Oleh: Herry M. Joesoef
Kejujuran adalah sarat utama seorang pemimpin. Ketidakjujuran pemimpin, dan para pendukungnya, mengantarkannya ke pintu neraka. Maka, sia-sialah “pengabdian”-nya selama menjadi pemimpin.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Dalam ajaran Islam, kepemimpinan mendapat perhatian yang utama. Level kepemimpinan berbeda-beda, tapi esensinya sama: mempertanggungjawabkan atas kepemimpinannya. Seorang ayah bertanggung jawab pada istri dan anak-anaknya, seorang ketua rukun tetangga bertanggung jawab atas kepemimpinannya dalam menjaga kerukunan antar tetangga, dan begitulah seterusanya. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar tanggung jawabnya.
Dalam Sahih Bukhari, secara jelas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendifinisikan tentang kepemimpinan ini.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ , فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ, وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ, وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ, وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
“Dari Abdullah, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggung jawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Kepemimpinan seseorang bisa membawanya menuju surga atau neraka. Hal ini bisa kita simak dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan dinarasikan oleh Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بـْنِ عَمْرٍو اَنَّ رَجُلاً جَاءَ اِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يـَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا عَمَلُ اْلجَنَّةِ؟ قَالَ: اَلصِّدْقُ. اِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ بَرَّ، وَ اِذَا بَرَّ آمَنَ، وَ اِذَا آمَنَ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قَالَ: يـَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا عَمَلُ النَّارِ؟ قَالَ: َالْكَذِبُ، اِذَا كَـذَبَ اْلعَبْدُ فَجَرَ، وَ اِذَا فَجَرَ كَـفَرَ، وَ اِذَا كَـفَرَ يَعْنِى دَخَلَ النـَّارَ. احمد
Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘nnhu, ia berkata: Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu bertanya: “Ya Rasulullah, apakah amalan surga itu?”
“(Amalan surga itu ialah) jujur. Apabila seorang hamba itu jujur berarti dia itu baik, apabila baik dia beriman, dan apabila dia beriman maka dia masuk surga.”
Orang tersebut bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apakah amalan neraka itu?”
“(Amalan neraka itu ialah) dusta. Apabila seorang hamba itu berdusta berarti dia durhaka, apabila durhaka dia kafir, dan apabila kafir maka dia masuk neraka.”
Begitulah nasib mereka yang suka berbohong. Kebohongan itu juga salah satu sifat dari orang munafik, sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan dinarasikan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.”
Salah satu saja dari tiga ciri tersebut ada pada diri seseorang, maka ia sudah munafik. Jika ketiga-tiganya dimiliki oleh seseorang maka ia adalah seorang munafik tulen. Artinya, tidak diragukan lagi kemunafikannya.
Lalu, bagaimana jika sifat bohong itu ada pada diri seorang pemimpin? Simak baik-baik sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dinarasikan oleh Ka’ab bin Ujrah Radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sungguh akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Siapa saja yang masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kedzaliman mereka, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan siapa saja yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedzaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).”(HR. Imam Ahmad dan Imam An-Nasa’i)
Di musim kampanye, jamak terjadi seorang calon pemimpin mengobral janji. Tidak ada hari tanpa janji. Jika sudah jadi, maka janji tinggallah janji …
Pemimpin yang mengobral janji dan ketika selama periode kepemimpinannya tidak bisa merealisir janji-janjinya itu tanpa ada penjelasan mengapa ia tidak bisa melaksanakannya, maka ia telah melakukan kebohongan publik. Cukup sekali saja pemimpin ini dipilih dan tidak untuk kedua kalinya. Memilih pemimpin yang jelas-jelas membohongi rakyatnya itu sama dengan mengajak bersama-sama menuju pintu neraka.
Karena itu, melakukan kontrak politik dengan seorang calon pemimpin itu penting, agar rakyat bisa mengawal kepemimpinannya. Terutama terhadap janji-janji politik yang telah dibuatnya. Wallahu A’lam Bishawab.