Dalam peristiwa Hudaibiyah bulan Dzulqa’dah tahun 6 Hijriyah (H). Terjadi diplomasi alot antara kaum Muslimin dan Quraisy. Rasulullah yang membawa serta 1400-1500 orang sahabat, suatu kesempatan pernah didatangi tokoh Bani Tsaqif, Urwah bin Mas’ud. Dibanding utusan-utusan Quraisy sebelumnya, Urwah adalah diplomat yang paling handal.
Wartapilihan.com, Jakarta –Saat melayani kedatangan Urwah bin Mas’ud inilah kaum Muslimin memperlihatkan betapa kompaknya mereka, di samping kuatnya kesatuan barisan kaum Muslimin. Diplomasi maupun provokasi dari Urwah bisa dimentahkan dengan kemampuan berkomunikasi Rasulullah serta kuatnya barisan kaum Muslimin.
Urwah bin Mas’ud dan Rasulullah berdialog. Gambaran yang terjadi adalah perang urat-saraf face to face atau psycho-war, bukan hanya Urwah dan Rasulullah melainkan juga Urwah dengan seluruh kaum Muslimin. Pesan simbolik dalam perbincangan ini adalah mereka saling teguh pada masing-masing kehendak. Dialog antara Rasulullah dan Urwah ini bisa dirangkai sebagai berikut, sumber atau pembuat tanda (source): Urwah, pengiriman (transmitter) pesan dalam konteks ini adalah dialog lisan, sinyalnya (signal) adalah dipahaminya pesan-pesan dan makna diplomasi dari Urwah baik oleh Rasulullah maupun kaum Muslimin. Salurannya (channel) tidak lain ialah inderawi, kaum Muslimin saling menyimak dialog antara Rasulullah dan Urwah, sebaliknya Urwah pun menyimak pesan-pesan dari Rasulullah. Tidak hanya itu, Urwah juga memperhatikan keadaan sekelilingnya, di mana ada Abu Bakar dan Mughirah bin Syu’bah di dekat posisinya. Dalam dialog antara Rasulullah dan Urwah, Rasulullah menjadi pihak yang “bertahan”, sedangkan Urwah menjadi pihak yang “menyerang,” kata-kata provokatif pun keluar dari mulutnya itu.
Dalam diplomasinya, pesan Urwah lebih mengarah kepada percobaan menjatuhkan mental kaum Muslimin. Jika meninjau pesan-pesan Urwah ke Rasulullah di kitab-kitab sirah, baik Sirah Ibnu Hisyam maupun yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Urwah mencoba menyerang urat-syaraf kaum Muslimin. Pertama, Mengingatkan apa yang dilakukan Nabi SAW agar Nabi SAW seolah merasa bersalah ‘menghancurkan keluarga dan sukunya sendiri.’ Urwah menuding dakwah Nabi SAW sebab perpecahan dan peperangan sesama kaum Quraisy. Kedua, Tidak lupa ia juga mengingatkan kesiapan Quraisy Makkah untuk berperang, serta mengharapkan kaum Muslimin mengindahkan larangan Quraisy. Ketiga, mengejek para sahabat Rasulullah seolah-olah mereka adalah orang-orang yang akan meninggalkan Rasulullah, “Demi Allah aku tidak melihat wajah-wajah, melainkan seperti orang-orang yang hendak meninggalkanmu,” tutur Urwah ke Rasulullah.
Di sini penerima (receiver) “pesan” selain Rasulullah adalah para sahabatnya, khususnya Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berada di dekat situ. Jika pesannya secara umum agar Rasulullah mengurungkan niatnya memasuki Makkah, pesan khususnya adalah mengejek dan menjatuhkan mental kaum Muslimin secara keseluruhan, termasuk Rasulullah dan Abu Bakar. Urwah menyatakan agar Rasulullah mewaspadai sahabat-sahabatnya sendiri yang dianggap bisa meninggalkan beliau sewaktu-waktu. Tujuannya Urwah adalah menggembosi mental kaum Muslimin serta mengejek para pengemban risalah. Sinyal (signal) bahwa para sahabat memahami pesan-pesan Urwah ialah tindakan Abu Bakar yang mencela Urwah, “Wahai kelentit Lata! Apa maksudmu kami akan meninggalkan beliau?!” tegas Abu Bakar yang saat itu ada di belakang Rasulullah. “Siapakah ini, wahai Muhammad?” tanya Urwah, pura-pura tidak tahu untuk merendahkan Abu Bakar. “Ini adalah Abu Bakar ibnu Abu Quhafah” jawab Nabi SAW. Urwah pun marah, “Kalau saja bukan karena tanganmu yang ada padaku belum kubalas, pasti akan kubalas ucapanmu itu!” Urwah pun terus berbicara dan tiap bicara ia memegangi janggut Nabi SAW. Tiap kali Urwah memegangi janggut Nabi, Al-Mughirah bin Syu’bah yang berada di dekat mereka memukul tangan Urwah dengan gagang pedang seraya berujar “Singkirkan tanganmu dari janggut Nabi SAW!”
Memegangi janggut merupakan simbol keakraban. Seperti yang biasa dilakukan diplomat handal, Urwah ingin menunjukkan bahwa ia sedang berbaik-baik dengan Rasulullah. Kendati ia sedang berdialog dengan Rasulullah, kata-katanya itu disimak dan dipahami dengan cermat oleh para sahabat yang menyaksikan dialognya. Kultur Arab membuat keakraban diekpresikan dengan cara memegangi janggut, merupakan bentuk komunikasi-semiotis bahwa itu bentuk keakraban. Dalam semiotika, tanda memang bersifat interpretatif. Kita bisa menggambarkan dengan memegang janggut, Urwah ingin menunjukkan bahwa ia sedang ‘berbaik-baik’ dengan Nabi SAW. Urwah juga menyinggung apa yang diperbuat Rasulullah, ia menuding Rasulullah adalah sumber permasalahan di internal Quraisy. Ia menyinggung pula masalah keloyalan dan kesetiaan para sahabat Rasulullah. Jangankan dalam benak kaum Muslimin, dalam benak Arab jahiliyah pun ketidaksetiaan dan pengkhianatan adalah sesuatu yang tercela. Percobaan mengguncang urat syaraf kaum Muslimin oleh Urwah itu sangat disadari oleh Abu Bakar, maka Ash-Shiddiq membalas Urwah dengan mencela dirinya sebagai “kelentit Lata.”
Selain pembawa pesan, figur Urwah sendiri merupakan sebuah “pesan” tersendiri dari Quraisy bahwa bani Tsaqif atau kaum mayoritas di Thaif tersebut memang sekutu setia Makkah. Buktinya orang kuat Bani Tsaqif seperti Urwah pun menjadi utusan Quraisy, ia juga dikenal sebagai orang yang pandai menggembosi mental lawan.
Kita beralih ke Mughirah bin Syu’bah. Ia memukul tangan Urwah dengan gagang pedang karena dianggap lancang memegang janggut Nabi. Kelancangan ini lantaran Urwah masih musyrik dan ada di pihak Quraisy, namun berani-beraninya menyentuh janggut Rasulullah. Begitu pikir Mughirah. Urwah pun menjadi marah ke Mughirah, ia mengingatkan jasa-jasanya dahulu kepada Mughirah. Dahulu Mughirah pernah tak sengaja membunuh tiga belas orang Bani Malik salah satu kabilah Tsaqif yang menimbulkan pergolakan di internal Bani Tsaqif. Diyatnya itu dibayar oleh Urwah.
Baik ke Abu Bakar maupun Mughirah, Urwah awalnya berpura-pura tidak kenal dengan cara menanyakan kepada Nabi, “Siapa ini wahai Muhammad?”. Ini bisa menjadi tanda pula bahwa Urwah mencoba mengkerdilkan mereka: Agar dua sahabat ini dianggap tidak terkenal serta dinilai bukan siapa-siapa (bukan tokoh). Ini merupakan pelecehan tersirat Urwah terhadap Abu Bakar dan Mughirah. Tapi Rasulullah dengan tenang menjawab “Ini Abu Bakar ibnu Abu Quhafah”, “Ini sepupumu (Mughirah),” Mughirah sendiri memang masih sanak famili Bani Tsaqif. Nyatanya produksi tanda dari Urwah sepanjang dialognya memang patut dimaknai penggembosan mental terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin, baik dari kata-kata maupun tindakan ekspresifnya.
Puncak kehebatan komunikasi kaum Muslimin terlihat di kala baik Urwah maupun Rasulullah beranjak dari tempatnya, saat rehat dari proses diplomasi. Ketika itu Urwah takjub dengan pemandangan sekelilingnya: para sahabat Nabi sedang berebut dahak, bekas air wudhu, dan rambut Rasulullah dengan berdesak-desakan. Tiap kali Rasulullah memerintah, para sahabat langsung mengerjakannya. Adab para sahabat ke Rasulullah juga membuat Urwah kagum: mereka tidak menatap wajah Rasulullah saat berbicara dengan beliau, serta merendahkan suara jika di hadapan beliau. Pemandangan-pemandangan ini membuat Urwah tenggelam dalam ketakjuban. Di titik inilah mental Urwah hancur. Diplomasi dan provokasinya gagal total. Urwah kembali ke Makkah dengan mengabarkan Quraisy apa yang baru saja dilihatnya, “Sesungguhnya aku pernah menemui Kisra di kerajaannya, Kaisar (Heraclius) di kerajaannya dan Najasyi di kerajaannya, tapi aku belum pernah melihat kaum yang begitu mencintai pemimpinnya seperti para sahabat Muhammad mencintai dan menghormati Muhammad.” Akhirnya, Urwah yang telah putus asa itu malah menyarankan agar Quraisy menerima tawaran dari Nabi SAW (untuk membiarkan kaum Muslimin umrah). Para sahabat sangat paham, kapan harus memperlihatkan sesuatu yang “begitu menakjubkan” itu kepada musuh-musuh dakwah. Sungguh ini proses komunikasi yang begitu unik dan bernilai tinggi.
Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam