Pasal Karet Ujaran Kebencian Menjerat Aktivis Islam

by
Para anggota MCA yang ditangkap polisi. Foto : VIVA

Aktivis Islam di sosial media terus ditangkapi polisi. Setelah Alfian Tanjung, Jonru, Asma Dewi dan Saracen, kini kelompok Muslim Cyber Army diancam kerangkeng besi. Mengapa pasal karet ujaran kebencian hanya membidik aktivis-aktivis Islam?

Wartapilihan.com, Jakarta – Fadli Zon meradang, Pengungkapan kasus Muslim Cyber Army (MCA) oleh polisi dinilainya dapat mematikan demokrasi. “Ini adalah upaya untuk mematikan demokrasi. Harus betul-betul dicek apa yang dimaksud dengan hoax. Apakah ini bagian dari kebebasan berpendapat atau apa,” kata Fadli di Jakarta (1/3).

Fadil menjelaskan Pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang berbunyi, “Barang siapa secara melawan hukum mentransmisikan sebuah informasi elektronik yang menyebabkan rasa kebencian dan permusuhan yang mengandung unsur sara, dipidana. Begitu bunyinya kurang lebih.”

Para anggota MCA itu dikenakan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan atau Pasal juncto Pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 33 UU ITE.

Fadli menilai, respons berbeda terjadi dengan yang melakukan kritik pada pemerintah. Menurut Fadli, pihak yang mengkritik pemerintah lebih cepat ditangkap. Sementara ketika pihak oposisi pemerintah melakukan pelaporan pada polisi, tindak lanjutnya tidak dilakukan segera.

Fadli mencontohkan kasus yang dilaporkan terkait upaya ancaman pembunuhan melalui akun Twitter terhadap dirinya tahun lalu.

“Saya sampaikan kepada Kapolri. Saya laporkan hampir satu tahun ya ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh saudara Nathan sampai sekarang belum jelas ini akan ditindaklanjuti pihak polisi dan saya sudah komunikasi,” kata Fadli.

Beda Fadli, beda Projo. Relawan Projo selalu aktif memantau media sosial. “Kita selalu melaporkan, memantau, dan melihat. Beberapa melakukan langkah hukum. Misalnya kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi,” ujar Ketua DPP Projo, Budi Arie Setiadi, kepada detikX, 26 Agustus 2017 lalu.

Selain melapor ke polisi, Projo melakukan perlawanan terhadap serangan para haters Jokowi itu lewat akun Facebook Projo. Mereka menyebarkan meme tandingan untuk meluruskan isu tak benar guna menjatuhkan pamor Jokowi.

Budi juga menyesalkan tindakan sekelompok aktivis di medsos yang menyebarkan isu-isu SARA, seperti Saracen. Menurut Budi, pasukan medsos Projo mungkin akan ditambah menjadi 50 orang menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Polisi juga sigap mendukung terhadap hal-hal seperti ini. “Jadi, kami melaksanakan undang-undang saja. Ya kan mengkritik sama menyebarkan informasi yang bernuansa SARA, kebencian, kan berbeda. Kami itu hanya melakukan tindakan hukum sesuai aturan undang-undang,” jelas Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran tentang penangkapan MCA.

Hal yang berbeda diungkap aktivis media sosial Mustofa Nahrawadaya. Mustofa mengaku dirinya adalah bagian dari Muslim Cyber Army. Bukan hanya dirinya, MCA terdiri dari banyak aktivis muslim di media sosial yang bertugas memerangi berita palsu atau hoaks yang berkembang di dunia maya. “Saya MCA, pokoknya semua aktivis muslim di dunia maya,” kata Mustofa kepada CNN Indonesia.com.

Namun MCA tidak berbentuk sebuah lembaga. Karena itu, pengurus PP Muhammadiyah ini mempertanyakan jika ada orang yang mengaku atau dicap sebagai pimpinan Muslim Cyber Army. Ia juga berani memastikan bahwa mereka yang ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri bukan anggota atau aktivis MCA meski mereka menamakan diri The Family MCA.

Ia menegaskan MCA hanya sebuah komunitas dunia maya yang tak punya bentuk lembaga atau kepengurusan. Komunitas MCA terbentuk saat kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengemuka dan ketika Ahok dicalonkan menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi.

Mudahnya polisi menangkap aktivis Islam dengan tuduhan pasal ujaran kebencian dan penghinaan ini juga mendapat kritik keras dari pengacara senior Mahendradatta. “Kelihatannya Pasal “Penghinaan” perlu memperoleh batasan hukum yang jelas, bukan sekedar perasaan. Karena sensitivitas orang berbeda-beda dan utamanya janngan sampai kritik diberangus dengan alasan menghina,” kata pengacara yang juga kader Gerindra ini.

Hal yang senada juga diungkap oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI menyayangkan banyaknya kriminalisasi terhadap opini dari masyarakat yang mengkritisi pemerintah. AJI menyebut implementasi UU ITE rawan penyelewengan.

“Ini memang sangat mengkhawatirkan, ini mirip kembali ke Orde Baru. Di mana setiap ada ujaran yang kritis kemudian dengan gampang dipolisikan dengan UU ITE. Sekarang UU ITE menjadi UU baru yang pasal-pasalnya karet dan represif,” kata Ketua AJI Suwarjono.

Suwarjono heran dengan setiap status yang menyinggung pemerintah dengan mudahnya dapat dilaporkan. Dirinya juga menyayangkan percakapan pribadi melalui aplikasi online yang juga bisa dijerat dengan UU tersebut. “Kami khawatir karena semua tindakan ujaran di Twitter, Facebook, di Instagram, bahkan di grup-grup percakapan WA yang pribadi bisa masuk ke sana (UU ITE),” ujarnya.

Pendapat yang senada diungkapkan Forum Jurnalis Muslim. Forjim mengkritisi pasal penghinaan kepada presiden yang diangkat kembali dalam RKUHP. “Kami meminta kepada anggota DPR dan pemerintah untuk menghilangkan pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang penghinaan presiden,” tutur Dudy Sya’bani Takdir dalam Mukernas di Lombok 21 Februari lalu.

Dalam RKUHP, pasal penghinaan presiden diatur dalam pasal 239 ayat (1). Di situ disebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang menghina presiden dan wakil presiden akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp500 juta). Sementara itu, dalam pasal 239 Ayat (2) disebutkan bahwa perbuatan itu tidak merupakan penghinaan jika “jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri”.

Ia mengatakan, pasal penghinaan presiden mirip dengan pasal 134, pasal 136, dan pasal 137 KUHP terdahulu. Pasal ini sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini Indonesia yang berbentuk Republik dan menganut asas demokrasi. Aturan ini menurut Ahli Hukum Tata Negara awalnya adalah adaptasi dari hukum Belanda, yaitu penghinaan terhadap keluarga kerajaan.

Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu, melalui putusannya telah membatalkan norma penghinaan kepada Presiden dalam KUHP ini. Selain itu, presiden sebenarnya bukanlah simbol negara, karena berdasarkan UU 24/2009, yang dimaksud dengan simbol negara adalah bendera, bahasa dan lambang negara Pancasila.

“Pasal ini juga dapat menghambat bagi kemerdekaan pers yang merupakan cita-cita bersama masyarakat Indonesia. Karena para wartawan dalam tugasnya, seringkali melakukan kritikan tajam kepada presiden atau wakil presiden yang tidak serius mengurus rakyatnya,” terang Dudy.

Pasal penghinaan kepada pejabat negara dan ujaran kebencian adalah pasal karet. Ia bisa menjerat kepada kelompok yang dianggap berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Apalagi waktu-waktu ini dekat dengan Pemilu 2019. Penangkapan aktivis-aktivis Islam di medsos, dapat dimaknai pemerintah sedang ketakutan menghadapi opini pihak oposan menjelang Pemilu 2019 nanti.

Pasal yang menjerat aktivis ini nampaknya mirip dengan pasal karet UU Subversif Orde Lama dan Orde Baru. Kenapa ketika masa Presiden SBY, UU ITE hampir-hampir tidak membawa korban? DPR perlu segera merevisi pasal-pasal ini agar masyarakat tidak dihantui ketakutan dalam menyampaikan pendapat dan kritik kepada presiden dan masalah di sekitarnya. Wallahu azizun hakim. II

Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *