Pergolakan Muslim Uighur di Xinjiang dan Kebijakan Pemerintah Cina (Bag.1)

by
Pacific Standard Dua wanita Etnis Uyghur Melintas Didepan Penjagaan Militer. Sumber Foto: pacifikStandard.com

Oleh: Dr. Alwi Alatas

Kajian terhadap apa yang terjadi di Xinjiang saat ini tidak hanya berguna dalam rangka menyusun sikap yang tepat untuk membantu saudara-saudara Muslim Uighur di daerah tersebut, tetapi boleh jadi sangat penting dalam mengantisipasi ekses kebijakan pemerintah Cina terhadap negeri-negeri lainnya yang menjalin hubungan kerja sama dengannya.

WartaPilihan.com, Kualalumpur — Poin-poin di bawah ini disusun sebagai hasil kajian ringkas, tetapi diharapkan memadai untuk memahami sejarah serta apa yang tengah berlaku di Xinjiang, Cina, sekarang ini:

  • Uighur merupakan etnis Turki dari suku Tiele yang telah berabad lalu berada di kawasan Asia Timur dan Asia Tengah. Pada teks-teks awal Cina, Uighur disebut sebagai Yuanhe (era Dinasti Wei), Weihe (era Sui), Huihe (era Tang), dan Weiwuer (era Yuan) (Tang, 2005: 5-7)
  • Mereka mendirikan kerajaan antara tahun 744 dan 840 (Mackerras, 1972: 1). Kerajaan Uighur (atau Uighur Khanate) menjalin hubungan baik dan saling membantu dengan Dinasti Tang (Cina). Uighur membantu menahan pemberontakan terhadap Tang dari arah utara dan sebagai imbal baliknya mendapatkan sutera dari Cina. Beberapa puteri Dinasti Tang menikah dengan Khagan Uighur. Pada tahun 840, Uighur Khanate dikalahkan oleh bangsa Kyrghyz dan terpecah belah setelahnya (Tang, 2005: 10)
  • Salah satu pecahan etnis ini belakangan mendirikan Kerajaan Karakhanid pada abad ke-9 hingga 13, berpusat antara lain di Kashgar, Xinjiang. Islamisasi terhadap Uighur dimulai di kerajaan ini pada abad ke-10 melalui tokoh legendarisnya yang bernama Satuq Bughra Khan (w. 955). Ibn Fadhlan dalam perjalanannya di abad ke-10 melaporkan tentang adanya 200.000 tenda Turki (Karakhanid) yang orang-orangnya masuk Islam (Tang, 2005: 42-44, 47)
  • Pada pertengahan abad ke-12, Karakhanid tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Liao Barat (Tang, 2005: 56). Seluruh kerajaan dan wilayah tadi kemudian jatuh ke tangan Mongol (Jenghis Khan). Pada pertengahan abad ke-14, Tughluk Timur Khan, penguasa keturunan Mongol yang memimpin Turkistan Timur ketika itu masuk Islam melalui pengaruh seorang sufi. Sejak itu terjadi proses Islamisasi yang membawa etnis Uighur sepenuhnya menjadi etnis Muslim pada abad berikutnya (Tang, 2005: 71-72).
  • Pada tahun 1750-an, wilayah Xinjiang (yang bermakna ‘Wilayah Baru’) jatuh ke bawah kendali Cina (Dinasti Manchu/ Qing), pada awalnya sebagai wilayah penyangga, kemudian sebagai propinsi sejak 1884. Setelah Dinasti Qing runtuh pada awal abad ke-20, wilayah ini terwariskan kepada Republik Cina hingga akhirnya, pada tahun 1949, menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Komunis Cina. Pada tahun 1966-1976, kawasan ini termasuk yang mengalami penderitaan di era Revolusi Kebudayaan di mana agama, bahasa, dan tradisi mereka ditekan. Sejak akhir 1970-an hingga awal 1990-an, era Deng Xiaoping (w. 1997), tekanan terhadap etnis dan agama minoritas melonggar, yang memungkinkan tradisi keagamaan dapat tumbuh kembali secara gradual (Davis, 2008: 2).
  • Sejak awal 1990-an, bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet dan berdirinya beberapa negara di Asia Tengah (Kazakstan, Tajikistan, Uzbekistan, dll), identitas (nasionalisme) di tengah masyarakat Uighur semakin menguat. Selain bertetangga langsung, hubungan etnis negara-negara yang baru muncul ini sangat dekat dengan Uighur. Maka berkembang ide tentang kemerdekaan Turkistan Timur dan berdirinya Uiguristan. Beberapa kali protes dan kerusuhan pecah, di Baren pada April 1990, di Khotan pada Juli 1995, dan di Yining (Khuldja) pada Februari 1997 sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah Cina. Gerakan protes tidak jarang dilakukan juga melalui cara-cara non-kekerasan, seperti lewat kesenian. Bagaimanapun, semua itu disikapi pemerintah dengan tindakan keras dan represif (Kellner, 2002: 4-6).
  • Pemerintah Cina sejak awal 1990-an menyikapi perkembangan di Asia Tengah dengan sangat waspada dan menganggap potensi separatisme sebagai bahaya utama yang perlu diantisipasi. Cina membangun kerja sama dengan negara-negara Asia Tengah yang baru muncul ketika itu untuk memastikan mereka tidak akan mendukung ide pemisahan diri Xinjiang (Uighur), di samping juga untuk keuntungan ekonomi lewat penanaman modal dan mendapatkan sumber bahan mentah. Pada tahun 1996 dibentuk kelompok ‘Shanghai Lima’, yang terdiri dari China, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Russia. Tak lama setelah itu, organisasi-organisasi separatis Uighur dilarang keberadaannya di negara-negara Asia Tengah ini (Becquelin, 2000: 70-71).
  • Sementara itu di dalam negeri (Xinjiang), pemerintah Cina menerapkan kebijakan ‘stick and carrot’ (Kellner, 2002: 26). Tindakan keras di antaranya segera dilakukan setelah terbentuknya grup Shanghai Lima di Shanghai (Davis, 2008: 2). Antara 1997 dan 1999, hampir 200 hukuman mati ditetapkan di Xinjiang. Korbannya mayoritas Uighur dan banyak yang tanpa melalui proses pengadilan yang fair. Angka hukuman mati di Xinjiang merupakan yang tertinggi di Cina. Bahkan ketika tidak terjadi lagi kerusuhan serius pada tahun-tahun setelahnya, sikap represif pemerintah terus dijalankan (Kellner, 2002: 5). Kebijakan represif ini kemudian disebut dengan nama ‘Pukulan Keras’ (Strike Hard/ da fa) yang tujuan eksplisitnya adalah “pukul kekuatan-kekuatan musuh, bersihkan masyarakat, dan didik orang ramai” (Boehm, 2009: 63).
  • Bersamaan dengan itu pula pemerintah Cina mengupayakan peningkatan ekonomi di kawasan Cina bagian Barat, khususnya Xinjiang, dengan asumsi protes akan berkurang saat ekonomi membaik. Sejak awal 1980-an, pemerintah Cina membangun ekonomi wilayah pantai Timur. Kini, untuk menghindari kesenjangan, program ekonomi besar-besaran dijalankan di Xinjiang (Davis, 2008: 4-5). Xinjiang dicadangkan sebagai powerhouse Investasi pemerintah dikucurkan deras ke kawasan ini. Berbagai industri didirikan, di antaranya kapas/ katun. Antara tahun 1991 dan 1994, investasi di bidang infrastruktur di kawasan ini meningkat dari 7,3 menjadi 16,5 miliar yuan. GDP provinsi naik dua kali lipat dari 7,5 menjadi 15,5 miliar yuan (Becquelin, 2000: 66-67).
  • Data lain memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi di daerah ini juga sudah mulai dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Sebelum 1949 dapat dikatakan tidak ada industri di Xinjiang. Tapi antara tahun tersebut dan 1957 dibangun 259 pabrik di kawasan itu, dan pada dua tahun berikutnya pemerintah Cina mengklaim telah mendirikan 1.513 pabrik modern. Pada tahun 1949 hanya ada 12 kota dengan penduduk lebih dari 2.000 orang di Xinjiang. Tapi pada tahun 1964, jumlah kota berkembang menjadi 70-80 kota (Freeberne, 1966: 113).
  • Kebijakan ini membuat ekonomi Xinjiang berkembang pesat. Bagaimanapun, hal itu tidak menghilangkan, malah semakin menguatkan, protes masyarakat Uighur terhadap pemerintah Cina. Mengapa?
  • Data-data yang ada menunjukkan bahwa yang paling banyak diuntungkan melalui kebijakan ini adalah etnis Han, bukan Uighur. Untuk itu perlu dipahami keadaan geografis, perubahan populasi, serta keadaan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi di kawasan ini.
  • Xinjiang memiliki luas wilayah 626.600 mil persegi, yang mencakup seperenam dari keseluruhan luas wilayah Cina, atau sebanding dengan tiga kali luas Perancis. Lokasinya jauh di ujung Barat Laut Cina dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit (kepadatan penduduk hanya sekitar 6 orang per mil persegi pada tahun 1949 dan 11 pada tahun 1962, pen.). Pegunungan Tienshan yang ketinggiannya mencapai 20.000 kaki memisahkan dua cekungan (basin) yang luas: Tarim di selatan dan Dzungarian di utara. Oase-oase di tepian basin – di antaranya yang besar Kashgar, Khotan, Aqsu – memberi suplai air bagi penduduk setempat. Curah hujan relatif rendah, hanya sekitar 4 inci per tahun untuk Kashgar, misalnya, dan 10 inci per tahun di Dzungarian Basin. Namun, kebutuhan air terbantu dengan adanya air tanah dan lelehan salju dan gletser di musim panas dari pegunungan di sekitar (Freeberne, 1966: 103-104).
  • Kawasan Xinjiang termasuk kaya akan sumber daya alam. Di wilayah ini terdapat kandungan biji besi yang sangat banyak, tembaga, emas, sulfur, gypsum, uranium, seng, dan batu jade. Cadangan minyak bumi yang besar terdapat di Karamai dan Tushangtze. Cadangan batu bara juga sangat besar [di dalam teks tertulis 3,000,000 million tons] (Freeberne, 1966: 104-105). Sementara data lain menyebutkan bahwa cadangan batu bara di Xinjiang mencapai 38% dari total cadangan di seluruh Cina dan cadangan minyak bumi diperkirakan mencapai 30 juta ton atau lebih dari 25% cadangan nasional. Cadangan besi mencapai 730 juta ton, garam 318 juta ton, dan mirabilite 170 juta ton (china.org.cn/english/MATERIAL/139230.htm).
  • Etnis yang dominan di Xinjiang adalah etnis Uighur yang beragama Islam (Sunni). Selain itu ada pula etnis-etnis lain di daerah ini seperti Kazakh, Kyrgyz, Uzbek, dan Tajik yang mayoritasnya juga beragama Islam (Sunni). Etnis Han [non-Muslim], yang merupakan etnis dominan di Cina, juga terdapat di Xinjiang. Begitu pula dengan etnis Han Muslim yang dipanggil dengan sebutan Hui (Freeberne, 1966: 108). Populasi di Xinjiang berkembang sejak tahun 1949 dari sekitar 3,7 juta menjadi 4,8 juta pada tahun 1953, kemudian 5,6 juta pada tahun 1957, dan mencapai 7 juta pada Oktober 1962. Pada tahun 1949, hanya ada 200.000-300.000 etnis Han di Xinjiang. Pada tahun 1953 juga masih kurang lebih sama. Tetapi pada satu dekade berikutnya populasi Han berkembang menjadi jutaan (diperkirakan ada 2,6 juta pada akhir 1962) (Freeberne, 1966: 105). Pada tahun 1990, jumlah populasi Uighur di Xinjiang mencapai 7,1 juta, sementara jumlah populasi Han 5,6 juta, atau yang kedua terbesar di kawasan itu. Etnis terbesar ketiga dan keempat secara berturutan adalah Kazakh (1,1 juta) dan Hui (lebih dari 670.000). Keempat etnis ini mewakili 97% dari total populasi Xinjiang pada tahun itu. Uighur dan Kazakh merupakan ras Turki, sementara Han dan Hui merupakan ras Cina yang sama, hanya berbeda dalam agama. Persentase populasi Uighur di Xinjiang pada tahun 1990 adalah 47%, sementara Han 38%. Adapun persentase seluruh populasi Muslim di sana pada tahun itu adalah 60% (Anderson & Silver, 1995: 211-212).
  • Data-data di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pelonjakan jumlah populasi Han di kawasan Xinjiang secara sangat signifikan selama masa pemerintahan Komunis Cina. Pelonjakan ini terjadi melalui migrasi etnis Han dari provinsi-provinsi lain, bukan melalui kelahiran – tingkat kelahiran (fertility) etnis Han sangat rendah. Persentase populasi Han di atas pun sebenarnya sudah menurun dibandingkan tahun 1978 yang mencapai 42%. Diperkirakan persentase akan terus menurun hingga 25% pada tahun 2030 disebabkan angka pertumbuhan Han yang rendah. Sementara itu 40% dari populasi etnis minoritas di Xinjiang pada tahun 1990 berusia di bahwa 14 tahun, yang menunjukkan angka pertumbuhan yang tinggi. Tren pertumbuhan ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Cina dan penguatan pengaruh etnis Han di Xinjiang sebenarnya merupakan bagian dari strategi pusat untuk mengendalikan wilayah itu (Becquelin, 2000: 69-70). Menarik untuk diperhatikan bahwa pada November 2000 terjadi peningkatan signifikan etnis Han di Xinjiang menjadi 7,5 juta dan persentasenya menjadi 40,6%, atau kenaikan lebih dari 30% sejak tahun 1990 (Kellner, 2002: 8).
  • Peningkatan ekonomi dan dibukanya pusat-pusat industri di wilayah Xinjiang memang berpotensi menarik pendatang dari wilayah lain ke propinsi itu, tetapi pelonjakan pesat populasi Han dapat dikatakan merupakan dorongan dari pemerintah pusat. Ada studi yang menyebutkan bahwa pada tahun 1950-an hingga 1970-an migrasi Han ke Xinjiang diorkestrai oleh pemerintah pusat, sementara pada dekade-dekade berikutnya lebih bersifat inisiatif pribadi, walaupun pemerintah tetap memfasilitasi (Howell & Fan, 2011: 119, 122). Pemerintah Cina cenderung menutup-nutupi tingginya angka lonjakan pendatang etnis Han ke wilayah Xinjiang. Namun, informasi tentang kedatangan ratusan ribu migran kadang diakui pemerintah propinsi dan muncul di surat kabar. Migrasi tidak hanya diarahkan ke wilayah urban, tetapi juga ke pedesaan dan kawasan terpencil, biasanya untuk membangun perkebunan. Jika pada era Mao perpindahan penduduk ke Xinjiang dilakukan melalui paksaan, pada masa-masa berikutnya dilakukan lewat motivasi ekonomi. Studi pemerintah pusat menyebutkan, “Untuk menarik migran … poin utamanya adalah dengan mengijinkan individu-individu mengakumulasi kekayaan.” Hal ini antara lain dilakukan dengan pemberian hak atas tanah properti serta kemudahan dalam hal pembagian, penyewaan, dan pewarisannya. Pada Juli 1998, Xinjiang Daily, misalnya, menampilkan iklan kecil berisi rencana pembagian 5.000 mu [satuan luas tanah di Cina; 15 mu kurang lebih setara dengan 1 hektar] tanah yang sudah siap digarap. Di antara lokasi pembagian yang disebut oleh iklan di atas adalah kota Qiemo yang 80% penduduknya dari etnis Uighur dan rata-rata hanya memiliki 2,5 mu tanah per orang. Terbatasnya lahan serta kompetisi untuk mendapatkan air bagi irigasi di kemudian hari menimbulkan konflik antara etnis Uighur dan Han di kota itu (Becquelin, 2000: 75-76).
  • Hal di atas menjadi contoh kecil dari apa yang terjadi di beberapa daerah lainnya di Xinjiang, yang dipicu oleh kehadiran etnis Han dan terjadinya kelangkaan air. Antara tahun 1991 dan 1997 ada 3,3 juta mu lahan yang diolah untuk perkebunan dan antara tahun 1996 dan 2000 akan dibuka pula tambahan 7 juta mu lahan lainnya, yang sebagian besarnya digunakan untuk menanam kapas (cotton). Pembukaan lahan-lahan perkebunan ini memberi dampak lingkungan yang serius berupa kekeringan dan meluasnya kawasan gurun (desertification) yang meningkat di 53 dari 87 distrik yang ada di Xinjiang. Sebuah studi menunjukkan bahwa untuk setiap 40,000 kilometer persegi gurun yang diubah menjadi lahan perkebunan, pada saat yang sama luas gurun bertambah 50,000 kilometer persegi. Banyak danau yang mengering dalam proses ini, khususnya di sekitar Sungai Tarim (Becquelin, 2000: 83-84).
  • Ada studi yang berpandangan bahwa liberalisasi ekonomi di Xinjiang telah melemahkan kohesi sosial di kawasan itu. Etnis Uighur secara umum lebih lemah dalam kewirausahaan dibandingkan etnis Han, sehingga berimplikasi pada kesenjangan ekonomi. Uighur merespon ini lewat penguatan tradisi keagamaan dan identitas yang kemudian berkembang menjadi radikalisasi dan serangan terhadap pemerintah dan etnis Han. Han membalasnya dengan stereotip dan kebencian terhadap Uighur (Zhao, 2010). Di satu sisi, kurangnya daya saing ekonomi etnis Uighur mungkin ikut menjadi faktor terjadinya kesenjangan ini. Namun di sisi lain, beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Xinjiang sebenarnya lebih dari sekedar ‘pembiaran’ oleh pemerintah Cina bagi semua etnik untuk bersaing bebas. Kebijakan pemerintah Cina, walaupun mungkin juga diarahkan untuk meningkatkan kemakmuran etnis Uighur, memang menunjukkan adanya keberpihakan terhadap etnis Han.
  • Cina memiliki slogan “Great Han Nationalism” (Da Han zhuyi) yang tidak disukai oleh etnis Uighur karena tendensi superioritasnya terhadap etnis minoritas. Tambah lagi pola relasi antar etnis di Cina mengikuti apa yang disebut oleh seorang peneliti sebagai ‘familyism’yang berpola hirarkis di mana etnis Han adalah ‘saudara yang lebih tua’ dan etnis lainnya, termasuk Uighur, adalah ‘saudara yang lebih muda’ yang posisinya dalam tradisi kekeluargaan di Cina harus bersikap patuh terhadap otoritas saudara yang lebih tua. Pola ini terefleksikan di dalam struktur partai Komunis Cina dan struktur pemerintahan Cina, termasuk di Xinjiang (Kellner, 2002: 9). Xinjiang sebetulnya mendapat status otonomi dan diberi nama Xinjiang Uighur Autonomous Region (XUAR) sejak 1 Oktober 1955. Namun pemerintah daerah dirancang untuk tetap menjadikan etnis Uighur sebagai minoritas di dalam struktur pemerintahan (Boehm, 2009: 79). Dengan kata lain, status otonomi Xinjiang hanya sebatas nama, bukan realitas.

Kebijakan ekonomi Cina di Xinjiang pada akhirnya tidak mencapai tujuan yang dicanangkan semula, malah sebaliknya memarjinalkan ekonomi etnis minoritas dan menciptakan kesenjangan ekonomi yang besar di Xinjiang. Implikasinya adalah etnis Uighur merasa didiskriminasikan, menjadi warga kelas dua di wilayahnya sendiri, dan menganggap telah terjadi ‘invasi orang-orang Han’ ke wilayah mereka. (Bersambung…)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *