Kesenjangan ekonomi antara yang miskin dan kaya semakin lebar. Dipicu oleh minimnya kesempatan masyarakat di daerah mendapat layanan publik. Efek pembangunan juga belum dirasakan secara langsung.
Wartapilihan.com, Jakarta –Meski Pemerintah berupaya terus mempertahankan pertumbuhan perekonomian dalam negeri, namun pemerataan kesejahteraan masih jauh panggang dari api, bahkan cenderung terjadi ketimpangan yang semakin lebar dari waktu ke waktu.
Tengok saja temuan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid). Lembaga ini baru saja merilis Indeks ketimpangan di Indonesia yang tumbuh dari 4,4 pada 2016 menjadi 5,6 pada tahun lalu. Ranah yang paling berperan sebagai sumber ketimpangan sosial yakni penghasilan 71,1%, pekerjaan 62,6%, rumah 61,2%, harta benda 59,4%, dan kesejahteraan keluarga 56,6%.
Dilihat dari paling kuatnya pemicu persepsi, ketimpangan penghasilan memang berdampak pada menurunnya daya beli pada kepemilikan rumah dan harta benda, pendidikan, dan kesehatan.
Dan juga, meskipun indeks ketimpangan yang biasanya ditunjukkan dari gini ratio yang diukur dari pendapatan terus menurun, tidak demikian dengan kekayaan. Kepemilikan harta antara golongan miskin dengan yang kaya sangat jauh perbedaannya.
Selama lima tahun terakhir, 50% penduduk Indonesia kekayaannya turus turun, dari 3,8% dari total kekayaan nasional menjadi 2,8%. Sementara itu, 1% penduduk terkaya memiliki 45% dari total kekayaan nasional.
Besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Meskipun hampir 98% jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.
Kelompok miliarder di Indonesia meraup dua pertiga kekayaannya dari praktik bisnis yang berbasis pertemanan, atau jaringan (crony sectors), yang dimungkinkan karena kedekatannya dengan kekuasaan.
Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika Crony-Capitalism Index Indonesia bertengger di peringkat ketujuh dunia. Posisi Indonesia pada tahun 2016 itu memburuk dibandingkan tahun 2007 dan 2014.
Di sisi lain, dunia juga tengah menghadapi perubahan corak produksi yang berbasis pada kemajuan teknologi. Perubahan yang dinamakan ‘Revolusi Industri 4.0’ tersebut akan menghasilkan jenis pekerjaan baru yang menuntut keterampilan dan keahlian tertentu.
Karenanya, pemerintah memiliki berbagai tantangan khusus yang harus segera diselesaikan, agar ketimpangan kesejahteraan ini tidak bertambah lebar, salah satunya adalah memperbaiki pelayanan publik di daerah.
Ini agar generasi berikutnya mendapatkan awal yang lebih baik dalam pelayanan publik di daerah, sehingga dapat memperbaiki peluang kesehatan, juga pendidikan.
Penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih baik dan peluang melatih keterampilan bagi tenaga kerja di daerah juga perlu ditingkatkan. Sementara program pelatihan keterampilan dapat meningkatkan daya saing pekerja yang tidak sempat mengenyam pendidikan berkualitas.
Selain itu, Pemerintah dapat membantu menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik melalui investasi lebih besar di bidang infrastruktur, iklim investasi yang lebih kondusif, dan perundang-undangan yang fleksibel.
Pemanfaatan dana perpajakan dan anggaran belanja pemerintah juga perlu diprioritaskan untuk mengurangi ketimpangan saat ini dan di masa depan.
Pemerintah juga perlu merancang sistem perpajakan yang lebih adil dengan memperbaiki sejumlah peraturan perpajakan yang saat ini mendukung terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang.
Pemerintah, memang terus berusaha untuk mengurangi ketimpangan antara lain dengan fokus pada pembangunan infrastruktur di wilayah yang dianggap terisolasi. Namun pembangunan infrastruktur dampaknya tidak akan langsung dirasakan oleh warga setempat. Butuh antara lima hingga delapan tahun setelah dibangun, agar berdampak.
Karenanya selain pembangunan yang baru berdampak dalam jangka panjang, pemerintah harus lebih banyak membuat program pro rakyat kecil yang efeknya bisa dirasakan secara langsung.
Rizky Serati