Mudik sebagai Dzikrul Maut

by

Pulang ke kampung akhirat seharusnya lebih diperjuangkan ketimbang bersusah payah kembali ke kampung halaman.

WartaPilihan, Jakarta – Pekan ini, Bangsa Indonesia menggelar ritual tahunan kolosal yakni mudik lebaran. Orang mudik dari Jakarta ke Jeketro (Jawa Tengah), dari Oslo (Norwegia) ke Solo (Jateng), dari Belgia ke Balige (Sumut), dari Korea ke Kroya (Jateng), dari Puerto Rico ke Purwokerto, dan seterusnya.

Secara lughawi, ‘’mudik’’ berasal dari kata “udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ia berarti ‘’sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau (daerah) di hulu sungai’’. Konotasinya adalah sumber yang orisinil dan jernih, yang bisa dimaknai sebagai orangtua, keluarga, atau kampung halaman.

Dalam konteks ini, silaturahim adalah ajang untuk menjernihkan dan menyambungkan (clearing) hubungan. Sebagaimana dikatakan Nabi SAW: ‘’Bersilaturahim adalah menyambung yang putus’’ (HR Bukhari). Selanjutnya, kesinambungan hubungan berdampak pada tersambungnya (bertambah) usia dan rejeki.
Mudik juga obat mujarab untuk kelelahan jiwa yang diderita para insan di rantau, terutama kaum marginal. Clinard dalam bukunya Slums and Community Development mengatakan, kaum urban kelas bawah merupakan kelompok masyarakat yang secara sosial dicampakkan, secara budaya dihina, secara ekonomi diperas, secara politik dimanfaatkan, dan oleh masyarakat yang telah mapan mereka ditekan.
Nah, dengan mudik, kaum urban jelata kembali ke habitat asli, yang langka mereka temukan di rantau. Yakni, hidup saling mengenal dan menumbuhkan semangat kebersamaan (in group feeling). Habitat yang menimbulkan perasaan aman, damai, dan tenteram. Di tengah kerabat dan sahabat sekampung, mereka meras di-wongke kembali.
Bagi yang ‘’sukses’’ di rantau, mudik bisa menjadi semacam ‘’pembuktian diri’’. Menurut Ketua Majelis Fatwa dan Pusat Kajian Strategis Dewan Dakwah, Ustadz Zain An Najah, tak ada salahnya pemudik menampakkan sukses yang diraihnya di rantau selama ini, asalkan tidak bermuatan riya’, ujub, tabdzir, yang berpotensi memicu social jealous. Sebab, menampakkan sukses dapat merupakan salah satu cara mensyukuri nikmat Allah. Sebagaimana firman-Nya: ‘’Adapun nikmat Tuhanmu makan kabarkanlah’’ (QS 93:11). Demikian juga wasiat Rasulullah SAW: ‘’Allah senang melihat nikmat-Nya (ditampakkan) oleh hamba-Nya.’’
Dengan segenap maknanya itu, tak heran bila mudik menjadi ritual massal tahunan. Meskipun perjalanan pulang kampung ini sangat berat secara fisik, kejiwaan, maupun finansial, ia tetap menjadi tradisi.
Dalam catatan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR), setidaknya ada delapan problem tetap yang mengancam pemudik lebaran setiap tahun. Meliputi keamanan dari gangguan kriminalitas, kemacetan, pelanggaran tarif, bencana alam, hilangnya fasilitas lalu lintas, penyalahgunaan narkoba, kondisi jalan dan jembatan, serta disiplin lalu lintas yang rendah.
Jumlah pemudik Lebaran 2017 diperkirakan 29 juta orang. Pengguna transportasi umum 19,04 juta dan kendaraan pribadi 9,55 juta. Transportasi umum meliputi bus 4,32 juta pemudik, perahu/kapal 3,98 juta, kereta api 4,37 juta, kapal laut 0,96 juta, dan pesawat 5,40 juta. Adapun moda transportasi pribadi meliputi sepeda motor 6,07 juta dan mobil 3,48 juta. Resiko celaka tertinggi pemudik bermotor. Mudik tahun lalu, kecelakaan pemotor mencapai 3.766 kasus (70%).
Di sisi lain, tingginya kecelakaan lalulintas mudik dan korban tewasnya, mengingatkan pada kematian. ‘’Kematian adalah tiket mudik ke kampung akhirat,’’ kata Ustadz Hendy Irawan saleh dari Daarul Qur’an.
Alumnus Ponpes Darussalam Gontor itu menuturkan, tak kurang dari enambelas kali Al Qur’an menyebut kata  raaji’uun,  yang artinya mudik ke haribaan Allah SWT, mudik ke kampung akhirat nan kekal alias surga. Misalnya dalam Surah Al Baqarah 156.
Oleh karena itu, lanjut Ustadz Hendy, visi hidup seorang muslim adalah masuk surga. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an Surah Al Fajr 27-30: Duhai jiwa-jiwa yang tenang; Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya; Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku; Masuklah ke dalam surga-Ku.
Maka, jika mudik lebaran begitu kita bela-belain sampai titik keringat, darah, dan airmata serta isi kantong penghabisan, tidakkah kita mengerahkan segala daya upaya hidup terbaik untuk kembali ke kampung akhirat? ‘’Bukankah kampung dunia tidak ada apa-apanya dibanding kampung akhirat?’’ tandas Ustadz Hendy, sambil mengutip firman Allah: Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Al An’aam: 32).
Dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? (Al A’raaf: 169).
Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Yusuf: 109).
‘’Karena itu, mari kita jadikan mudik lebaran sebagai bagian dari persiapan mudik ke kampung akhirat. Mudiklah dengan niat yang lurus dan cara yang benar,’’ imbau Ustadz Hendy Irawan. (nurbowo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *