Pemilu untuk pemilihan legislatif (pileg) untuk anggota DPRD, DPD dan DPR RI masih tahun depan. Tetapi para anggota DPR tidak mau ketinggalan kesempatan untuk memulai menyiapkan pendekatan kepada para konstituennya (pemilihnya). Termasuk juga Misbakhum Anggota komisi XI DPR RI yang berkeliling ke daerah pemilihannya atau kampung halamannya di Probolinggo Jawa Timur.
Wartapilihan.com, Jakarta –Muhammad Misbakhum mengatakan, Probolinggo merupakan salah satu sentra penghasil tembakau terbesar di Jawa Timur. Propinsi Jawa Timur sendiri adalah kontributor terbesar cukai tembakau nasional dari total pendapatan Rp 154 triliun.
Politisi Partai Golkar ini mengingatkan petani tembakau memerlukan tata niaga tembakau guna melindungi hasil produksi mereka. Hal ini penting agar adanya hubungan yang saling menguntungkan antara petani tembakau dengan industri hasil tembakau.
Ia kembali menegaskan akan mengawal RUU Pertembakauan yang mengedepankan kepentingan petani tembakau. Menurutnya, persoalan tembakau jika hanya diseret pada permasalahan kesehatan saja, maka akan menimbulkan ketidakadilan. Namun apakah benar mengawal pembahasan RUU Pertembakauan dengan mengedepankan kepentingan kesehatan itu tidak adil?
Isu Tembakau: Ekonomi atau Kesehatan?
Menurut Azas Tigor Nainggolan, SH,Msi selaku Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) mengatakan, persoalan tembakau memang bukan hanya soal kesehatan yang berkaitan dengan industri hasil tembakau yakni salah satunya industri rokok.
“Persoalan besar dalam hal kesehatan ini adalah bagaimana mengendalikan dampak penggunaan hasil industri rokok terhadap kesehatan masa depan generasi bangsa ini. Jumlah perokok di Indonesia saat ini adalah 75 juta jiwa,” kata Azas prihatin, kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com), Selasa, (6/3/2018).
Terlebih lagi, angka prevalensi perokok di Indonesia bertambah 36,3% per tahun. Tak hanya itu, perokok di Indonesia mencapai ketiga terbanyak di dunia setelah Cina dan India.
“Begitu pula para perokok di Indonesia ini setidaknya 70% adalah rakyat miskin. Melihat ini jelas bahwa bahwa mengawal pembahasan RUU Pertembakauan juga dan tidak salah jika mengedepankan kepentingan kesehatan bangsa ini. Pertimbangan mengedepankan kesehatan jadi sangat penting terkait dengan masa depan bangsa Indonesia yang sehat,” lanjut Azas.
Berbicara di hadapan ratusan petani tembakau di Wonomerto, Probolinggo yang diakui sebagai konstituennya, Misbakhun menyebut bahwa tembakau adalah komoditas pertanian yang sudah turun temurun dibudidayakan oleh masyarakat, sebagaimana masyarakat petani tembakau di Probolinggo yang menyangkut masalah ekonomi dan budaya yang tidak bisa begitu saja dinafikan.
Menurut Azas, argumentasi Misbakhum dapat dibenarkan bahwa kepentingan ekonomi petani tembakau perlu dilindungi dan negara harus hadir memberikan perlindungan kepada petani tembakau.
Probolinggo sebagai salah satu sentra penghasil tembakau, maka menjadi urgen untuk perlindungan petani tembakau. Menurut Misbakhum perlu diatur tata niaga tembakau terutama import untuk melindungi petani tembakau.
“Tapi, pendapat Misbakhum ini seolah hendak mengatakan bahwa import tembakau menjadi salah satu masalah ekonomi bagi petani tembakau. Seolah-seolah import tembakau telah merugikan atau membuat tembakau hasil petani lokal tidak dibeli akibat pemerintah memberi izin import tembakau bagi kebutuhan industri rokok.
Seolah-olah dalam hal ini pemerintah yang salah dan industri rokok baik hati atau pahlawan bagi petani tembakau. Industri rokok menjadi pahlawan karena dibutuhkan oleh petani tembakau,” terangnya.
Jika hendak melihat peta perkembangan produksi tembakau lokal dan kebutuhan industri rokok di Indonesia, kebutuhan tembakau bagi industri rokok Indonesia saat ini adalah 330 ribu ton pertahun. Sementara itu produksi tembakau petani Indonesia baru berkisar 180-190 ribu ton pertahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester I 2017 impor tembakau mencapai 252,6 juta dollar AS dengan volume 50.700 ton. Mengalami kenaikan jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya hanya 241,6 juta dollar AS dengan volume 37.600 ton.
“Untuk menutupi kebutuhan tembakau bagi industri rokok di Indonesia, dilakukan impor tembakau dari lima negara, China yang merupakan paling banyak volume impornya, hingga semester I di 2017 mencapai 24.300 ton atau 101,8 juta dollar AS,” imbuhnya.
Ia menambahkan, tidak ada alasan mengatakan bahwa import tembakau yang diizinkan pemerintah membuat persoalan ekonomi bagi petani tembakau. Justru karena produksi petani tembakau lokal masih rendah dan kurang menjadi pilihan bahan produksi industri rokok Indonesia.
“Jadi, tidak ada hubungan antara pembahasan RUU Pertembakauan dengan soal kebutuhan industri rokok. Justru persoalannya adalah industri rokok sekarang ini lebih menyukai tembakau import karena kualitasnya bagus dan terjamin ketersediaannya,” tukasnya.
Menurutnya, bukan kepentingan buruh rokok yang terpenuhi di sini, melainkan industri rokok itu sendiri.
“Keberadaan produksi industri rokok jelas adalah soal rokok yang merupakan produk yang mengandung sekitar 4000 racun berbahaya mematikan. Nah jelas seharusnya RUU Pertembakauan juga harus mempertimbangkan kepentingan perlindungan hak kesehatan masa depan bangsa Indonesia,” ia menekankan.
Mempersoalkan kepentingan petani tembakau dalam pembahasan RUU Tembakau sebenarnya adalah klise untuk kepentingan tersembunyi melindungi bisnis industri rokok, ia memaparkan.
“Untuk Pemilu mendatang jelas parpol dan politisi butuh uang dan pengusaha siap bantu, jualannya adalah RUU Tembakau.
Artinya pembahasan RUU Pertembakauan atau RUU Tembakau bisa mempertemukan kepentingan politik parpol atau anggota DPR dengan industri rokok,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini