Masyarakat Irama Jantung Indonesia membuat program pelatihan singkat soal aritmia. Penderitanya banyak, tapi pelayanan masih rendah. Peralatan ablasi belum banyak tersedia dan cakupan BPJS Kesehatan terhadap layanan aritmia belum memadai.
Wartapilihan.com, Jakarta –Masyarakat Irama Jantung Indonesia (InaHRS) melakukan terobosan baru. Organisasi yang dipimpin oleh Profesor Dr dr Yoga Yuniadi SpJP itu membuat program yag diberi nama Integrated Implater Crash Program (I2CP). Hal itu diutarakannya dalam jumpa pers yang digelar di Rumah Sakit Jantung & Pembuluh Darah Harapan Kita, Slipi, Jakarta Barat (10/82017).
I2CP merupakan pogram pelatihan kilat untuk dokter yang ahli melakukan implantasi dalam penanganan penyakit jantung. Pelatihan itu meliputi internet based learning selama sepekan, worksop dan wet lab, dan pengawasan (proctorship) di masing-masing peserta. “Dengan metode ini, dihasilkan 92 implanter baru dan 86 di antaranya sudah aktif melakukan implantasi alat pacu jantung,” kata Yoga. Ia optimistis pada 2030 sudah dihasilkan 100 dokter subspesialis aritmia yang aktif dan memberikan pelayanan yang lebih baik.
Program tersebut dibuat lantaran jumlah dokter supspesialis masih minim. Yoga menyebutkan bahwa dari 1.000 dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah yang ada, baru 28 orang yang memperdalam dan berhasil menjadi dokter subspesialis aritmia.
Yoga mengaku bahwa ilmu aritmia seringkali dianggap sulit dipelajari. Peserta subspesialis harus memahami mekanisme kerja jantung secara virtual. “Ini membuat aritmia unik dan membutuhkan upaya lebih banyak untuk mempelajarinya,” ujarnya. Kecuali itu, apresiasi yang diterima masih dirasakan tidak sepadan jika dibandingkan dengan tingkat kesulitan dan risiko yang dihadapi seorang artimolog.
Padahal, gangguan artimia atau irama jantung cukup banyak kasusnya. Fibrilasi atrium (FA) merupakan salah jenis penyakit aritmia yang kerap ditemukan di klinik atau rumah sakit. Bahkan kasus stroke yang diderita pasien sebenarnya merupakan manifestasi pertama dari FA. Prevalensinya mencapai 1-2%, dan diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa tahun akan datang.
Penyakit aritmia bisa diatasi dengan pemasangan alat pacu jantung tetap (pacemaker). Cuma masalahnya, pasien yang menjalani implantasi alat tersebut masih terbilang rendah, yaitu hanya 2 per sejuta penduduk. Prevalensi ini jauh di bawah Singapura yang penduduknya lebih kecil dari Indonesia. Di negeri Singa, pemasangan alat pacu sudah dikerjakan pada 185 pasien.
Thailand menempati posisi kedua dengan 59 pasien, dan Malaysia sebesar 39 pasien. Bahkan Indonesia masih kalah dibandingkan Filipina dan Myanmar. Di dua negara jiran tadi angka pemasangan alat pacu jantung berturut-turut sebanyak 9 dan 6 kasus per 1 juta penduduk.
Banyak faktor yang menyebabkan masih rendahnya pasien yang memakai alat pacu jantung tetap. Salah satunya adalah ketiadaan alat yang memadai dalam pelayanan aritmia. Menurut Yoga, dari 28 dokter subspesialis aritmia, hanya separonya yang benar-benar aktif melakukan tindakan ablasi takiaritmia. “Tidak semua rumah sakit memiliki alat ablasi,” ujarnya. Beruntung, organisasi profesi dan sektor bisnis bisa berkolaborasi dengan melakukan peminjaman mesin ablasi oleh prinsipal kepada InaHRS. Alat tersebut dipakai secara bergilir oleh rumah sakit yang tak punay alat ablasi, namun sudah memiliki dokter subspesialis aritmia dan mesin angiografi.
Takiaritmia adalah gangguan pada sistem konduksi listrik jantung dimana jantung berdetak sangat cepat, sedangkan ablasi takiaritmia merupakan tindakan operasi dengan memasukkan kateter ke dalam jantung. Kateter dihubungkan dengan mesin khusus yang dapat memberikan energi listrik untuk memutus atau membakar jalur konduksi atau bagian aritmia yang menimbulkan ketidaknormalan listrik jantung.
Selain itu, Yoga juga menyoal soal kepedulian manajemen rumah sakit terhadap penyakit tersebut. Ini disebabkan manajemen rumah sakit tertentu belum memahami tentang epidemiologi dan konsekuensi aritmia jika tidak ditangani segera.
Kendala lain yang juga dirasakan di lapangan, kepedulian BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan terhadap layanan aritmia. Yoga menilai tarif yang diterapkan BPJS masih tidak memadai di seluruh layanan kesehatan. “Misalnya, belum ada sistem pengelompokan dan koding khusus untuk tindakan di bidang aritmia,” sambungnya.
Untuk mengatasi berbagai keterbatasan tersebut, peran masyarakat menjadi lebih penting. Pasien perlu mengetahui gejala-gejala aritmia. Tujuannya, bila menemukan gejala-gejala aritmia, pasien segera ke dokter, termasuk dokter spesialis jantung atau subspesialis aritmia. Sehingga penangannnya menjadi lebih cepat serta harapan hidupnya menjadi lebih panjang. Adapun beberapa gejalanya adalah berdebar, keleyengan, pingsan, stroke bahkan kematian.
Helmy K