Pemberantasan korupsi di Indonesia berada di persimpangan jalan setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi atas pasal 79 Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Putusan MK diwarnai dissenting opinion menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk cabang lembaga eksekutif, sehingga DPR berhak untuk meminta pertanggungjawaban KPK dalam bentuk hak angket.
Wartapilihan.com, Depok –Permasalahan itu mengemuka dalam diskusi Center for Strategic Development Studies(CSDS) tentang “Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” di gedung MITI Center, Depok. Hadir sebagai narasumber adalah Abdullah Hehamahua (mantan Wakil Ketua KPKPN dan Penasehat KPK RI), Suwidi Tono (Pendiri Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi), dan Mustafa Fakhri (Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara UI).
Fungsi lembaga negara memang telah berkembang, tak hanya terbatas trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Tetapi juga meliputi fungsi pengawasan (oversight) dan audit. “Lazimnya lembaga negara independen hadir pada ranah eksekutif dengan kewenangan dan fungsi melaksanakan UU serta membentuk regulasi, baik mendapatkan delegasi secara langsung dalam UU maupun tidak,” ujar Mustafa Fakhri dalam sebuah diskusi di Depok (21/2). KPK RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum, memiliki dua kaki, yakni pada cabang eksekutif dan kekuasaan yudisial.
Karena itu, aspek kinerja KPK yang dapat diawasi DPR hanya kaki yang berada di ranah eksekutif. Sementara aspek yudisial, tidak dapat diintervensi kekuasaan manapun, karena independence of judiciary itu muncul sejak penetapan KPK atas seseorang sebagai tersangka pidana korupsi (diatur khusus dalam UU Tipikor). “Karenanya keliru ketika Ketua MK menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga di ranah eksekutif yang melaksanakan fungsi penyidikan dan penuntutan. Justru itu termasuk ranah yudisial yang tidak boleh diintervensi,” tegas Mustafa, yang menamatkan pendidikan pascasarjana di Northwestern University.
Aktivis GAK Lintas PT, Suwidi Tono, melihat tafsir MK saat ini berbeda dengan putusan MK tahun 2006 yang menyatakan KPK bagian dari yudikatif dan bersifat independen. Pasca reformasi terjadi perubahan paradigma yang menegaskan korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya menyangkut seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. “Karena itu, pemberantasan korupsi juga harus menempuh cara luar biasa, salah satunya dengan memunculkan lembaga independen KPK. Terbukti selama ini kasus yang ditangani KPK divonis peradilan dengan tingkat keyakinan tinggi,” ungkap Suwidi.
Pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi tantangan super berat dan jalan terjal, karena UU Tipikor belum menjangkau semua institusi dan sektor. Masih banyak yang belum tersentuh KPK, sehingga perlu ditetapkan prioritas. “Kapasitas KPK dari segi tenaga penyidik dan anggaran juga sangat terbatas. Anggaran KPK hanya Rp 790 miliar, bandingkan dengan anggaran Polri Rp 100 triliun dan Kejaksaan Rp 6,7 triliun. Aparat KPK hanya ada di pusat dan tidak sampai ke daerah-daerah yang kini menjadi pusat endemi korupsi,” Suwidi menjelaskan.
Peneliti CSDS dan sekaligus moderator diskusi, Sapto Waluyo, memandang putusan MK merupakan langkah mundur karena terkesan melayani kepentingan politik tertentu, bukan berdasarkan pertimbangan hukum murni. Independensi KPK termaktub dalam Pasal 3 UU KPK Nomor 30 tahun 2002 yang menegaskan bahwa KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya terbebas dari pengaruh manapun.Hal itu diperkuat oleh UN Convention Against Corruption tahun 2003 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “UU KPK menyatakan tanggung-jawab KPK kepada publik dengan memberikan laporan kepada Presiden dan DPR Ri. Hal itu yang membedakan KPK RI dengan ICAC Hongkong (bertanggung-jawab kepada Chief Executive) atau ICAC Australia (bertanggung-jawab kepada Parliamentary Joint Committee),” Sapto membeberkan. Keunikan KPK menjadi perbincangan internasional.
Sapto sedang melakukan riset tentang transformasi aktor antikorupsi yang antara lain menemukan fakta hadirnya lembaga independen seperti KPK (2002) membuka ruang partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi. “Sejumlah kasus yang ditangani KPK berasal dari pengaduan publik,” simpul Sapto. Karena itu yang harus ditingkatkan adalah kapasistas SDM dan prosedurpengawasan KPK serta jejaring kolaborasi antikorupsi, bukan memperlemahnya dengan tekanan politik. []
Izzadina/Zuhdi