Perang Shiffin

by
http://d1e3uqeqtqrv1j.cloudfront.net

Tidak sedikit kaum Muslimin yang alergi membahasnya.  Bahkan terkadang para aktivis dakwah pun merasa ‘takut’ untuk mengisahkannya. Ada apa dengan perang Shiffin?

Wartapilihan.com, Jakarta –Jika perang-perang yang terjadi sebelumnya selalu menguraikan kepahlawanan kaum Muslimin melawan kaum kafir. Namun kali ini yang berperang adalah sesama sahabat Rasulullah SAW sendiri. Selain itu perang ini kerap menjadi celah dari para orientalis dan kaum liberal untuk menyudutkan keagungan generasi sahabat, kekokohan pemerintahan dan sistem sosial Islam.

Perang Shiffin awalnya dimulai pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 36, hanya saja ‘letupan besarnya’ baru pecah sepekan sebelum bulan Safar (versi Tarikh Ath-Thabari) atau awal Safar tahun 37 H (versi Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihaya) . Perang ini hanya berselang setengah tahun saja dari perang Jamal. Perangnya sendiri terjadi di daerah Shiffin, negeri Suriah sekarang ini atau wilayah Syam.

Penjelasan perang Shiffin sebenarnya lebih sulit daripada perang Jamal. Lantaran perang Jamal lebih mirip kerusuhan yang diprovokatori oleh kaum Saba yang zindiq dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka. Sedangkan perang Shiffin walau pun benih-benihnya diakibatkan fitnah para pemberontak di masa Utsman bin Affan, namun meletusnya perang ini adalah konsekuensi dari sikap masing-masing kubu. Tulisan ini hanya akan membahas perkara-perkara yang langsung berhubungan dengan perang Shiffin saja. Dengan asumsi para pembaca sudah paham alur kronologis dan sebab-sebab timbulnya fitnah di masa Utsman bin Affan serta perang Jamal. Penekanan tulisan ini sebenarnya ada pada kerangka (frame) dan bangunan (konstruk) sejarahnya. Diharapkan dengan membacanya, para pembaca tidak hanya dapat berargumen “sahabat-sahabat itu radhiyallahu’anhum wa radhuu’anhu” melainkan juga memahami sisi historisnya.

Perang Shiffin sama sekali bukan soal Muawiyah bin Abi Sufyan yang ingin merebut jabatan kekhalifahan, bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal itu. Riwayat-riwayat berderajat shahih dan hasan justru menunjukkan kalau gubernur Syam tersebut menginginkan eksekusi para pembunuh Utsman disegerakan. Bahkan Muawiyah menginginkan komplotan para pembunuh tersebut diserahkan kepadanya.  Seperti disebutkan dalam riwayat Yahya bin Sulaiman Al-Ju’fi dari Aby Muslim Al-Khaulani bahwa Muawiyah sendiri mengaku ia tidak membai’at Ali bukan lantaran ingin jabatan khalifah, “Apakah kamu menentang Ali dalam kekhalifahan ataukah kamu sudah merasa sederajat dengan Ali?” Muawiyah menjawab “Tidak, aku tahu betul bahwa dia lebih baik dari aku dan ia lebih berhak diangkat sebagai khalifah, tapi bukankah kalian tahu Utsman telah terbunuh secara zhalim? Dan aku adalah sepupunya dan wali (keluarga) Utsman berhak menuntut darahnya. Oleh karena itu datanglah ke Ali dan katakan agar ia menyerahkan para pembunuh Utsman kepada kami, maka aku akan menyerahkan diri (untuk berbai’at), lalu mereka mendatangi Ali dan berbicara dengannya tentang hal itu, namun Ali tidak menyerahkannya (pembunuh Utsman) kepada Muawiyah” Dalam riwayat Ibnu Hajar ada tambahan, “Ia membai’atku dahulu baru menghukum mereka (para pembunuh Utsman)”.

Ini adalah poros persoalannya. Keduanya berbeda pendapat dalam hal timing menghukum pembunuh Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah Ali ingin menunda hukuman karena stabilitas sosial-politik belum kondusif jika ingin segera mengeksekusi para pembunuh Utsman. Lagi pula para pembunuh tersebut berasal dari wilayah yang berbeda-beda dan komplotannya berjumlah ribuan orang, bahkan tidak diketahui siapa-siapa personalnya mengingat tidak ada sahabat Rasulullah yang melihat langsung pembunuhan Utsman. Utsman dibunuh bersama istrinya di kamar ruangan atas dan para pembunuhnya masuk lewat jendela atas. Pendapat Khalifah Ali belakangan bisa dipahami oleh Ummul Mukminin Aisyah yang sempat tidak sepaham dengan Ali. Sedangkan Muawiyah dan ahlu Syam tetap tidak bisa menerima kebijakan Ali. Itulah yang membuat Muawiyah menunda bai’at kepada Ali, dan meminta Ali agar menyerahkan saja pembunuh Ustman. Dalam hal ini Muawiyah sebagai pemimpin Bani Umayyah dan wali Utsman memang berhak dalam tuntutannya. Ali pun paham bahwa seorang pimpinan keluarga berhak dalam hal itu, namun hak tersebut tetap harus tunduk di bawah kebijakan khilafah. Itu pun nantinya pihak pemerintah pasti akan mengeksekusi para pembunuh Utsman, persoalannya hanya dalam timing.

Khalifah Ali sangat menyadari ini semua, itu sebabnya ia berusaha mengirim surat kepada Muawiyah di Syam agar ia berbai’at saja dahulu, apalagi Muawiyah adalah pimpinan kaum Muslimin di Syam. Ali mengutus Jarir bin Abdullah ke Syam, Jarir bertutur “Aku siap berangkat menemui Muawiyah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya hubungankua dengannya sangat akrab, aku akan mengambil bai’atnya untukmu.” Jarir pun membawa surat dari Ali ke Muawiyah. Isi surat tersebut adalah kabar kesepakatan bahwa sahabat muhajirin dan anshar membai’at Khalifah Ali, serta mengisahkan peristiwa perang Jamal, dan seruan Ali agar Muawiyah dan penduduk Syam membai’at dirinya. Setelah Jarir tiba di Syam dan menyerahkan surat kepada Muawiyah, putra Abu Sufyan itu menggelar musyawarah, hadir juga Amr bin Ash dan tokoh-tokoh kaum Muslimin negeri Syam. Ternyata mereka menolak seruan tersebut kecuali Ali bersedia mengqishash para pembunuh Utsman atau menyerahkan para pembunuh tersebut kepada Muawiyah. Kendati demikian, ada teks dalam riwayat ini yang patut diragukan kebenarannya yakni penggambaran bahwa Muawiyah sampai mengancam akan memerangi Ali jika tidak dipenuhi tuntutannya, yang justru bertentangan dengan riwayat yang shahih bahwa Muawiyah dan ahlu Syam hanya tidak membai’at Ali jika syarat-syarat darinya belum terpenuhi bukan hendak memerangi. Riwayat dari Ath-Thabari tentang perang Shiffin banyak dari Abu Mikhnaf yang beraqidah Syi’ah termasuk riwayat ini, namun demikian surat-menyurat ini tidak bermasalah dari segi matannya dan menggambarkan detail yang terjadi di masa menjelang perang Shiffin.

Setelah kedua belah pihak masing-masing mempertahankan pendiriannya, dalam hal ini Khalifah Ali punya hak untuk memaksa ahlu Syam untuk taat dan ingin merealisasikan QS Al-Hujurat ayat sembilan. Bagi pemerintahan, justru kedamaian sejati adalah ketika tidak ada satupun kubu yang membangkang kebijakannya. Apalagi ini sebagai strategi yang harus diindahkan bersama jamaah kaum Muslimin bukan dengan ijtihad pribadi maupun golongan. Dengan begini secara logis masing-masing pihak memang punya alasan yang sangat kuat untuk bertahan dalam pendiriannya.

Jika membaca hadits-hadits nubuwwah tentang akan syahidnya Utsman di samping itu kita merasakan kepedihan perasaan keluarga Utsman, tentunya akan memahami apa yang dipertahankan Muawiyah itu. Lagi pula tidak ada sahabat Rasulullah yang menafikan alasan Muawiyah tersebut, namun para sahabat menyelisihi tindakan Muawiyah yang berselisih dengan kebijakan khalifah dan untuk kepentingan bersama. Padahal tidak mungkin pula Ali sebagai sahabat dan wazir terdekat Utsman, akan membiarkan begitu saja nyawa sahabatnya itu melayang tanpa menghukum para pembunuhnya.

Strategi dari Khalifah Ali ini sangat jitu, terbukti panglima yang piawai berperang saja seperti Qa’qa bin Amr sangat mendukung kebijakan Ali. Mengeksekusi komplotan para pembunuh yang berjumlah ribuan orang dan berasal dari berbagai tempat bukan perkara yang bisa diselesaikan hanya dengan asal hukum saja. Buktinya figur-figur seperti Ummul Mukmini Aisyah, serta dua sahabat yang telah wafat di perang Jamal yakni Thalhah bin Ubaidilahh dan Zubair bin Awwam bisa memahami strategi Ali. Tentu pergolakan sosial-politik yang dihembuskan para pemberontak maupun para pembunuh Utsman harus distabilkan terlebih dahulu. Ribuan komplotan dari Mesir, Kufah dan Bashrah itu harus dibereskan dengan cara yang ‘cantik’ bukan tergesa-gesa. Timing yang tepat itulah yang akan membuat kaum Muslimin bisa membayar darah Utsman sekaligus meminimalisir pergolakan.

Pada masa-masa ini tidak ada yang menyebut Muawiyah sebagai Amirul Mukminin, melainkan hanya “Amir” karena posisinya sebagai amir atau gubernur Syam. Walaupun tidak membaiat Ali, penduduk Syam dan keluarga Bani Umayyah tetap mengakui Ali sebagai khalifah yang telah dipilih secara sah.

Sebaliknya pun, Ali sama sekali tidak pernah meragukan keislaman dan kepribadian Muawiyah dan Bani Umayyah. Namun Ali memiliki hak untuk menyatukan semua sikap dan tindakan kaum Muslimin yang dipimpin olehnya, tidak boleh mengambil tindakan sendiri-sendiri. Itulah kenapa, dalam perang Shiffin. Ali berpesan kepada pasukan-pasukannya agar tidak menyerang lebih dahulu sebelum benar-benar diserang. Dalam Tarikh Khalifa bin Khayyath dalam kubu Ali ada sekitar 800 sahabat Nabi yg pernah ikut Baiat ar-Ridhwan. Juga ada sekitar 90 sahabat Nabi yg ikut perang Badar. Sedangkan di kubu Muawiyah hanya ada beberapa orang saja. Di antaranya Amr bin Ash dan Abdullah bin Amr bin Ash. Wallahu’alam

Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *