Penyintas Covid-19: Cerita Kecil dari RSUD Cengkareng

by

Beberapa orang kawan masih meminta saya untuk berbagi pengalaman saat saya terjangkit covid 19, selama 1,5 bulan kemarin. Karena itu saya menuliskan catatan di bawah ini secara kronologis agar runtut, sebagai pengetahuan dan bahan pelajaran jika diri ataupun keluarga kita terjangkit covid. Semoga bermanfaat.

Wartapilihan.com, Jakarta–Sabtu malam, 12 September 2020. Usai mandi sore, tiba-tiba saya merasa meriang. Sekujur tubuh dan sendi-sendi mendadak terasa linu padahal siangnya saya tidak melakukan pekerjaan fisik sama-sekali. Saat itu kepala pun terasa pusing, tapi tidak ada batuk, tidak pilek, tidak sesak nafas, dan juga tidak mual. Ketika itu indera penciuman dan perasa masih normal.

Ahad pagi, 13 September 2020, saya periksa ke dokter Rusyda, dokter umum di kompleks perumahan kami. Saat itu suhu badan 38oC. Saya kemudian diberi resep flu biasa, plus vitamin C. Bu dokter itu kemudian menyarankan kepada saya untuk tes swab dan isolasi mandiri.

Karena mendapat kabar di grup WA kantor bahwa ada kawan yang positif covid, saya lalu menghubungi HCD kantor kami, untuk minta rekomendasi swab di rumah sakit rujukan kantor. Saya kemudian didaftarkan untuk swab keesokanharinya di RS OMNI Pulomas.

Senin pagi, 14 September 2020, Jam 9 pagi saya tes swab di RS OMNI Pulomas atas rekomendasi kantor. Saat diukur dengan termometer gun, suhu badan masih 37,8. Ada beberapa kawan dari kantor yang juga di-swab saat itu. Sepulang dari rumah sakit, isolasi mandiri berlanjut.

Selasa pagi, 15 September 2020. Demam sudah mereda, tapi badan dan sendi-sendi masih terasa linu, sementara kepala semakin terasa pusing di bagian belakang. Obat flu masih terus saya minum.

Rabu malam 16 September 2020, sekitar pukul 21.00, saya mendapat kabar dari staf HCD kantor, bahwa hasil swab saya positif covid. Saya diminta untuk mempertimbangkan apakah harus dirawat di rumah sakit atau isolasi mandiri. Saya lalu minta didaftarkan untuk konsultasi dengan dokter specialis paru di RS OMNI Pulomas, keesokanpaginya, untuk memastikan kondisi saya.

Kamis, 17 September 2020. Jam 10 pagi kami kembali ke RS OMNI Pulomas untuk berkonsultasi dengan Dokter Arief, specialis paru, dan meminta pertimbangan apakah saya harus dirawat di rumah sakit atau isolasi mandiri, dengan hasil positif covid-19 ini. Dokter Arief masih belum memberikan opini, karena belum mengetahui kondisi organ dalam, sehingga kemudian merekomendasikan untuk periksa LDCT (Semacam CT Scan) abdomen untuk mengetahui kondisi paru-paru saya.

Setelah diperiksa dengan LDCT abdomen di bagian Radiologi RS OMNI Pulomas, dokter sudah pulang, sehingga saya harus konsultasi keesokanharinya. Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit dan sudah hampir sampai di rumah, seorang suster dari RS OMNI Pulomas menelpon saya. Dia mengatakan bahwa ruang perawatan untuk saya sudah disiapkan, karena dokter Arief berpesan kepada bagian perawatan bahwa saya harus dirawat. Tapi saya katakan bahwa esok hari saya masih ingin berkonsultasi dengan Dokter specialis paru. Saat itu saya merasa indera pengecap dan indera penciuman saya masih berfungsi namun mulai menurun.

Jumat, 18 September 2020. Saat sarapan pagi saya merasa makanan begitu hambar. Saya tidak lagi merasakan rasa manis, asin, maupun pedas. Aroma minyak kayu putih yang saya lumurkan ke tissue sebagai pelapis masker pun tak lagi tercium baunya, padahal tissue itu sampai basah oleh cairan minyak kayu putih. Hanya ketika meminum obat flu yang tersisa, saya masih merasakan sedikit rasa pahit.

Jam 9 pagi kami kembali ke RS OMNI Pulomas untuk mengambil hasil LDCT di bagian radiologi, dan kemudian berkonsultasi dengan dokter paru lainnya, Dokter Chrispian, karena Dokter Arief tidak bertugas hari itu. Setelah melihat hasil LDCT, Dokter Chrispian mengatakan bahwa memang ada semacam selaput atau kabut di paru-paru saya, tapi tidak terlalu luas. Dokter Chrispian kemudian merekomendasikan untuk isolasi mandiri. Menurut dokter, saat ini rumah sakit diprioritaskan untuk merawat gejala berat. Untuk yang gejala sedang maupun tanpa gejala disarankan untuk isolasi mandiri di rumah jika kondisi rumah memungkinkan.

Saat itu Dokter Chrispian juga memberikan resep, yakni Azithromycin, Oseltamivir, dan Vitamin C 500 mg. Ternyata menurut suster bagian farmasi di RS OMNI Pulomas, Oseltamivir hanya bisa diberikan jika pasien rawat inap. Saya lalu menghubungi Mas Naufal, staf khusus di Kantor Gubernur DKI Jakarta, agar bisa dibantu untuk mendapatkan Oseltamivir yang tidak dijual di apotik umum. Akhirnya sore harinya saya mendapatkan obat itu dari Dinas Kesehatan Jakarta Selatan.

Bosnya Mas Naufal, Mas Anies Baswedan juga sempat menelepon saya, dan menyarankan agar saya dirawat di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi DKI DKI saja. Ia pun sudah memerintahkan kepada Mas Naufal untuk mencarikan rumah sakit. Mas Naufal lalu memberikan kontak Dokter Sondang dari Dinas Kesehatan DKI yang bertugas di RSUD Duren Sawit. Dokter Sondang lalu mengontak saya Via WA dan menyarankan untuk segera dirawat di rumah sakit jika kondisi tidak nyaman. Bahkan menurut dia ruangan di RSUD Duren Sawit pun sudah disiapkan. Tapi berdasarkan hasil konsultasi dengan Dokter Chrispian di RS OMNI Pulomas, saya menjelaskan kepada mereka bahwa saya memutuskan untuk isolasi mandiri, sambil minum obat yang diresepkan Dokter Chrispian.

Di rumah kami menjalankan saran dokter. Agar lebih aman, saya lalu memilih diisolasi di lantai II sekolah TK Az-Zahra milik kami, yang hanya berjarak satu rumah dengan rumah kami. Protokol kesehatan kami terapkan dengan ketat. Saya hanya tidur sendiri di kasur yang digotong ke ruang sekolah, sementara makanan dan minuman diantarkan isteri saya yang selalu memakai APD darurat dari jas hujan, sarung tangan karet, masker, dan face shield (hehehe).

Di ruang sekolah tempat isolasi mandiri, kegiatan saya selain istirahat, makan, dan minum obat adalah berjemur di pagi hari, latihan nafas panjang dan proning, yang menurut dokter bisa meningkatkan imunitas. Saya dan isteri kemudian sering berkomunikasi dengan beberapa orang teman yang dirinya maupun keluarganya sempat terpapar covid. Mereka menyarankan berbagai hal dalam isolasi mandiri.

Selain meminum obat resep dari dokter (oseltamivir, azithromycin, dan vitamin C), saya juga meminum vitamin, beberapa suplemen, madu, habbatus sauda’, propolis, serta ramuan herbal kiriman beberapa orang sahabat. Bahkan ada pula sahabat yang mengirimkan Oxymetri, alat untuk mengukur saturasi oksigen. Sebagai alat deteksi awal adanya gangguan fungsi penyerapan oksigen dalam pernafasan, oxymetri sangat berguna.

Akhir minggu pertama kondisi tampak membaik. Suhu badan sudah normal, linu di badan dan sendi pun mulai berangsur reda. Hanya rasa pusing di kepala bagian belakang yang masih terasa. Kami pikir sudah mulai sembuh nih. Karena itu pada Sabtu dan Minggu pagi saya sudah mulai turun dan berjemur di luar sambil jalan pelan-pelan di depan TK Azzahra. Saya kemudian menghubungi HCD kantor untuk didaftarkan swab di RS OMNI Pulomas pada hari Senin.

Senin, 21 Sept 2020. Pagi hari saya kembali ke kamar saya untuk bersiap sebelum berangkat ke RS OMNI Pulomas untuk tes swab lagi –sebagaimana disarankan HCD kantor– setelah seminggu menjalani isolasi mandiri. Rupanya periode kritis covid-19 baru muncul pada minggu ke dua ini. Pagi itu saya ternyata mulai batuk-batuk kecil, nafas juga agak berat. Tapi saya belum menyadari apa yang terjadi.

Saya mulai agak cemas setelah menuruni tangga dari lantai dua ke lantai bawah rumah saya. Setapak dua tapak, nafas mulai ngos-ngosan. Begitu sampai di bawah nafas saya terasa seperti hampir putus. Saya ngos-ngosan parah, seperti baru saja lari sprint. Saya sampai harus berhenti selama beberapa menit untuk mengatur nafas. Saat itu catatan saturasi oksigen semakin menurun, hanya 77-80, detak jantung menjadi lebih cepat, sementara rasa pusing di bagian belakang kepala semakin terasa. (Menurut dokter ini pertanda mulai ada gangguan supply oksigen ke kepala).

Kejadian berulang ketika di RS OMNI Pulomas dan akan test swab. Saat berjalan ke lift menuju lantai VI tempat swab, dan ketika berjalan keluar lift sebelum duduk mengantri, nafas kembali berat dan ngos-ngosan parah. Bahkan saya mulai mendengar suara “ngiiik” saat bernafas. Ketika itulah, saya merasa harus segera dirawat di rumah sakit. Maka, sepulang dari swab, saya kontak Mas Naufal, dan menanyakan apakah ada kamar rumah sakit milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kosong. Sebab, saat itu saya mendapat informasi bahwa banyak rumah sakit yang penuh pasien covid.

Selasa, 22 September 2020. Hari itu hari ke-11 sejak gejala covid pertama (sejak meriang Sabtu malam 12 Sept 2020). Menurut Mas Naufal, RSUD Duren Sawit penuh, begitu pula RSUD Pasar Minggu, dan RS Siloam Mampang yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan DKI. Rumah sakit milik DKI yang tidak terlalu ramai, kata Mas Naufal, adalah RSUD Cengkareng. Dia lalu mengirim kontak dokter spesialis paru di RSUD Cengkarang, Dr Puji, SpP, agar saya bisa berkonsultasi langsung dengan beliau.

Saya kemudian berkonsultasi dengan Dokter Puji, dan mengirimkan hasil LDCT saya di RS OMNI Pulomas via WhatsApp. Begitu membaca hasil LDCT, Dokter Puji langsung menyarankan agar saya segera masuk ke RSUD Cengkareng untuk diobservasi dan dirawat lebih lanjut. Setelah shalat zuhur, saya kemudian berangkat diantar isteri ke rumah sakit yang belum pernah saya kunjungi itu.

Di RSUD Cengkareng saya ditempatkan di fasilitas rawat inap dalam satu kamar tersendiri di ruang Kiwi. Saya tidak masuk ke ruang ICU, tapi masuk ruang perawatan sendiri karena dampak covid pada diri saya dianggap dokter masih sedang. Begitu masuk ruang perawatan, saya langsung dipasang selang oksigen ke hidung. Selama 7 hari saya harus memakai selang oksigen itu.

Foto Rontgent pertama dilakukan di dalam kamar perawatan, pada hari kedua, karena kondisi saya yang masih lemah. Besoknya, saat visit dokter Puji mengatakan bahwa bercak di paru tampak jelas, tapi belum terlalu luas. Swab pertama di RSUD Cengkareng (swab ketiga jika dihitung sejak swab pertama dan kedua di RS OMNI Pulomas) juga dilakukan pada hari kedua perawatan. Kalau di RS OMNI swab hanya dilakukan dengan mengambil sample di hidung. Rasanya hanya geli-geli saja. Tapi di RSUD Cengkarang sample diambil dari hidung dan mulut yang membuat saya hampir muntah. Hasilnya positif.

Dokter Puji visit dua hari sekali. Saat Dokter Puji tidak visit ada dokter jaga yang datang berkunjung. Suster dan perawat laki-laki yang bergantian shift menangani saya ada enam orang. Ada pula dua cleaning service yang rajin mengepel lantai kamar dan mengambil sampah. Tapi saya tidak dapat mengenali wajah mereka satu per satu. Sebab, baik dokter, suster, perawat, maupun cleaning service itu selalu memakai APD lengkap. Saya hanya mengenali mereka dari suara dan bentuk tubuh, serta tugas mereka. Simpati saya untuk semua dokter, paramedis dan tenaga penunjang yang merawat pasien covid. Semoga mereka sehat semua.

Selain oseltamivir, azithromycin, dan vitamin C yang sudah saya konsumsi saat masih isolasi mandiri di rumah, obat yang lain adalah asam mefenamat (obat antiinflamasi nonsteroid untuk pengobatan nyeri ringan), acetylcysteine (obat pegencer dahak sekaligus membantu melancarkan saluran pernafasan), ameprazol (obat untuk mengatasi gangguan lambung), zinc sulphate (obat untuk kasus diare dan untuk memenuhi kebutuhan minetal, Prove-D (berisi vitamin D dosis tinggi), amlodipin (obat penurun tekanan darah, karena tekanan darah saya sempat mencapai 160/110, padahal biasanya tekanan darah saya hanya 120/90), dan beberapa obat lagi.

Karena laju endap darah saya sempat mencapai angka 1000, dokter sempat menyuntikkan obat pengencer darah, saya lupa namanya, tapi akibatnya muncul pendarahan pada haemorhoid saya setelah hari kedua penyuntikan. Obat suntik itu kemudian diganti dengan obat oral xarelto. Sementara agar tidak muncul lagi pendarahan pada di bagian perut ke bawah (termasuk haemorhoid), disuntikkan obat arixtra di perut dekat pusar saya, sampai lima hari berturut-turut. Alhamdulillah saya tidak punya penyakit lain (comorbid) yang bisa memperparah kondisi seseorang yang sudah terjangkit covid. Saat perawatan di rumah sakit, suplemen dan obat herbal kiriman dari beberapa teman tidak lagi saya konsumsi karena obat sudah begitu banyak.

Pada awal perawatan di rumah sakit, saya agak galau juga. Saya merasa, selama ini selalu menerapkan protokol kesehatan untuk menanggulangi covid-19 dengan ketat. Saya rajin cuci tangan dengan sabun, memakai hand sanitizer, memakai masker, dan jaga jarak. Saya kadang juga memakai faceshield di kantor. Bahkan begitu tiba di kantor saya langsung membersihkan meja dan kursi saya dengan disinfectan. Pulang dari kantor, sesampai di rumah jam berapapun saya langsung mandi dan mengganti semua pakaian. Tapi mengapa saya masih bisa terkena covid? Kabar bahwa salah satu Asisten Produser di kantor meninggal setelah koma dalam perawatan di RS Pelni juga menambah kegalauan saya.

Alhamdulilah isteri dan beberapa orang sahabat selalu menyemangati saya. Saya kemudian teringat akan salah satu hadits Riwayat Bukhari dan Muslim yang diajarkan oleh Ustadz Abdurrahman, dalam sebuah halaqah, sekitar 15 tahun lalu. Bunyinya, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah SWT akan menggugurkan dosa-dosanya, seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya…” Syaratnya: sabar, ikhlas, dan tawakkal menerima anugerah sakit itu. “Sakit adalah salah satu cara Allah SWT untuk membersihkan dan mengurangi dosa-dosa kita, agar timbangan amal kita menjadi lebih berat, sehingga kita layak dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang beriman, dan dapat bertemu dengan Rasulullah di akherat nanti,” kata Ustadz Abdurrahman saat itu.

Hari-hari di rumah sakit kemudian banyak saya isi dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dari semula saya shalat sambil tiduran, saya kemudian mulai mencoba shalat dengan duduk, lalu shalat sambil berdiri pada awal pekan kedua. Saya juga menambah dengan shalat rawatib, dan shalat-shalat sunnah muakkad lainnya. Saya pun memperbanyak dzikir, wirid, dan juga membaca Al Quran. Di pertengahan pekan pertama saya masih kepayahan, tapi saya merasa hati saya menjadi semakin tenang, lebih sabar, dan ikhlas menerima sakit yang saya derita.

Saat masuk pertama kalinya ke RSUD Cengkareng saya merasa suasana masih relatif sepi. Tapi itu mungkin karena saat itu saya berada di kursi roda dengan nafas yang berat dan ngos-ngosan, sementara pikiran dan perasaan masih galau karena harus masuk rumah sakit dan tak boleh ditengok sama sekali, sehingga saat itu saya tidak terlalu memperhatikan lingkungan di sekitar saya. Sebab ternyata di lantai tempat saya dirawat (lantai 5) ada tiga ruangan ICU Besar, masing-masing berisi sekitar 15 orang dalam kondisi yang tak berdaya, setengah sadar hingga tak sadarkan diri, dengan selang ventilator, infus, serta kabel-kabel monitor jantung, paru, tekanan darah, oksigen, dan fungsi organ lainnya yang saya tidak faham.

Di lantai itu juga ada dua ruang ICU khusus untuk bayi yang rata-rata masih bayi merah, sehingga masih harus dimasukkan ke dalam kotak cove, yang lengkap dengan penghangat, infus, oksigen, monitor organ dan sebagainya. Dalam pengamatan saya, masing-masing ruang ICU khusus bayi itu berisi sekitar 10 bayi merah. Melihat bayi-bayi merah yang dirawat itu — saya lihat di tabel, usianya masih dalam hitungan hari hingga bulan— hati saya benar-benar sedih dan merinding. Saya jadi teringat anak pertama saya yang meninggal 11 hari setelah kelahirannya, setelah hanya dua hari dirawat di rumah sakit dan ditempatkan dalam cove seperti itu.

Di lantai V tempat perawatan saya, ada pula beberapa ruang rawat inap, yang menurut suster masing-masing berisi 6 orang pasien. Saya ketawa sendiri ketika ternyata ruang perawatan yang saya tempati sendirian bertuliskan ruang Obgyn. Saya baru memperhatikan semua itu saat sudah mulai stabil, ketika turun lift ke lantai tiga karena akan di-rontgent pada hari ke 6 di RSUD Cengkareng. Dari 7 lantai gedung yang saya tempati, ada 4 lantai yang dipakai untuk ICU dan rawat inap.

Rabu, 30 September 2020. Di minggu kedua ini selang oksigen sudah dicopot. Rasa pusing di bagian belakang kepala sudah tidak saya rasakan lagi. Saat visit, Dokter Puji mengajarkan latihan pernafasan hidung dan mulut. Ia juga menganjurkan agar saya mulai berolah raga ringan sambil berjemur matahari di pagi hari. Kebetulan jendela kamar perawatan saya menghadap ke Timur, dan sama sekali tidak terpasang hordyn. Akibatnya, mulai dari jam 7 pagi hingga jam 10 saya tidak bisa menghindari sinar matahari pagi yang masuk ke kamar perawatan saya dan langsung ke bed.

Pada minggu pertama perawatan, karena badan masih lemah dan masih memakai selang oksigen saya hanya tiduran saja di bed perawatan sambil merasakan panasnya sinar matahari pagi. Sejak awal minggu kedua itu, saya mulai berjemur sambil buka baju, dan kemudian lari-lari mengitari kamar. Awalnya baru 5 menit lari-lari kecil sambil wiridan, kemudian menjadi 10 menit, lalu jalan 10 menit dan gerak badan 10 menit.

Kamis, 1 Oktober 2020. Swab kedua di RSUD Cengkareng, Dua hari kemudian saya diberi tahu bahwa hasilnya masih positif. Hari itu saya mulai bisa mengecap rasa, dan membaui aroma lagi, tapi masih belum begitu kuat.

Mulai awal pekan kedua, selain memperbanyak ibadah, saya juga mulai membaca buku-buku, majalah dan koran dari library PDF saya. Ada beberapa buku yang saya baca, mulai dari Gerakan Komunisme Islam Surakarta, 1914-1942 karya Dr Syamsul Bakri yang memaparkan tentang sepak terjang Haji Misbach dan kawan-kawan, Disertasi Dr Taomo Zhou, Migration in the Time of Revolution: China, Indonesia, and The Cold War yang memaparkan tentang keterlibatan Cina dalam Peristiwa G-30-S/PKI, mengulang kembali membaca buku Dr HJ De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram yang pernah saya baca ketika kuliah, mengulang kembali membaca buku Salim Said dari Gestapu ke Reformasi yang sudah tuntas saya baca lima tahun yang lalu. Beberapa majalah dan koran yang dikirimkan via WA dari beberapa teman juga saya baca.

Selasa, 6 Oktober 2020. Hari itu hari ke 14 perawatan di RSUD Cengkareng. Dokter Puji visit, dan memberi tahu bahwa kondisi saya sudah mulai membaik, baik secara fisik, fisiologis, maupun fungsi organ paru-paru, hati, dan jantung. Hasil rontgent juga menunjukkan bahwa kondisi paru-paru saya mengalami perbaikan. Saturasi Oksigen sudah 97-98. Karena itu, kata dokter Puji, esok hari saya sudah boleh pulang ke rumah. Saya bersyukur, Alhamdulillah, dan merasa senang sekali.

Rabu, 7 Oktober 2020. Sebelum pulang, pagi jam 10 saya diswab, dan kemudian juga difoto rontgent lagi di lantai III. Maka, setelah dirawat selama 15 hari, akhirnya saya boleh pulang ke rumah, meski hasil swab tanggal 1 Oktober masih positif, dan hasil swab hari itu belum keluar hasilnya. Dengan angka CT value 35 saya boleh pulang, karena virus covid yang menjangkiti saya dinilai tidak inveksius lagi. Tapi saya masih harus isolasi mandiri di rumah, dan recovery selama 14 hari ke depan. O ya, selama 15 hari dirawat di RSUD Cengkareng, saya tidak dikenai biaya sepeser pun. Semua biaya penanggulangan covid-19 ditanggung pemerintah.

Kamis, 8 Okt 2020. Saya diberitahu Dokter Puji bahwa hasil swab 7 Oktober kemarin di RSUD Cengkareng, masih positif, via WhatsApp messenger. Dokter Puji lalu mengingatkan agar saya tetap isolasi mandiri di rumah secara ketat sampai 14 hari ke depan. Obat-obat yang dibawa dari rumah sakit juga harus saya habiskan.

Berbeda dengan saat isolasi mandiri pertama yang berada di gedung sekolah TK sendiri, kali ini saya isolasi mandiri di kamar saya di lantai II rumah kami. Isteri berada di kamar terpisah di lantai I. Makanan dan minuman selalu disiapkan isteri yang kemudian mengantarkannya ke kamar dengan memakai APD darurat, berupa jas hujan, sarung tangan karet, masker, dan face shield.

Sejak isolasi mandiri II di rumah, saya pun tetap melanjutkan rutinitas ibadah mahdlah dan ibadah sunnah, serta olah raga pagi sambil wiridan, yang selama di rumah sakit selalu saya laksanakan tiap hari. Saat di rumah sakit saya hanya mampu 10 menit lari-lari mengitari kamar, lalu saya tambah menjadi 15 menit, dan kemudian menjadi 20 menit lari-lari kecil di kebun anggrek mini kami. Bunga-bunga anggrek koleksi saya yang mekar bergantian tampaknya juga menjadi booster imun untuk saya.

Jumat-Selasa 9 – 13 Okt 2020. Selain meminum obat-obat dokter, saya juga mengkonsumsi suplemen, madu, habatus sauda’, propolis, dan ramuan herbal kiriman beberapa sahabat. Saya juga dikirimi obat racikan Dr Purwati dari Universitas Airlangga, dari sahabat saya, Mas Luthfie Hakiem. Ini obat paten yang baru saya dapat belakangan. Tampaknya karena obat ini juga hasil swab selanjutnya sudah negatif.

Rabu, 14 Oktober 2020. Jam 9 pagi saya berangkat diantar isteri untuk swab keenam di RS OMNI Pulomas. Karena jalanan macet, saya agak telat sampai rumah sakit. Untung masih bisa ikut antrian swab meski di urutan terakhir. Saat itu ada beberapa kawan dari kantor yang ikut swab. Dari mereka saya mendapat kabar bahwa cukup banyak kawan di kantor yang terjangkit covid, tapi banyak yang tanpa gejala. Saat itu saya merasa bunyi “ngiiik” saat saya bernafas, mulai hilang.

Jumat, 16 Oktober 2020. Sore hari, staf HCD kantor mengontak via WA dan memberi tahu bahwa hasil test swab keenam, 14 Oktober lalu, hasilnya negatif. Jadi saya tinggal menyelesaikan isolasi mandiri dan recovery selama 14 hari ke depan.

Tanggal 28 Oktober saya sudah mulai masuk kantor. Alhamdulillah. Terima kasih atas semua bantuan, dukungan, dan juga doa sahabat dan teman-teman semua.

Oya, yang harus diwaspadai juga soal kecemasan karena kena covid. Kecemasan itu muncul menyebabkan kita jadi sulit tidur, gampang terbangun, gelisah, berkeringat dan kemudian berpengaruh ke tensi naik. Saya sempat kaget juga ketika tensi saya sampai 162/110, padahal biasanya 140/100 saja sudah muter-muter rasanya.

Selain obat penurun tensi waktu itu saya disarankan oleh dokter untuk tidak terlalu tegang. Insya Allah bisa sembuh. Begitu kata bu dokter yang menangani saya.

Akhirnya saya mencoba menenangkan diri dengan banyak berdzikir dan shalat. Setiap terbangun di malam hari saya paksa untuk wudhu dan kemudian shalat malam. Kalau terbangun lagi ya dipakai dzikir, begitu pula saat sebelum dan sesudah shalat shubuh. Suhu badan tinggi bisa berlangsung semingguan. Begitu juga tidur gelisah… Bisa sampai dua minggu bahkan.

Hanibal Wijayanta

Jurnalis Senior TV-One

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *