Pengaturan ini penting untuk memastikan keterlibatan TNI ini terukur dan terarah, dengan target yang jelas. Berapa personel, persenjataan, dari kesatuan apa, mobilisasi, komando dan anggarannya harus jelas, tidak dadakan dan agar tidak serampangan.
Wartapilihan.com, Jakarta- Setelah melalui jalan panjang berliku, akhirnya pada Jumat (24/5), DPR RI mensahkan Undang-Undang Terorisme pada Rapat Paripurna. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta, menyambut positif disahkannya RUU tentang perubahan atas UU no 15 tahun 2003 menjadi UU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Banyak kemajuan dan catatan positif terkait pemberantasan terorisme.
“Pemerintah diberikan kewenangan menindak tegas terorisme. Warga negara dilindungi dari tindak terorisme, tetapi juga ditekankan prosedur yang ketat dan pengawasan yang kuat terhadap kewenangan aparat keamanan ini, sehingga semaksimal mungkin mencegah abuse of power,” ujar Sukamta kepada Warta Pilihan di Jakarta, Sabtu (26/5).
Sekretaris Fraksi PKS ini menambahkan hal yang tidak kalah pentingnya adalah dilibatkannya TNI di dalam penindakan terorisme yang diatur pada pasal 43 (i). TNI secara nyata memang perlu terlibat ketika kualitas dan kuantitas teror sudah sistematis, bersenjata dan membahayakan negara dan masyarakat.
Seperti teroris bersenjata yang masuk hutan, menyandera warga atau aparat, pembajakan angkutan umum dan jenis-jenis teror lain yang skalanya perlu diatasi dengan angkatan bersenjata.
“Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Hanya saja tentang teknis pengaturan keterlibatan TNI ini diamanahkan oleh kedua UU untuk diatur lebih lanjut di dalam PP (peraturan pemerintah),” jelasnya.
Menurut Sukamta, pengaturan ini penting untuk memastikan keterlibatan TNI ini terukur dan terarah, dengan target yang jelas. Berapa personel, persenjataan, dari kesatuan apa, mobilisasi, komando dan anggarannya harus jelas, tidak dadakan dan agar tidak serampangan.
“PP ini penting dan mendesak karena tuntutan situasi terkini di tanah air maupun perubahan lanskap geopolitik dan pergerakan terorisme global. Seperti pergerakan eks kombatan ISIS yang keluar dari suriah. Jangan sampai negara terlambat dan gagal mengantisipasi. Cukuplah kejadian di Marawi Filipina sebagai pelajaran,” terang Sukamta.
“Dengan demikian, Presiden tidak perlu membuat Perppu, karena pengesahan revisi tadi sudah sesuai dengan semangat Presiden untuk memberantas terorisme. Yang diperlukan segera adalah membuat PP tadi, sehingga kita harapkan aparat bisa segera siap bekerja dengan baik dan benar,” tandas wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Sementara itu, pengamat terorisme Harits Abu Ulya menuturkan, UU terorisme yang baru disahkan terdapat kemajuan, yakni dipoint utama soal rumusan definisi terorisme yang lebih baik dari sebelumnya.
“Kita berharap frase-frase dalam definisi itu konstruksi redaksionalnya jelas, terukur, tidak ambigu dan tidak multitafsir,” kata Harits kepada Warta Pilihan, Sabtu (26/5).
Diluar soal definisi, lanjutnya, masih ada pasal yang berpotensi melahirkan gugatan ke MK dari komponen yang kontra terhadap substansi UU tersebut. Seperti lamanya masa penahanan dan frasa “radikal/radikalisme”.
“Bahkan sejatinya suatu saat nanti Undang-Undang tersebut juga bisa masuk kembali program legislasi untuk di revisi. Dan itu wajar karena isu dalam ruang politik keamanan sangat dinamis berkembang,” paparnya.
Dikatakan Harits, kontra terorisme bukan hanya soal penguatan regulasi. Dengan UU baru tidak otomatis akan mampu meminimalisir terorisme secara drastis.Menurut dia, fenomena terorisme tetap dengan kompleksitasnya, tidak ada faktor tunggal yang menjadi pemicunya.
“Sekalipun di Indonesia misalkan tumbuh kelompok dengan pemahaman yang dianggap radikal dan mengambil metode fisik sebagai manhaj perjuangannya, tetap saja variabel pelengkapnya harus ada untuk bisa memunculkan sebuah aksi yang kemudian di cap sebagai terorisme,” tutur Harits.
Kompleksitas tersebut seperti adanya faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.
“Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global (Global injustice), politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (sebab unipolar),” Harits menerangkan.
Selain itu, adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
“Maka menangani semua faktor tersebut tidak cukup hanya dengan UU. Butuh pendekatan yang komprehensif dari hulu sampai hilir dan obyektifitas,” ungkapnya.
“Saya pikir tidak ada Undang-Undang produk akal manusia itu sempurna, begitupun UU Terorisme. Secara substansi baik tapi bisa jadi implemantasi dilapangan berjalan bias,” imbuhnya.
Karena itu, rekomendasi UU yang baru soal tim pengawas seperti yang tertuang pada bagian Ketiga yaitu Pengawasan:
Pasal 43J(1) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme.(2) Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
“Kita berharap bentuknya seperti komisi independen yang punya peran vital melakukan kontrol monitoring agar semua proyek kontra terorisme itu berjalan on the track, profesional, terukur, transparan, proporsional, sesuai kaidah hukum dan obyektif dan akuntable. Di isi orang-orang yang berkompeten, kredibel, amanah, dan melalui uji fit and propertes,” harapnya.
Ahmad Zuhdi