Pergolakan Muslim Uighur di Xinjiang dan Kebijakan Pemerintah Cina (Bag. 2-habis)

by
Sumber Foto: http://www.chinafile.com

Menurut sebuah studi, kesenjangan ekonomi di antara etnis Han dan Uighur di Xinjiang sangat besar. Pada tahun 1973, rata-rata pendapatan petani Uighur adalah 732 yuan, sementara petani Han 2.680 yuan (Howell & Fan, 2011: 124).

WartaPilihan.com, Kuala Lumpur– Studi lain menyebutkan 98% populasi Han tinggal di perkotaan, sementara sekitar 90% populasi Uighur tinggal di pedesaan. Tingkat pengangguran etnis Uighur dikatakan lebih dari 70%, sementara Han kurang dari 1%. Sementara orang-orang Han naik mobil, orang-orang Uighur naik kuda dan gerobak. Kota terbesar di Xinjiang, Urumqi, boleh dikatakan telah menjadi kota Han dengan gedung-gedung perkantorannya yang menjulang, sementara penduduk Uighur di kota itu banyak yang tinggal di lingkungan miskin dan menjajakan barang-barang tradisional di pojok-pojok kota (Boehm, 2009: 86-87). Bahkan etnis Uighur telah tergusur dari pasar tradisional mereka di kota itu, Pasar Erdaoqiao. Di pasar yang sebelumnya dikelola oleh penduduk lokal itu dibuat bangunan-bangunan baru yang membuat harga sewanya naik. Banyak pedagang Uighur yang tak mampu mengejar kenaikan harga sewa dan akhirnya tergusur dengan sendirinya (Boehm, 2009: 88). Beberapa pengusaha dari etnis minoritas mengeluhkan prasangka terhadap diri mereka saat hendak meminjam uang di bank dan saat berurusan dengan administrasi pemerintahan. Ada pula yang mengatakan bahwa manajer-manajer dari etnis minoritas di perusahaan-perusahaan kecil milik pemerintah telah digusur dan digantikan oleh manajer dari etnis Han (Becquelin, 2000: 85). Data-data di atas, bagaimanapun, tidak bermakna etnis Han selalu mendapat preferensi lebih dibandingkan etnis Uighur di dalam pasar tenaga kerja, terutama ketika yang terakhir ini memiliki keunggulan kompetitif di dunia kerja (Howell & Fan, 2011: 119-120). Bagaimanapun, lonjakan kehadiran etnis Han serta dampak ekonomi dan diskriminasi – riil maupun yang dipersepsikan – terhadap etnis Uighur telah menimbulkan keresahan dan protes terhadap pemerintah Cina di kalangan masyarakat Uighur pada umumnya. Berikut beberapa point tambahan:

  • Masyarakat Han yang hadir di Xinjiang antara lain adalah mereka yang memiliki latar belakang semi-militer (paramilitary) atau disebut juga sebagai Korps. Mereka diorganisasikan lewat Xinjiang Production and Construction Corps (bingtuan) dan memiliki perkebunan yang tersebar di sepanjang perbatasan dan di seluruh wilayah Xinjiang (Becquelin, 2000: 68). Koloni-koloni pertanian yang mereka bangun memiliki peran yang mirip dengan koloni militer di era kekaisaran Cina, yaitu untuk mengawal wilayah perbatasan. Asal-usul Korps ini adalah veteran Tentara Merah (Red Army) dan garnisun Kuomintang lokal yang diberdayakan secara ekonomi di kawasan itu pasca tahun 1949. Mereka disebut juga sebagai unit “Partai-pemerintah-tentara” (dang zheng jun zuzhi) dan memiliki hubungan khusus dengan pemerintah pusat. Pada tahun 1997, Korps memiliki anggota sebanyak 2,4 juta orang, kurang lebih setara dengan sepertujuh populasi Xinjiang. 90% anggota Korps berasal dari etnis Han, dan separuhnya terdiri dari perempuan dan anak-anak. Di dalam laporan tahunannya pada tahun yang sama, organisasi ini menyebutkan bahwa “negara perlu mengorganisasikan pemindahan orang-orang Han dari pedalaman ke Xinjiang untuk melindungi perbatasan dan menghidupkan lahan” dan juga “untuk melindungi persatuan negeri dan persatuan bangsa-bangsa di Cina”. Korps memiliki jurisdiksi sendiri dan hanya bertanggung jawab pada pemerintah pusat, sehingga keberadaannya sering menimbulkan friksi dengan Pemerintah Propinsi. ‘Perusahaan’ ini mengendalikan 48% dari seluruh tanah di Xinjiang, memiliki sekolah, rumah sakit, penjara, polisi (wujing) dan milisi (minbing) yang jumlah resminya lebih dari 100.000 orang. Korps memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan wilayah. Pada tahun 1990, lembaga ini diberi status korporasi dan namanya menjadi Xinjiang New Construction Corporation (Xinjiang xinjian gongsi). Namun, seperti diakui wakil komandan Korps dalam satu wawancara, “[Secara tampilan] keluar, ini adalah sebuah grup bisnis; secara internal, ini tetap Korps” (Becquelin, 2000: 77-80; Boehm, 2009: 87-88).
  • Kebijakan-kebijakan pemerintah Cina, seperti telah dijelaskan di atas, tidak memperbaiki stabilitas dan keharmonisan di Xinjiang. Pemerintah berusaha menciptakan terjadinya asimilasi budaya, tetapi yang berkembang adalah menguatnya identitas etnis lokal yang diiringi munculnya keinginan untuk memisahkan diri dari Cina, atau setidaknya sikap kritis dan tidak puas terhadap kebijakan yang dirasa merugikan. Kegagalan ini disikapi pemerintah Cina dengan kebijakan yang semakin represif, yang pada gilirannya justru memperbesar sikap antipati terhadap pemerintah di kalangan masyarakat Uighur. Antipati ini kadang meledak dalam bentuk kerusuhan serta ‘aksi terorisme’.
  • Setelah peristiwa 11 September dan munculnya kebijakan ‘war on terror’ yang dimotori Amerika Serikat, Cina memanfaatnya untuk lebih jauh menindas ‘perlawanan’ penduduk lokal di Xinjiang dan menuding mereka sebagai kelompok teroris. Peristiwa 11 September telah memberikan legitimasi sekaligus memberikan keuntungan disebabkan berkurangnya perhatian internasional terhadap penindasan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Cina. Pada tahun 2001-2002, sekitar 3.000 Uighur dilaporkan telah ditahan. Langkah untuk mengontrol pendidikan dan publikasi juga dilakukan secara serius. Gubernur XUAR, Abdulahat Abdurixit, pada awal 2002 sudah berbicara tentang re-edukasi masyarakat dalam rangka membenahi ideologi mereka (Kellner, 2002: 22-25). Hingga tahun 2008, kekerasan di Xinjiang malah “mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya” dan aksi-aksi separatisme di Xinjiang “semakin canggih dan semakin berkaitan dengan agama” (Boehm, 2009: 64-65). Ekspresi keagamaan yang mewarnai aksi-aksi perlawanan terhadap pemerintah Cina dalam hal ini hanyalah bentuk yang digunakan untuk menentang ketidakadilan ekonomi yang menjadi akar masalahnya. Namun tampaknya pemerintah Cina menutup mata terhadap sumber masalahnya dan kini mengambil langkah ekstrim yang membuatnya menjadi sorotan dunia internasional sekarang ini.
  • Apa yang terjadi di Xinjiang sekarang ini adalah hal yang nyata dan merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur. Penduduk dalam jumlah sangat besar ditangkapi dan dimasukkan ke dalam ‘kamp-kamp re-edukasi’ (yang jumlahnya diduga mencapai satu juta orang), kadang tanpa alasan yang jelas (Westcott, 2018; washingtonpost, 2018; RFA, 2018); simbol-simbol dan praktek agama Islam dilarang (Haas, 2017); orang-orang Han dikirim tinggal di dalam rumah-rumah warga untuk memata-matai mereka (DAWN, 2018). Seseorang bisa ditahan hanya karena membaca ayat al-Qur’an di pemakaman. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tujuan kebijakan pemerintah Cina ini sebenarnya bukan untuk memadamkan ekstrimisme, melainkan untuk menghapus identitas etnis minoritas, dan pada saat yang sama “to remove any devotion to Islam” (Buckley, 2018). Di dalam kamp-kamp re-edukasi, tahanan mengalami indoktrinasi, dan kadang mengalami penyiksaan dengan ditelanjangi, dipukuli, dan diestrum (Yan, 2018).
  • Saya (penulis) mendapatkan informasi langsung dari seorang Muslimah suku Hui yang berasal dari Xinjiang. Walaupun ia bukan dari etnis Uighur, keluarganya juga mengalami dampak negatif kebijakan pemerintah. Pamannya ditahan sejak setahun yang lalu. Ia dan keluarganya terpaksa pindah ke kota lain dan mengganti identitas mereka. Ibunya juga ditangkap beberapa waktu yang lalu saat berkunjung ke Xinjiang untuk satu keperluan. Muslimah ini juga membenarkan adanya program pemerintah yang memasukkan orang-orang Han tinggal di dalam rumah-rumah Muslim. Ada dua orang yang tinggal di rumah sepupunya yang sebelumnya belajar di Mesir. Ia menggambarkan apa yang tengah terjadi sekarang di Xinjiang mirip seperti Revolusi Kebudayaan di masa lalu.
  • Etnis Muslim terbesar di Cina adalah suku Hui yang secara ras sebetulnya sama dengan Han. Mereka hidup tersebar di berbagai wilayah Cina dan relatif mendapat kebebasan dalam menjalankan agamanya (Beech, 2014). Tapi itu empat tahun yang lalu. Dalam dua atau tiga tahun terakhir ini keadaan tampaknya mulai berubah. Muslim Hui di daerah-daerah lain mulai terkena dampak represi kebijakan pemerintah dalam satu rangkaian kampanye ‘cinaisasi’ (sinicization campaign). Tulisan-tulisan Arab dihapus dari masjid-masjid dan toko-toko milik Hui dan hanya diperkenankan penggunaan tulisan-tulisan berbahasa Cina. Gerak-gerik penduduk Muslim diawasi. Pejabat-pejabat lokal mulai berbicara tentang pentingnya penerapan kebijakan di Xinjiang pada wilayah-wilayah minoritas Muslim lainnya di Cina (Wong, 2018).
  • Beberapa kasus penangkapan dialami juga oleh warga atau anggota keluarga Muslim dari negara-negara Asia Tengah dan Pakistan yang sedang berada di Xinjiang. Namun negara-negara ini enggan untuk mengecam Cina secara terbuka disebabkan hubungan ekonomi dan besarnya investasi Cina di negara mereka (Dailymail, 2018; Pannier, 2018). Diamnya negara-negara Muslim yang lain dalam hal ini mungkin sebagiannya juga berkaitan dengan adanya kerja sama ekonomi dan investasi Cina di negara mereka masing-masing.
  • Data-data di atas memperlihatkan bahwa pemerintah Cina sejauh ini tidak berusaha menyelesaikan masalah dalam negerinya dengan langkah-langkah yang adil bagi warganya. Kebijakannya terhadap warga Uighur dan warga minoritas lainnya belakangan justru semakin ekstrim dan represif. Keberanian pemerintah Cina dalam melakukan pelanggaran kemanusiaan ini terjadi dengan mengambil keuntungan dari program ‘war on terror’ – walaupun Amerika Serikat mengecam apa yang terjadi di Cina sekarang ini – serta disebabkan posisi tawarnya yang tinggi lewat kerja sama ekonomi dengan negeri-negeri Muslim, khususnya yang bertetangga dengannya. Padahal tidak tertutup kemungkinan kebijakan pemerintah Cina ini akan memberi dampak juga bagi negara-negara tersebut di kemudian hari.
  • Data-data yang ada juga memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dalam dua tahun terakhir ini tidak lagi semata diarahkan untuk menghapus radikalisme dan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di propinsi itu, tetapi lebih diarahkan untuk menghapus identitas minoritas Muslim di wilayah itu serta mengasimilasi mereka sepenuhnya ke dalam ideologi partai komunis Cina.

Berikut ini beberapa rekomendasi yang kami ajukan berdasarkan hasil kajian di atas:

  1. Umat Islam di Indonesia hendaknya mengetahui tentang pelanggaran kemanusiaan yang tengah terjadi di Xinjiang dan sebisa mungkin ikut menyebarluaskannya dalam rangka membangun kesadaran publik. Angkat hal ini lewat media-media yang dimiliki oleh umat dan, jika mungkin, lewat media-media mainstream. Pada tingkat pribadi, sempatkan untuk berdoa dengan sungguh-sungguh bagi masyarakat Muslim Uighur, khususnya pada masa-masa sekarang ini.
  2. Pemerintah Indonesia, bersama masyarakat internasional lainnya, perlu mengingatkan pemerintah Cina agar mengubah kebijakannya terhadap warga minoritas; melindungi hak-hak mereka dan menghapuskan diskriminasi yang menjadi akar permasalahan di Xinjiang; memberi ruang bagi identitas etnis minoritas untuk berkembang secara sehat serta tidak memaksakan asimilasi yang menghapuskan identitas dan nilai-nilai keagamaan mereka. Selain itu, pemerintah Indonesia hendaknya mengkaji kembali dan mengevaluasi kerja sama ekonominya dengan pemerintah Cina. Kerja sama ekonomi tersebut harus benar-benar memberi keuntungan yang berimbang bagi kedua belah pihak, jika tidak memberikan keuntungan lebih bagi Indonesia. Pemerintah juga harus benar-benar memastikan bahwa investasi dan tenaga kerja Cina yang masuk ke Indonesia sama sekali tidak ada yang memainkan peranan ganda (bisnis dan semi-militer), seperti yang terjadi di Xinjiang dan mungkin beberapa tempat lainnya, karena konsekuensinya akan sangat serius terhadap kedaulatan RI ke depan.
  3. Anggota dewan legislatif juga perlu mengkaji persoalan ini secara lebih mendalam dan mengawal pemerintah RI dalam menjalankan saran-saran di atas serta memastikan agar RI dapat memainkan peranan internasionalnya secara lebih aktif dan agar kerja sama yang ada dengan pemerintah Cina tidak melemahkan suara, apalagi kedaulatan, RI.

 

Kuala Lumpur, 26 Desember 2018

Dr. Alwi Alatas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *