Neraka Di Bumi Ghouta

by
foto:https://www.aljazeera.com

Serangan terus berlanjut di Ghouta Timur, sementara seruan gencatan senjata belum juga terwujud. Serangan tentara Suriah ini disebut oleh Antonio Guterres sebagai “neraka di bumi”.

Wartapilihan.com, Ghouta Timur –Serangan yang terus berlanjut oleh pasukan pemerintah Suriah dan sekutunya telah menciptakan “neraka di bumi” bagi warga sipil yang terjebak di daerah pinggiran Damaskus yang terisolasi, kepala PBB mengatakan pada hari Senin (26/2), saat serangan udara dan operasi darat berlanjut meski ada gencatan senjata yang telah berlangsung seharian.

Presiden Rusia Vladimir Putin, sementara itu, memerintahkan “jeda kemanusiaan” dari pukul 09:00 sampai 2.00 waktu setempat pada hari Selasa (27/2) untuk mengizinkan mengevakuasi warga sipil di Ghouta Timur.

Pengeboman terhadap daerah kantong pemberontak selama seminggu terakhir merupakan salah satu perang tujuh tahun terberat Suriah, yang menewaskan lebih dari 550 orang dalam delapan hari, menurut sebuah perhitungan yang dikumpulkan oleh Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia.

Penembakan yang dilakukan pihak oposisi telah menyebabkan 36 kematian dan sejumlah korban luka di Damaskus dan daerah pedesaan sekitarnya dalam empat hari terakhir, Zaher Hajjo, seorang pejabat kesehatan pemerintah, mengatakan kepada kantor berita Reuters.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyerukan segera pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan untuk gencatan senjata 30 hari di Suriah.

Berbicara di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, Guterres menggambarkan situasi di Ghouta Timur sebagai “neraka di bumi”.

“Saya mengingatkan semua pihak tentang kewajiban mutlak mereka dan hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional untuk melindungi masyarakat sipil dan infrastruktur sipil setiap saat,” katanya.

“Sama halnya, upaya memerangi ‘terorisme’ tidak menggantikan kewajiban ini,” tambahnya.
Ucapan tersebut muncul saat para dokter di daerah kantong tersebut menuduh pemerintah Suriah meluncurkan serangan gas klorin di kota Al-Shifaniyah di Ghouta Timur.

Serangan Gas

Tim penyelamat Pertahanan Sipil Suriah, yang juga dikenal sebagai Helm Putih, mengatakan pada hari Minggu bahwa setidaknya satu anak meninggal karena mati lemas.

Menurut pejabat kesehatan oposisi Suriah, korban menunjukkan gejala “sesuai dengan paparan gas klorin beracun”.

Menteri Luar Negeri Rusia mencela tuduhan bahwa gas tersebut digunakan.

“Sudah ada cerita palsu di media bahwa klorin kemarin digunakan di Ghouta Timur, dengan mengutip seorang individu tanpa nama yang tinggal di Amerika Serikat,” kata Sergey Lavrov pada sebuah konferensi pers.

Pada hari Ahad (25/2), pasukan Presiden Bashar al-Assad melancarkan serangan darat terhadap kelompok oposisi dari berbagai bidang, dalam upaya untuk menembus wilayah kantong yang terkepung, yang berada di bawah kendali oposisi sejak 2013.

Dua faksi oposisi utama di Ghouta Timur adalah Jaish al-Islam dan Failaq al-Rahman. Tahrir al-Sham, aliansi pejuang oposisi, juga memiliki kehadiran kecil di sana.

Zeina Khodr dari Al Jazeera, yang melaporkan dari Beirut di negara tetangga Lebanon, mengatakan bahwa pemerintah belum dapat mengambil “wilayah di Ghouta” sejak serangan darat dimulai.

Sedikitnya 16 orang telah terbunuh sejak Senin (26/2) pagi di Douma Ghouta Timur, aktivis lokal Alaa al-Ahmed mengatakan kepada Al Jazeera dari daerah kantong tersebut.

Sehari sebelumnya, setidaknya 27 orang di pinggiran Kota Damaskus meninggal akibat penembakan pesawat tempur Suriah yang didukung Rusia.

Pekan lalu, serangan udara mematikan dan tembakan artileri yang diluncurkan oleh pasukan Suriah dan sekutu mereka memperburuk krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah kantong yang terkepung itu, yang menampung sekitar 400.000 orang.

Pertarungan terjadi di tempat lain di Suriah saat Turki menekan serangannya terhadap milisi Kurdi di Afrin, kelompok oposisi yang bersaing saling bertarung satu sama lain di Provinsi Idlib Barat, dan sebuah koalisi pimpinan AS menargetkan ISIS di timur. Demikian dilaporkan Al Jazeera.

Moedja Adzim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *