Sebanyak 22,4% penduduk Indonesia terkena migrain. Tapi diagnosanya seringkali salah. Salim Harris, dokter saraf FKUI menawarkan metode deteksi baru migrain. Lebih akurat daripada metode konvensional?
Wartapilihan.com, Jakarta –-Penyakit ini sangat dekat dengan Anda. Gejalanya pun mirip dengan beberapa penyakit lain, seperti sakit kepala. Sehingga, ketika mengeluh sakit kepala, orang lain langsung menduganya terkena migrain. Padahal tidak semua orang yang sakit kepala itu berarti kena migrain. Bahkan dokter tak jarang salah mendiagnosa.
Kesalahan diagnosa dokter bisa jadi karena metodenya yang salah atau kurang akurat. Maka, Dr dr Salim Harris SpS tertantang untuk membuat metode baru. Ahli penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu membuat metode baru: Indeks vaskular migrain (IVM). IVM menggunakan doppler transkranial dengan modalitas ultrasonografi (USG).
Rumusan baru itu berhasil dipertahankan dalam promosi dokter Salim yang digelar di FKUI, Jalan Salemba, Jakarta Pusat Jumat (5/1/2018). “Rumus IVM yang kami ciptakan tersebut telah divalidasi dan mendapatkan pengakuan dari pemerintah untuk menjadi hak atas kekayaan intetektual (HAKI),” ujarnya dalam rilisnya.
Dalam membuat diagnosis, penilaian IVM dilakukan dengan menggunakan teknik ultrasonografi yaitu Doppler transkranial dengan cara menempelkan probe transducer berkuatan frekuensi 2 megahertz pada kepala bagian temporal pasien. Tujuannya, untuk menilai perubahan aliran pembuluh darah otak penderita terduga migrain dengan stimulasi menahan napas dan bernapas cepat, masing-masing selama 30 detik.
Menurut Salim, dengan aplikasi tersebut, data yang didapat dari pemeriksaan Doppler transkranial tersebut dapat menjawab apakah seorang terduga migrain benar-benar menderita migrain. Ini didasarkan atas aliran pembuluh darah otak pada penderita migrain terbukti tidak mampu melebar secara maksimal saat menahan napas dan mengecil lebih kuat saat bernapas cepat. “Itu bisa terjadi lantaran adanya kelainan genetik pada endotel pembuluh darah otak penderita migrain,” imbuhnya pada abstrak penelitiannya.
Dalam disertasinya, ia menjajal akurasi IVM pada 104 pasien terkonfirmasi migrain. Sebagai pembanding, ia juga melibatkan 24 pasien yang juga sudah terkonfirmasi tidak terkena migrain. Mereka dinilai dengan MFA-MCA (mean flow velocity-midlle cerebral artery). Melalui pemindaian doppler intracranial dengan bantuan USG terlihat hasil bahwa pasien yang terkonfirmasi migrain memiliki nilai MCAnya lebih rendah pada saat bernapas ketimbang yang bukan migrain. Dari situ ketahuan, tingkat akurasi atau sensitivitas IVM mencapai fi atas 90%.
Menurutnya, IVM lebih akurat ketimbang pedoman klasifikasi IHS (International Headache Society) yang selama ini dipakai dokter dalam mendeteksi migrain. IHS di Indonesia telah dimodifikasi Migraine Screen Questionnaire (MS-Q). IHS menggunakan metode kuesioner yang mengandalkan pada anamnesis, yaitu tanya jawab kepada pasien mengenai gejala yang dialami. Penentuan diagnosis dengan versi IHS ini, dinilai Salim, masih menimbulkan underdiagnosis sebesar 50%.
Metode diagnosa baru ini tentu membantu para dokter, terutama dokter saraf. Pasien akan semakin berkurang mengalami kesalahan diagnosa migrain. Maklum bukan penyakit biasa. Jumlan penderitanya pun tak sedikit. Hasil studi populasi yang pernah dilaksanakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehata, menunjukkan bahwa prevalensi penderita migrain di Indonesia mencapai 22,4%. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan migrain sebagai penyebab disabilitas ketujuh di dunia.
Pentingnya terapi migrain membuat sejumlah pihak menciptakan suplemen yang diklaim bisa menyembuhkan salah satu jenis sakit kepala itu. Bahkan dalam iklan tersebut ditampilkan gejala migrain yang mirip dengan sakit kepala umumnya. Antara lain seperti gejala nyeri sinus, nyeri kepala tipe tegang, dan nyeri kepala servikal.
Padahal migrain merupakan nyeri kepala primer sesisi, kedua sisi dan dapat pula tidak mempunyai spesifikasi dalam lokasi, umumnya sifat nyeri berdenyut. Tingkat keparahannya dapat dimulai dari sedang hingga berat, serta bisa disertai gejala mual dan/atau muntah, sensitif terhadap paparan cahaya atau suara. Jika sudah terkena dan pasien menjalani aktivitas fisik, gejala nyeri kepala akan bertambah parah.
Helmy K