Narasi Radikalisme Kampus dan Dosen

by

Oleh : Dr. Ahmad Sastra

Forum Doktor Islam Indonesia

Tujuan politik demokrasi adalah kekuasaan dan materi. Demokrasi tidaklah mengenal etika dan norma agama apapun. Karena itu demokrasi bersifat permisivistik dan cenderung atheistik. Agama sebagai realitas kesadaran rakyat sering dianggap sebagai candu yang berpotensi membahayakan eksistensi politik demokrasi.

Wartapilihan.com, Jakarta–Demokrasi secara genealogis adalah ideologi anti agama. Agama dalam dimensi kekuasaan demokrasi terus berusaha dilumpuhkan dan dilenyapkan. Maka jika ada semacam kesadaran keberagamaan rakyat sebagai timbangan perilaku politik demokrasi akan dianggap sebagai candu dan ancaman.

Psikologi politik demokrasi mengalami semacam kelainan jiwa yang disebut paranoid dan phobia terhadap agama. Sementara Islam adalah agama sekaligus ideologi yang menuntut umatnya untuk melakukan dakwah, perjuangan dan kebangkitan. Islam bukanlah sebatas agama, namun juga ideologi yang membangkitkan umatnya. Islam adalah ideologi yang melahirkan sistem dan peradaban.

Sebagai bagian dari peradaban Barat, maka demokrasi hanya akan memberikan peluang para intelektual dan ilmuwan yang tunduk dibawah kekuasaan pragmatis demokrasi. Seorang filosof bernama Sokrates bahkan rela dirinya mati demi mempertahankan idealisme anti demokrasi, sebab paradigma kebenaran menururt demokrasi bagi Sokrates adalah sebuah kekeliruan fatal. Bagi Sokrates, suara terbanyak tidaklah identik dengan kebenaran.

Tidak aneh bila banyak orang melihat demokrasi sesungguhnya adalah sistem yang bermasalah. Tokoh barat sendiri Winston Churchil, menyatakan, “Democracy is worst possible form of government” (demokrasi kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerinthan).

Adalah paradoks dalam demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat di satu sisi, namun menolak disisi lain, tentu jika pendapat itu berseberangan dengan paradigmanya. Kebebasan ala demokrasi adalah semu, absurd dan dusta semata. Bahkan tak tanggung-tanggung, demokrasi menuduh perbedaan pendapat yang berseberangan dengan kekuasaan dianggap sebagai bentuk radikalisme.

Karena genealogi demokrasi adalah anti Islam, maka kekuasaan demokrasi selalu menghalangi kebangkitan Islam dengan melakukan berbagai strategi jahat dan busuk. Strategi demokrasi melumpuhkan kebangkitan Islam mulai dari adu domba hingga genosida. Dan kini, demokrasi tengah menyasar kampus sebagai mimbar intelektual yang independen dengan melakukan berbagai persekusi. Paradoks demokrasi.

Berkaca dari paradigma demokrasi yang sekuler atheistik, maka keberadaan kampus dan kaum intelektual bagi ideologi ini adalah aset sekaligus musuh. Kampus sebagai wadah kaum intelektual yang mencoba menyuarakan idealisme yang bersinggungan dengan kekuasaan demokrasi akan dikriminalisasi dan dipersekusi dengan tidak adil. Sementara para pelacur intelektual yang rela menjual idealismenya demi menjilat kekuasaan akan aman dan kaya. Ironis memang.

Intervensi dan persekusi kekuasaan demokrasi terhadap kampus sebagai mimbar kebebasan intelektual yang independen adalah sebuah kemunduran suatu bangsa, jika tidak hendak disebut sebagai sebuah kejahatan dan kebodohan. Persekusi kekuasaan demokrasi kepada kaum intelektual adalah sebuah gejala paranoid yang berlebihan. Padahal selama menjadi wacana intelektual, semestinya negara memberikan mimbar diskusi argumentatif, bukan malah mengkriminalisasi.

Tugas kampus dan kaum intelektual adalah mengawal bangsa dan negara agar berjalan secara ideal, tidak bengkok dan berkhianat. Secara moral, kaum intelektual adalah satu-satunya entitas yang paling bertanggungjawab atas nasib sebuah bangsa. Peradaban besar sebuah bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran strategis kaum intelektual dan ilmuwan. Jika entitas ini justru dilumpuhkan, maka hendak kemana sesungguhnya bangsa ini mau dibawa.

Menjaga independensi kampus sebagai mimbar intelektual harus menjadi visi bersama kaum intelektual di negeri ini. Sebab kampus berdiri bukan untuk kepentingan politik praktis dan pragmatis. Kampus berdiri membawa misi generasi masa depan dan peradaban yang lebih baik. Sementara kekuasaan politik tidaklah lama, hanya seumur jagung. Rezim akan terus berganti, namun kampus harus tetap tegak berdiri mengawal visi dan moral bangsa. Adalah tidak elok jika kampus menjual idealisme kepada kepentingan politik pragmatis, sebab kampus akan kehilangan segalanya.

Dengan demikian jargon kebebasan berpendapat ala demokrasi adalah dusta belaka. Sebab yang terjadi adalah sebaliknya, kekuasaan demokrasi menempatkan wacana pemikiran kaum intelektual justru dianggap sebagai ancaman. Idealisme intelektual dianggap akan memicu kesadaran dan kebangkitan rakyat sebagai refleksi antitesis terhadap kekuasaan demokrasi yang pragmatis transaksional.

Narasi radikalisme yang dikonstruk kekuasaan demokrasi terhadap pemikiran Islam yang kini menjamur di berbagai kampus di Indonesia adalah sebuah kejahatan diktatoristik yang tidak bisa dibiarkan tumbuh. Sebab bangsa ini akan terus terjebak dalam kubangan kebodohan jika menolak berkembangnya pemikiran di kampus-kampus. Untuk apa dibangun kampus, jika pemikiran dosen dan mahasiswa justru dihambat, dipersekusi bahkan dituduh sebagai radikalisme. Bukankah diskursus pemikiran merupakan kekayaan bagi sebuah bangsa.

Narasi radikalisme kampus dan dosen adalah indikasi betapa jahatnya ideologi demokrasi dan buruknya kekuasaan demokrasi. Siapapun yang berkuasa dan memuja demokrasi, maka akan terjebak dengan kejahatan dan kebodohan ini. Siapapun bisa menjadi korban busuknya demokrasi, baik para pemimpin, profesor, pengusaha, bahkan ulama sekalipun. Indonesia adalah contoh gamblang bagi malapetaka peradaban ini.

Jika demokrasi telah dipuja, maka intelektualitas mendadak jadi kebodohan, kebenaran mendadak menjadi kesalahan, kekuasaan mendadak menjadi kezoliman, kesholehan mendadak menjadi kejahatan, perdamaian mendadak menjadi permusuhan, janji politik mendadak menjadi pepesan kosong, dan moralitas mendadak menjadi watak tak beradab serta perjuangan mendadak menjadi kemunafikan.

Demokrasi yang membawa gen sekuleristik, atheistik, pragmatis materialistik sesungguhnya adalah ideologi usang yang destruktif. Terbukti dimasa lalu telah banyak kaum intelektual kritis dan ulama pejuang menjadi korban kebiadaban kekuasaan demokrasi. Entah berapa jumlah ulama dan ilmuwan yang harus hidup dalam penjara karena idealismenya dianggap bertentangan dengan kekuasaan demokrasi. Hanya kaum intelektual dan ulama yang mau menjual idealisme dan agamanya yang akan selamat hidup dalam kegelapan demokrasi.

Jika demikian, maka mempertahankan demokrasi berarti mempertahankan kegelapan dan malapetaka peradaban sebuah bangsa. Mempertahankan kegelapan dan malapetaka adalah sebuah kedunguan. Sementara kedunguan, menurut Mohammad Iqbal adalah sebuah kejahatan.

Karena itu untuk para intelektual dan ulama, teruslah mempertahankan idealisme dan kebenaran. Jangan pernah menjadi pecundang yang akan meruntuhkan peradaban bangsa ini. Kemuliaan ada dalam kebenaran dan kejujuran, sementara kehinaan adalah dalam kebatilan dan kedustaan. Cendekiawan dan ulama harus menjaga jarak dari pragmatisme kekuasaan, sebab jika mendekat, maka akan lumpuh dan terbakar.

Tetaplah menjaga independensi kampus sebagai mimbar intelektual, sebab itulah kekayaan sebuah bangsa dalam membangun peradaban. Selayaknya kampus dan kaum intelektual dan mahasiswa menolak keras upaya kriminalisasi dan persekusi kekuasaan terhadap kampus, dosen dan mahasiswa. Jangan pernah menggadaikan visi jangka panjang kampus dengan kepentingan kekuasaan pragmatis sesaat.

Bagi kekuasaan demokrasi, siapapun penguasanya, stop dan hentikan persekusi terhadap kampus, dosen dan mahasiswa. Sebab upaya persekusi terhadap kampus selain akan merugikan bangsa ini, upaya ini juga berpotensi menjadi preseden buruk bagi perkembangan dan kemajuan peradaban bangsa ini. Berikan ruang intelektual bagi anak bangsa, jika negara ini masih ingin memiliki umur panjang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *