Islam sebagai umat mayoritas di bumi Indonesia jamak dijadikan komuditas untuk kepentingan politik. Diperlukan pejuang, bukan pedagang umat.
Wartapilihan.com, Jakarta –Sebahagian di kalangan aktivis Islam, Jalan Kramat Raya No 45 Jakarta Pusat sudah tidak asing lagi, karena dahulu merupakan pusat berkumpulnya para tokoh-tokoh Masyumi, seperti; M Natsir, KH. Isa Anshary, Prawoto Mangkusasmito, Hamka, Yunan Nasution, Rusyad Nurdin, Mohamad Roem, Syafruddin Prawiranegara, H.M Rasjidi, Kasman Singodimedjo, KH. Taufiqurrahman, Osman Raliby, Buchari Tamam, Anwar Harjono, dan sebagainya.
Tepatnya sekitar sembilan tahun yang lalu, dalam suatu obrolan santai, tiba-tiba seorang kawan nyeletuk: “Mau tahu nggak cara gampang menjadi tokoh tenar?” “apa?’’ Tanya beberapa dari kami. “gampang, jualan umat saja”, katanya sambil penuh tertawa. Kami pun lantas ikut tergelak mendengar ‘guyonan’ tersebut.
Namun, benarkah ungkapan diatas sekedar guyonan belaka? Bila kita mencermati berbagai peristiwa mutakhir yang terjadi sambung menyambung, nampaknya tidak. Meski diucapkan sambil tertawa, pernyataan tersebut sesungguhnya mencerminkan dua hal sekaligus. Pertama, fenomena “Jualan Umat” itu memang sedang dan bahkan sudah lama terjadi. Kedua, fenomena itu adalah sesuatu yang amat pahit, karena itu lebih enak tampil berupa guyonan. Dengan cara itu, kepahitan itu dirasakan sedikit berkurang. Persis seperti orang Betawi yang menjadikan gurau sebagai canda dan perlawanan terhadap penggusuran habis-habisan yang mereka alami.
Jualan umat, tentu tidak dapat dilepaskan dari simbol-simbol Islam. Sebab, hanya Islamlah identitas yang mampu mengikat umat dari beragam suku dan budaya menjadi satu. Karena itu, tak heran bila para ‘pedagang’ umat selalu menjadikan simbol-simbol Islam sebagai merek dagang unggulan. Dari simbol-simbol fisik seperti bendera dan papan nama, sampai retorika dan isu. Apalagi eksploitasi simbol dan isu yang berbau Islam itu terbukti ampuh membangkitkan sentimen umat Islam. Tujuannya satu: meraih kedudukan, pangkat, ketenaran, dan umumnya kekayaan. Maka Islam dan umat Islam tak lebih sekedar dijadikan alat untuk mencapai tujuan.
Celakanya, tak mudah mengenali jati diri para pedagang umat itu. Sebab, dalam hampir semua peristiwa, mereka tampil bak pejuang sejati. Pidato, Khotbah, dan retorikanya penuh ungkapan pembelaan terhadap Islam dan Muslimin. Bahkan ditumbuhkan kesan merekalah orang yang paling peduli dengan Islam dan umat. Untuk lebih meyakinkan khalayak, merekapun bergabung dalam lembaga-lembaga sosial atau politik bernuansa Islam atau rajin menyebut-nyebut kedekatannya dengan ‘ulama dan tokoh tertentu yang dikenal luas sebagai pemimpin umat.
Identifikasi menjadi kian sulit lantaran tak sedikit dari mereka yang sewaktu muda memang dikenal sebagai aktivis Islam atau keturunan maupun kerabat dekat para ‘ulama dan pemimpin Islam. Pendeknya, mereka punya modal cukup untuk tampil sebagai ‘pejuang’ Islam sejati, dan karenanya mendapat kepercayaan dari umat. Dan dengan kepercayaan yang berhasil diraihnya itu, ia mempunyai bargaining position (posisi tawar) yang cukup kuat untuk meraih kursi, kedudukan atau kekayaan. Lantas, bisakah kita mengenali mereka? “Bisa”, begitu pandangan Dr. H. Abdullah Hehamahua ketika menyampaikan pesan kepada para generasi muda. Untuk mengenali apakah seseorang itu benar-benar pejuang Islam sejati atau sekedar Islam slogan, tokoh perancang anti Risywah di Indonesia yang tokoh-tokoh Masyumi itu memberikan beberapa resep.
Pertama, lihat shalatnya. Seorang pejuang Islam sejati pasti akan senantiasa memelihara shalatnya. Ia akan selalu berusaha menyempatkan diri sholat tepat pada waktunya. Seperti pesan Buya A. Gaffar Ismail Allahuyarham “Berdirilah sholat ketika engkau mendengar panggilan, apapun situasinya”. Setidak-tidaknya, ia berusaha keras untuk memenuhi pesan itu. Jadi, sambung Pak Dullah sapaan akrabnya itu, kalau ada orang yang mengesankan pejuang Islam, tapi bermalas-malasan menunaikan shalat, apalagi sholatnya sering bolong bolong, maka patut diragukan kesejatiannya. Karena, bukankah sholat itu amalan pertama yang kelak akan dihisab Allah Swt dihari kiamat?
Kedua, periksa kedekatannya dengan Al-Qur’an. Apakah ia dapat membaca Al-Qur’an atau tidak, dan seberapa kerap ia membaca kitab suci itu. Pejuang Islam sejati pasti dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, sekurang-kurangnya selalu berupaya keras kearah itu. Disisi lain, seorang pejuang Islam sejati tentu akan berusaha sesering kali membaca Al-Qur’an (termasuk maknanya), karena Al-Qur’an itulah sumber petunjuk dan inspirasinya. Jadi kalau seseorang Islam mengaku pejuang islam, tapi tak berusaha keras dapat membaca Al-Qur’an dengan baik, atau malas membacanya, patut dipertanyakan kesejatiannya. Sebab, bagaimana mungkin ia memperjuangkan islam sedangkan dirinya sendiri jauh dari rujukan utama islam itu sendiri. Padahal Allah SWT telah menegaskan “Dan sungguh telah kami mudahkan Al-Qur’an itu untuk pelajaran”. Penegasan Allah Swt itu dinyatakan empat kali berturut-turut dalam Q.S Al-Qamar; 17, 22, 32, dan 40.
*Ketiga,*periksa apakah bisnis dan sumber ekonominya berkaitan dengan riba dan sesuatu yang diharamkan Islam. Seorang pejuang Islam sejati tak ingin hartanya bercampur dengan sesuatu yang haram, baik menyangkut esensi maupun cara. Ia sadar benar, sesuatu yang haram atau didapat dengan cara haram-seperti riba, suap, korupsi—itu semua hanya membuat do’anya terhalang sampai kepada Allah Swt. Dan kalau do’anya tak sampai kepada Allah, bagaimana mungkin ia mendapat pertolongan Allah? Padahal, usaha memperjuangkan Islam bakal berhadapan dengan sederet kendala, ujian, dan cobaan. Dan hanya Allah Swt saja yang dapat menolong mengatasi segala kesulitan dan rintangan tersebut. Sedangkan pertolongan Allah akan datang melalui do’a yang dilantunkan hamba-Nya.
Keempat, lihat kehidupan keluarganya. Apakah sudah sesuai dengan tuntunan Islam atau tidak. Setidaknya berusaha mewujudkan nilai-nilai Islam. Kehidupan keluarga ini bisa dilihat dari cara mendidik anak, cara berpakaian, serta gaya hidup. Seorang pejuang Islam sejati tak akan hidup bermewah-mewahan, karena ia tahu bahwa itu perilaku setan. Apalagi, ia tahu persis jutaan saudaranya hidup dalam kemiskinan dan nestapa. Jadi kalau ada seseorang yang mengaku pejuang Islam, tetapi bergaya hidup boros, mewah alias borjuis, patut diragukan kesejatiannya.
Kelima, periksa _Track Record_nya (catatan prestasi dan aktivitasnya). Adakah ia seorang yang sejak awal tak pernah putus dari barisan Islam, atau sosok yang ujug-ujug nongol ke permukaan. Kalau ia seorang pendatang baru, teliti dengan seksama apakah ia sudah benar-benar bertaubat dari kesalahan. Caranya, periksa lima kriteria diatas, orang yang benar-benar bertaubat pasi akan berusaha keras meninggalkan segala prilaku buruknya. Bahkan dalam banyak hal, amal dan kesungguhan seorang “Muallaf” jauh lebih ketimbang orang lama. Maka, kalau ada pendatang baru, sementara kelakuannya tak berubah dari lagu lama, patut diwaspadai.
Meski belum lengkap, kelima tolak ukur diatas agaknya cukup valid untuk memeriksa apakah seseorang itu pejuang umat atau pedagang umat. Lalu pertanyaannya: Termasuk yang manakah kita? Wallahu a’lam bishshawab.
Hadi Nur Ramadhan, Founder Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun