya yang sangat memusingkan Belanda. Tetapi melalui pengelabuhan Belanda, Syaikh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Sarandip (Sri Lanka) dan kemudian ke Tanjung Harapan di desa Zandvliet.

Pengasingan Syaikh Yusuf dianggap menjadi keberhasilan Belanda, tetapi nyantanya tidak. Tidak henti-hentinya Syaikh Yusuf menulis risalah dan mengajar murid-muridnya serta bertukar-pikiran dengan para ulama India. Risalah-risalah yang ditulisnya dan dibawa oleh jemaah haji yang pulang ke Nusantara, sekali lagi menjadi dorongan perlawanan bagi para raja, dam sekaligus momok bagi Belanda. Oleh karena itu Syaikh Yusuf dipindahkan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Tetapi sekali lagi Syaikh Yusuf menjadi masalah bagi Belanda. Bertemu dengan komunitas Melayu di sana, Belanda berusaha membatasi aktifitas dan ibadah orang-orang Melayu ini. Tetapi berkat kegigihan Syaikh Yusuf dalam membimbing orang-orang buangan ini, Islam tetap bertahan. Konteksnya, Syaikh Yusuf memang bukan menjadi pemula Islam di Afrika Selatan, tetapi ia menjadi pembangkit dan penghidup Islam di sana, menurut Azyumardi Azra.

Abad-abad selanjutnya, bukan menjadi penutup asa Islam dan ulama dalam memperjuangkan keleluasan kemerdekaan di tengah semakin sempitnya ruang politik akibat ekspansi kolonial. Akhirnya kita membaca kisah-kisah perjuangan itu dalam perjuangan Syaikh Abdush-Shomad al-Falimbani yang memberikan motivasi dan nasihat-nasihat berharga bagi para Sultan di Nusantara untuk melaksanakan jihad melawan Belanda. Ekses nasihat-nasihat ulama, terutama al-Falimbani ini dapat terlihat dalam riwayat Mangkubumi yang nantinya menjadi Sultan Hamengkubuwana I, kakek buyut Pangeran Diponogoro; yang kelak, istri beliau, Ratu Ageng, yang menjadi pengawal estri, akan menjadi muaddib paling penting dalam sejarah hidup Pangeran Diponegoro.

Oleh karenanya, Diponegoro memanglah pribadi bangsawan yang unik pada zamannya. Di masa hidupnya inilah, ia menjadi pelopor perlawanan dan perjuangan melawan Belanda yang terstruktur dan terencana lebih baik. Dibanding dengan perlawanan-perlawanan terdahulu, asas perjuangan Pangeran Diponegoro lebih terasa dengan tuntutan yang bukan hanya soal kekuasaan. Di bawah panji-panji Islam yang tidak sekedar melibatkan unsur-unsur mesianistis, Pangeran Diponegoro menggandeng para Santri dan ulama, yang telah lama membentuk jaringan dan dipergaulinya sejak masa muda. Sekali lagi, Dr. Adian mengatakan, para ulama dan bangsawan ini tidak pernah kalah dalam perjuangan. Apa arti kekalahan jika tetap timbul asa baru dan cara-cara yang lebih cerdik yang digalakan para ulama untuk tetap menegakkan ajaran agama Islam di Indonesia?

Oleh karenanya, seandainya kekalahan itu harus disebutkan, setidaknya kekalahan itu merupakan kekalahan fisik; tidak berkonsekuensi pada kekalahan mental, apalagi jiwa. Takluknya kesadaran bangsa Indonesia bukanlah hal yang mutlak. Maka pada masa Politik Etik yang diterapkan Belanda pada abad ke-20, Dr. Adian mulai memaparkan pandangan sejarah dari tokoh utama Dewan Da’wah Islamiyah, Mohammad Natsir, mengenai pesantren dan peran pentingnya sebagai “Lembaga Perjuangan Nasional”. Dalam Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan Antar Generasi, Dr. Adian memaparkan pandangan M. Natsir mengenai kecerdikan dan strategi para ulama dalam menghadapi krisis, dengan apa yang disebutnya: “Strategi Uzlah”. Buku yang berasal dari transkrip wawancara ini menjadi bermakna, setidaknya karena telah dikatakan oleh “dua guru” saya sendiri: Dr. Adian sendiri, dan Ustadz Arif Wbowo.

Dalam Pesan itu, M. Natsir menjelaskan bahwa Ulama dan Kaum Muslimin harus melakukan upaya untuk menghadapi Politik Etis yang terselubung. Istilah ‘terselubung’ di sini penting, dan sekaligus menegaskan sebuah gaya penaklukkan Belanda yang tidak mengandalkan kekuatan fisik: tetapi mental. Oleh karenanya, menurut M. Natsir, strategi yang harus dijalankan para ulama adalah melakukan uzlah (pengasingan diri), melakukan hijrah mental; dengan baik-baik, dengan tidak melawan secara fisik. Istilah ini, yang mungkin dimaksudkan Budayawan Betawi, Ridwan Saidi dalam menunjukkan perlawanan Masyarakat Betawi pada abad ke-17, tatakala Jayakarta direbut menjadi Batavia, dengan istilah “Perwalanan Sunyi”.

Dalam Uzlah, para ulama dan santri meninggalkan kota-kota besarsupaya jangan pemuda-pemuda ini terpengaruh oleh upaya-upaya penjajah. Di tempat-tempat seperti pinggiran kota, gunung, atau pantai, di situlah para ulama membuka pesantren-pesantren. Menurut M. Natsir: “Dari apa yang saya kemukakan tadi, jelas terlihat bahwa pesantren adalah lembaga yang dikembangkan dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, pesantren bukan saja merupakan lembaga pendidikan, tetapi mempunyai peran yang penting dalam perjuangan nasional”.

Pandangan M. Natsir ini menarik. Selain dituturkan oleh M. Natsir sendiri yang telah memulai karirnya sebagai pendidik sejak tahun 1930-an di Bandung, secara inplisit M. Natsir juga menerangkan bahwa semestinya pesantren itu memang jauh dari suasana yang dapat merusak niat ikhlas perjuangan: harus jauh dari pengaruh hedonisme kota, jauh dari cara-cara berfikir modern yang destruktif, jauh pula dari kelicikkan politik orang-orang zalim. Tetapi bukan sampai di situ saja. Sebagai lembaga perjuangan, pesantren menggodok model-model perlawanan yang matang dan melahirkan kader-kader yang berkualitas secara keilmuan dan amal. Sehingga, seperti yang diungkapkan Benedict Anderson, para pemuda lulusan pesantren, menjadi pejuang di masa krisis; membangun tatanan masyarakat yang lebih baik.

Dalam menanamkan jiwa anti-penjajah, lanjut M. Natsir:

“para santri tidak boleh memakai dasi, haram hukumnya, karena menyerupai penjajah, orang-orang Barat. Pantalon juga haram, musti pakai sarung. Kita memang melakukan “uzlah” baik secara fisik ataupun secara spiritual. Pesantren-pesantren ini mempunyai alam pemikiran sendiri, alam perasaan sendiri, yang berbeda dengan apa yang ada di kota-kota yang dipengaruhi oleh politik asosiasi Belanda. Mungkin kalau kita memandang larangan pakaian itu dari segih fikih dan dalam konteks sekarang, kita akan tersenyum. Tapi sebagai metida perjuangan, dan dalam konteks penjajahan waktu itu, cara yang dipakai para ulama kita dengan uzlah-nya ini merupakan pemikiran yang amat cerdik, kalau kita katakan “briliant”,” demikian puji M. Natsir kepada ulama bangsa Indonesia.

Pandangan-pandangan M. Natsir mengenai pesantren dan perjuangan inilah yang akhirnya ditarik kesimpulan oleh Dr. Adian Husaini, bahwa pesantren adalah masa depan pendidikan (Islam) di Indonesia. Bersamaan dengan itu pula, Dr. Adian juga memperkuat kedudukan pesantren ini dengan pandangan-pandangan Ki Hajar Dewantara. Dr. Adian mengutip salah satu Bunga Rampai paling berharga dari karya Ki Hajar Dewantara yang telah diterbitkan berulang-kali: Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Jil. I—Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa).

Ki Hajar memang tidak sering dikenal sebagai tokoh Islam. Tetapi pandangan-pandangannya mengenai pesantren menegaskan dirinya sebagai konstruktor konsep pendidikan nasional yang matang. Terdapat suatu pembahasan menarik dalam karya Ahmad Baso, Pesantren Studies 2A, yang menyarikan sebuah buku yang disusun Achdiyat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan. Dalam buku tersebut Baso menurunkan isi perdebatan anatar Soetomo-Ki Hadjar Dewantara dan Sutan Takdir Alisyahbana mengenai apa yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional. Soetomo dan Ki Hadjar tampil sebagai “pembela pesantren”.

Dalam sebuah tulisannya, berjudul “Sistim pondok dan asrama Itulah sistim nasional”, Ki Hajar mendukung apa yang disebutnya sebagai system pondok dan asrama. Pikiran Ki Hajar mengenai sistem pondok dan asrama ini boleh kita perbandingkan dengan pengertian yang ada dalam dunia pesantren. Dalam “Wasita” Jilid 1, No. 2 – September 1928, ia menulis:

“Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau jaman kabudan dinamakan “pawiyatan” atau “asrama”. Adapun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumahnya kyai guru …, yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan rumah pengajaran juga. Disitu karena guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri selalu berhubungan dengan pendidikan.”

Demikianlah. Membawa serta gambaran perjuangan ulama dan santri dan menggalakan lagi persatuan yang menghapus sentimen politis dan sektarian, menjadi aras penting dalam pidato Dr. Adian ini. Dalam berbagai dinamika yang dihadapi oleh ulama dan Santri yang Dr. Adian paparkan di atas itulah, sampai pula penyimpulan Dr. Adian sendiri mengenai hakikat pendidikan Islam yang dikejawantahkan dalam bentuk Pesantren. Menurut Dr. Adian, Pesantren bukanlah semata-mata “cirikhas pendidikan Indonesia”, tetapi sebagai “model atau bentuk ideal” pendidikan Islam di Indonesia yang, sekali lagi, harus menjadi lembaga perjuangan dan melahirkan para pejuang. Dengan demikian, pesantren menjadi penyempurna keutuhan umat dalam kebutuhan keberadaannya menjadi umat terbaik: yang memiliki cirikhas komunitas beradab-berakhlak mulia, otoritas keilmuan, dan juga ukhuwah Islamiyah. Ini adalah terobosan pemikiran penting dari Dr. Adian Husaini. Wallahu a’lam.

Cilodong, 22 Oktober 2020; Sajian Kecil untuk Hari Santri Nasional dan Santri Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *