Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA, Wakil Ketua Ikatan Alumni Beasiswa Baznas RI; Ketua Infokom MUI Enrekang
Indonesia sebagai negara majemuk yang penganut agama Islam menjadi mayoritas. Negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki potensi sumber daya alam sekaligus sumber daya manusia yang mampu bersaing pada tatanan global. Pendek kata, secara kasat mata tidak ada alasan untuk kita tertinggal, idealnya kita sudah harus tinggal landas, bukan tertinggal dalam landasan. Semestinya Indonesia adalah pemimpin dunia, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara.
Wartapilihan.com, Jakarta –Sayang, yang diharapkan atau semestinya berlaku hanya jadi harapan dan cita-cita, belum mampu jadi kenyataan. Saat ini angka kemiskinan di Indonesia melebihi dua kali lipat dengan jumlah penduduk Malaysia. Padahal apa yang ada—sumber daya alam—di Malaysia hampir pasti juga terdapat di Indonesia, tapi tidak sebaliknya. Kita dapat berteriak “Indonesia Hebat”, atau “Kita Indonesia” tetapi fakta empiris menunjukkan (das sein) bahwa negara ini lemah, kemiskinan masih menumpuk, pendidikan belum merata, hukum masih tebang pilih, garam dan bawang putih masih inpor, sementara tomat membusuk dan harga bawang merah anjlok karena tidak mampu dieksport atau terkelola dengan baik, dan segudang masalah menumpuk. Artikel ini tidak cukup ruang memaparkan.
Untuk mengurai permasalahan yang didahului oleh benang kusust kemiskinan, maka pemerintah Indonesia telah berusaha berbuat agar angka kemiskinan mengempes yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kebijakan terus dikeluarkan, tapi kemiskinan tetap tumbuh. Di Kabupaten Enrekang merupakan salah satu daerah yang cukup makmur di Sulawesi Selatan masih memelihara sedikitnya 28 ribu jumlah penduduk miskin versi Badan Pusat Statistik Enrekang. Tentu jumlah tersebut tidak datang dalam lima tahun terakhir, tapi akumulasi dari hasil pemerinatahan yang ada sebelumnya. Dan, bisa saja kemiskinan merajalela sebab pemerintah menegasi peran zakat sebagai instrumen terpenting dalam mengentaskan kemiskinan.
Karena itu dibutuhkan inovasi-inovasi pemerintah dari Pusat hingga Daerah untuk terus memerangi kemiskinan. Salah satunya adalah mendukung penuh hadirnya Lembaga Negara yang dikenal dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Musuh Bersama
Dalam hirarki ibadah, tauhid adalah yang paling utama dan pertama. Tauhid merupakan bentuk kayakinan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah (la ma’bud illallah). Jika tauhid seseorang rusak maka rontoklah seluruh sendi agamanya, dan segenap amal kebaikannya laksana debu yang beterbangan (haba’an matsura [QS. 25:23]).
Lalu apa hubungannya dengan kemiskinan? Dengarkan saya baik-baik! Kemiskinan adalah ancaman paling serius dalam akidah, lebih khusus lagi bagi kaum miskin yang hidup di lingkungan golong elite dan kaya raya. Golongan ‘the have’ atau kaya bekerja dengan mudah dan kilat, namun menghasilkan harta yang banyak. Sementara para golongan miskin bekerja dengan susah payah hingga air keringat dari biji matanya bercucuran namun hanya untuk sebuah hasil yang tidak cukup beli makan keluarga selama dua hari.
Dalam segi pengeluaran pun demikian, ada golongan yang hidup di hotel mewah dan dapat menghabiskan dana untuk satu malam saja sama dengan sepuluh tahun si miskin memulung sampah atau mengayuh becak.
Dalam suasana seperti itu, orang miskin yang imannya setipis uang kertas dan ketakwaanya setebal uang koin akan merasa ragu dengan keyakinan agamanya. Lalu bertanya, “Apakah Allah bijaksana?”.
Jika golongan miskin diserang dengan seonggok uang kertas ratusan lalu diajak pindah agama, pun bisa saja terjadi. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi yang dinarasikan oleh Abu Na’im, “Kemiskinan dapat mengakibatkan kekufuran”. Akibat kemiskinan dan ketidak adilan sosial bagi seluruh rakyat, maka akan timbul penyimpangan akidah. Perkataan Salaf sebagaimana dikutif Yusuf Al-Qaradhawi bisa dijadikan renungan, Bila seorang miskin pergi ke sebuah negeri, maka kekafiran akan berkata kepadanya, ‘Bawalah saya bersamamu’, (Musykilah al-Fakr wakaifa Alajaha al-Islam, 1995). Karena itulah kita dperinahkan Rasulullah agar berdoa seperti ini, Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekafiran dan kemiskinan, (HR. Abu Dawud).
Kemiskinan juga berbahaya pada stabilitas sosial dan keamanan. Penyakit sosial kerap muncul di kota-kota besar yang sudah menegasikan kontrol sosial. Salah satu yang kerap muncul adalah penyakit sosial berupa tumbuhnya usaha haram prostitusi yang memperkerjakan para wanita miskin harta dan iman.
Dari sisi stabilitas keamanan juga demikian, kerap terjadi perampokan, begal, pencurian, dan tindak kriminal lainnya karena terpacu oleh himpitan ekonomi di tengah hirup-pikuk kemewahan para hartawan dan politisi kelas kakap. Inilah yang dimaksud dalam sebuah ungkapan dikutif Yusuf Al-Qaradhawi, “Suara perut dapat mengalahkan suara nurani”.
Jika kemiskinan melilit karena faktor lingkungan tidak mendukung, seperti yang hidup di padang tandus atau tinggal nomaden di hutan belantara sebagaimana suku Anak Dalang Jambi dan penghuni hutan Mentawai yang memang terbiasa hidup dan mengharap makanan dari alam, mungkin itu dapat dimengerti. Tapi kalau miskin sampai tak mampu menutupi biaya makanannya tiap hari, tinggal di gubuk emperan kali kota, bahkan jadi gelandangan di sekitar hotel berbintang, maka itu tidak bisa ditolerir. Sebab, ada segolongan orang yang hidup mewah di bawah penderitaan orang banyak, menguasai 70 persen tanah negara tanpa ada pemerataan.
Jika terjadi, inilah dimaksud ungkapan dari seoraang Sahabat Nabi, Abu Dzar, katanya, “Saya heran terhadap orang yang tidak memiliki sesuap nasi pun di rumahnya, mengapa ia tidak menuntut haknya dengan menghunus pedangnya”.
Peran Baznas
Dalam konteks keindonesiaan, zakat adalah sumber dana non-APBN yang bermanfaat untuk penanggulangan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi. Kendati lembaga flantropi tumbuh dan berkembang pesat, namun lembaga pengelola zakat, khususnya Baznas punya eksistensi dan kekhususan tersendiri yang tidak tergantikan.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat menjadi dasar berdirinya lembaga dan alat negara bernama Baznas. Pada pasal 15 ayat 1-5 dengan jelas memerintahkan pemerintah daerah untuk membentuk Baznas. Tidak sampai di situ, keberadaan Baznas Daerah wajib dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil sebagaimana tertera dalam Pasal 30 ayat 1-2.
Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah belum menerapkan undang-undang di atas sepenuh hati. Akibatnya, banyak Baznas yang belum optimal dalam menjalankan fungsinya sebagai bagian penting dalam pengentasan kemiskinan. Dalam hal perangkat dan aturan lokal terkait zakat, pada skala Indonesia Timur, Kabupaten Enrekang dapat jadi contoh dan rujukan. Pemerintah Daerah baik DPR maupun Bupati (Muslimin Bando) telah memberikan dukungan penuh terhadap Baznas, termasuk anggaran dana operasional, kantor dan kendaraan. Walaupun kecil jika dibandingkan Baznas Kota Makassar yang mendapat anggaran operasional mencapai dua miliar pertahun selain kantor dan kendaraan tapi dari sisi landasan hukum berupa peraturan daerah dan peraturan Bupati, Enrekang jauh lebih unggul. Saya yakin bahwa pemerintah Kabupaten Enrekang baik Bapak Bupati maupun DPRD mampu menjadi tonggak kebangkitan zakat Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur.
Kini, umat sangat berharap agar Baznas terdepan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Maka kewajiban pelbagai pihak dan elemen masyarakat adalah memperkuat institusi Baznas, mengajak masyarakat untuk menyalurkan zakat dan infaknya melalui Baznas. Dan bagi ASN yang terpotong gajinya agar diberi pemahaman yang benar bahwa zakat dan infak selain menambah dan memberkati harta juga menjadi tabungan akhirat yang terus mengalir pahalanya. Dan harus dilawan siapa pun yang melakukan provikasi agar orang jauh dari syariat zakat dan infak sebab secara langsung manusia semacam ini mengajak pada kefasikan, melakukan pembiaran pada kemiskinan agar jadi objek politik pragmatis. Wallahu A’lam!