Ketiga tokoh besar ini memberi nasihat agar para pemimpin tidak sombong dan berhati-hati karena rakyat selalu mengawasi dengan pandangan yang tajam.
Wartapilihan.com, Jakarta –Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Ia dididik Islam sejak kecil oleh orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927) dan AMS di Bandung (1930). Ia antara lain berguru kepada KH A Hassan, KH Agus Salim dan Syekh Ahmad Syurkati.
Natsir beberapa periode pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri. Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawankawannya -tokoh-tokoh Islam Masyumimendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967.
Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggiperguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur Tengah dan lain-lain.
Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya yang bernas dan mencerahkan, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya yang mencengangkan. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan. Sehingga Mr. Mohammad Roem menyatakan bahwa kalaulah Natsir itu bukan orang yang paling pandai, ia adalah seorang yang terpandai di Indonesia.
Dalam dialognya dengan Amien Rais, Kuntowijoyo dkk pada 1986-1987, Natsir mengkhawatirkan adanya penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, yaitu cinta berlebihan kepada dunia. Kata Natsir: “Umat Islam dihinggapi penyakit wahn, yakni dunia yang berlebihan dan takut mengambil risiko. Keadaan semacam ini pernah terjadi dalam sejarah, pada waktu itu para prajurit yang ikut berperang karena tergiur pada harta rampasan perang, lalu karena kelengahan dan kepongahan ini mereka dengan mudah dikalahkan musuh. Hal ini terjadi pada saat Islam mengembangkan sayapnya di daratan Eropa.
Di negara kita penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang “baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elite masyarakat). Tetapi gejala yang “baru” ini, akhir-akhir ini terasa pesat “perkembangannya”, sehingga seperti sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.
Penyakit cinta dunia ini, dengan demikian, memang bukan semata-mata permasalahan dakwah, yang harus dihadapi para mubaligh dan dai, tetapi sudah merupakan permasalahan nasional. Dalam konteks yang terakhir ini masalahnya menjadi lebih sulit ( complicated) karena bukan saja merupakan masalah ekonomi, tetapi masalah sosial, budaya, dan bahkan politik. Untuk ini terpulanglah kepada para pengambil keputusan untuk mengatasinya.”
Nasehat Natsir ini selaras dengan nasehat Mohammad al Fatih, pemimpin besar Islam yang menaklukkan Konstantinopel menjelang wafatnya:
“Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih.
Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi.
Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian…
Oleh sebab ulama itu laksana kekuatan yang harus ada di dalam raga negeri, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan berilah dia harta kekayaan. Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan jangan pula dengan banyaknya tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintupintu istanamu. Janganlah kamu sekali-kali melakukan satu hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj (pedoman) hidup kita dan dengan agama kita menang.
Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil, lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang demikian besar ini. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya. Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”
Patut juga para pemimpin negeri ini mengambil ibrah dari surat-surat Sayyidina Ali r.a. yang sangat berharga. Nasehat khalifah keempat ini adalah surat-surat yang dikirimkannya kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan atau manajemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain.
Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric. Diantara nasehatnya adalah: “Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar.
Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam. Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka.
Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan (dapat) ‘menggelapkan’ semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari halhal yang terlarang. Mereka adalah makhlukmakhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu.
Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka. Jangan katakan:”Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati”, karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu.
Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.I
Izzadina