Oleh : Dr. Alwi Alattas (Peneliti INSISTS)
Gelombang demonstrasi yang terjadi selama seminggu lebih di Iran sejak tanggal 28 Desember 2017 menarik perhatian publik internasional. Bermula di Masyhad, kota kedua terbesar di Iran, demonstrasi menyebar ke banyak kota lainnya, termasuk Teheran. Beberapa pengamat dan media bertanya-tanya apakah Iran tengah mengalami terpaan Musim Semi Arab (Arab Spring) atau Revolusi jilid 2. Smith Alhadar, misalnya menulis di Harian Kompas (“Musim Semi Arab di Iran”, 4 Januari 2018) tentang kemungkinan ini.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Ada alasan untuk memperkirakan bahwa apa yang sedang terjadi sekarang di Iran mungkin akan berakhir seperti Musim Semi Arab yang merontokkan kekuasaan beberapa pemimpin Timur Tengah sekitar tujuh tahun sebelumnya. Namun relatif masih solidnya pemerintah Iran, kuatnya dukungan dari luar, khususnya Rusia, serta kurang adanya kepemimpinan oposisi yang menonjol di balik demonstrasi kali ini, membuat kecilnya kemungkinan rezim revolusi Iran akan terjungkal oleh gejolak sosial politik yang berlaku sekarang ini.
Bagaimanapun, situasi ekonomi di Iran saat ini menyimpan bom waktu yang akan menjadi ancaman serius bagi negeri itu jika tidak disikapi secara tepat. Semua ini, menariknya, terjadi di tengah semakin menguatnya pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah. Belum satu bulan sebelumnya Robert Fulford, misalnya, memberikan analisa di National Post (“Iran is on the March”, edisi online, 8 Des 2017) tentang menguatnya pengaruh Iran secara signifikan di Timur Tengah. Namun demonstrasi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini di Iran menunjukkan bahwa negeri itu juga punya problem internal yang tidak kecil.
Pemicu utama demonstrasi kali ini memang masalah ekonomi, seperti naiknya harga-harga kebutuhan pokok serta tingginya angka pengangguran. Demonstran menuntut pemerintah untuk menghentikan bantuan ekonomi dan militer kepada Hizbullah di Lebanon, pemerintahan Asad di Suriah, dan beberapa pihak lainnya di kawasan Timur Tengah, dan agar fokus kepada masalah ekonomi dalam negeri. Karena itu media menyebutkan adanya seruan, “Not Gaza, Not Lebanon, I Give My Life for Iran,” yang diserukan para demonstran. Hal ini kemudian diikuti juga dengan kritik keras terhadap penguasa Iran, tak terkecuali Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran selama 28 tahun terakhir.
Sumber-sumber resmi Iran sendiri, sebagaimana dikutip BBC (“Six charts that explains the Iran protests”, edisi online, 4 Januari 2018), mengungkapkan adanya persoalan ekonomi yang krusial di Iran. Inflasi di Iran pada tahun 2016 mencapai 11-12%, walaupun ini jauh turun dibandingkan tiga tahun sebelumnya yang berada di angka 31%. Menurut Menteri Dalam Negeri Iran, Abdolreza Rahmani-Fazli, pengangguran di Iran mencapai 12,4% dari angkatan kerja yang ada, sementara di beberapa daerah di Iran angka ini bisa mencapai 60%. Generasi muda merupakan yang paling besar terkena dampak dari masalah pengangguran ini.
Sebenarnya, berakhirnya boikot ekonomi terhadap Iran pada 2016 membuat Gross Domestic Product (GDP) negeri ini melonjak ke angka 12,3%. Tetapi, ekonomi Iran yang diperkirakan akan membaik secara signifikan sejak saat itu ternyata belum juga dirasakan dampak positifnya oleh masyarakat luas. Di samping apa yang telah disebutkan di atas, 15% penduduk Iran diperkirakan menjadi lebih miskin dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu yang sama, konsumsi daging, susu, dan roti oleh masyarakat Iran juga mengalami penurunan sebesar 30-50%. Harga-harga kebutuhan pokok meningkat sekitar 40% dalam setahun terakhir, termasuk harga telur yang naik drastis dan kemudian menjadi pemicu protes di Masyhad. Ini belum termasuk rencana pemotongan budjet pemerintah dan rencana kenaikan harga BBM sekitar 50%.
Kemarahan masyarakat juga tampaknya ditujukan pada kalangan dekat kekuasaan, khususnya di Teheran, yang dituding telah hidup dalam kemewahan. Kalangan kaya ini memiliki apartemen-apartemen mewah seharga jutaan dolar serta mengendarai Ferrari, Maserati, dan Porsche (“Clerical Rule, Luxury Lifestyle, nytimes.com, 10 Juni 2014). Jika sebelumnya ketimpangan ini menjadi sesuatu yang agak tersembunyi dari pandangan publik, kini muncul media sosial yang membuka diri dan mengatasnamakan sekelompok anak-anak kaya di Teheran. Kelompok anak-anak muda ini tanpa sungkan memamerkan mobil-mobil mahal hingga sandal merek Hermes seharga $1000 milik mereka lewat instagram ‘Rich Kids of Tehran” (“The Extravagant lives …”, independent.co.uk, 8 Januari 2018). Pamer kekayaan ini – entah siapa di belakang pemilik akun tersebut – menambah kegeraman masyarakat bawah Iran yang dalam beberapa waktu terakhir ini semakin merasakan kesulitan untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Di samping masalah ekonomi, korupsi juga menjadi isu penting yang diteriakkan oleh para demonstran. Beberapa laporan menyebutkan bahwa Iran masih sangat rentan dengan terjadinya korupsi pada berbagai lini pemerintahannya. Kadang kasus-kasus korupsi yang terangkat ke permukaan dan diproses di pengadilan menjadi alat untuk saling serang di antara kubu konservatif dan moderat. Sementara apa yang berada di bawah gunung es kasus korupsi ini boleh jadi lebih besar lagi.
Penduduk Iran mengeluhkan banyak hal terkait pemerintahnya sejak terjadinya Revolusi Iran: minimnya kebebasan, kasus-kasus represi oleh pemerintah, korupsi, hingga kesenjangan ekonomi. Kini keluhan masyarakat Iran telah menyentuh ke persoalan perut, sesuatu yang sangat berpotensi menimbulkan ledakan besar di negeri itu.
Bagaimanapun, demonstrasi yang telah merengut sekitar 20 nyawa serta penangkapan banyak demonstran ini kelihatannya sudah mulai mereda, setidaknya untuk sekarang ini. Pemerintah Iran menuding adanya campur tangan musuh-musuhnya, termasuk Amerika Serikat, Israel, dan Saudi, di balik gejolak yang berlaku. Kepala Revolutionary Guard Corps, Mayjen Mohammad Ali Jafari, baru-baru ini berkata, “Hasutan sudah berakhir; dengan pertolongan Allah, mereka pasti kalah” (Erickson, “Iran’s protests are fading”, washingtonpost.com, 4 Januari 2018).
Negeri-negeri yang bermusuhan dengan Iran sudah tentu mengharapkan tumbangnya pemerintah Iran lewat aksi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini. Tetapi melemparkan tudingan ke pihak luar untuk masalah mendasar yang ada di dalam negeri tentu tidak akan membuat keadaan negeri itu menjadi lebih baik. Apa yang tengah berlaku di Iran belakangan ini sebetulnya menunjukkan secara cukup jelas bahwa yang menjadi musuh utama pemerintah Iran adalah dirinya sendiri. Sumber-sumber kekacauan perlu dicari di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah Iran sendiri.
Penyangkalan dan pengabaian atas adanya masalah di dalam negeri sama sekali tidak dapat dikatakan bijaksana. Namun pengabaian semacam ini tampaknya bukan baru pertama kali terjadi.
Afshin Molavi dalam artikelnya, “Buying Time in Tehran” (Foreign Affairs, vol. 83, No. 6, Nov-Des 2004, 9) menyebutkan bahwa seorang ajudan Khomeini pernah menyatakan kekhawatirannya tentang inflasi yang terjadi di negeri itu pasca Revolusi. Khomeini menolak kekhawatiran itu sambil berkata, “revolusi ini bukan berkenaan dengan harga semangka.” Bagaimanapun, naiknya harga “semangka” dan berbagai kebutuhan pokok lainnya secara signifikan cepat atau lambat akan menimbulkan kegoncangan. Merosotnya ekonomi dan inflasi jelas merugikan masyarakat Iran dan sewaktu-waktu bisa memicu kemarahan dan perlawanan, seperti yang berlaku dalam beberapa hari terakhir ini.
Kesulitan ekonomi, korupsi, dan berbagai persoalan dalam negeri lainnya mungkin tidak sampai membuat pemerintah Iran terjungkal saat ini, terlebih ketika mayoritas militer, polisi, dan ulama masih relatif kompak mendukung rahbar (pemimpin tertinggi Revolusi Iran). Namun sampai berapa lama hal itu akan bertahan? Mungkinkah itu seusia rahbar yang memimpin sekarang ini? Hanya sejarah yang mengungkapnya suatu hari nanti. II