Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki naluri saling membutuhkan, Islam telah mengatur jelas perkara halal dan haram. Bagaimana hukum menggunakan peralatan masak dan menerima hidangan dari non muslim?
Wartapilihan.com, Jakarta –Menjalin hubungan silaturahim yang baik termasuk dengan tetangga non-Muslim merupakan implementasi dari keimanan seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda dengan makna: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (Muttafaq ‘alaih).
Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Dr KH Hasanuddin AF MA mengatakan, dalam hal masakan yang mereka olah, lalu dikirim kepada umat Islam, maka ada qiyash atau analogi dengan riwayat yang menjelaskan, kalau dalam kondisi perang, memasuki daerah kaum kafir, kemudian
mereka sudah ditundukkan, menyerah kalah lalu memerlukan makan, maka peralatan masak mereka tidak boleh dipergunakan sebelum disucikan sesuai dengan kaidah syariah.
“Tegasnya, ada hadits yang melarang menggunakan alat masak orang kafir, khususnya mereka yang diketahui masih mengonsumsi makanan yang diharamkan Islam seperti babi dan anjing, serta meminum khomer (miras) dari gelas-gelas mereka. Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Husaniy berkata: Saya bertanya, wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah Ahlul Kitab, bolehkah kami makan dengan bejana mereka? Beliau saw menjawab: “Janganlah engkau makan dengan bejana mereka kecuali jika engkau tidak mendapatkan yang lain. Oleh karena itu bersihkanlah dahulu dan (setelah bersih, baru dibolehkan) makanlah dengan bejana tersebut.” (Muttafaq Alaihi),” ujar Hasanuddin seperti dilansir Divisi Informasi Halal LPPOM MUI kepada Warta Pilihan.
Dalam hadits riwayat Imam Muslim, lanjutnya, shahabat yang bertanya tadi memiliki tetangga ahlul kitab yang masak babi dan minum khamar. “Kami bertetangga dengan Ahli Kitab. Mereka memasak babi di periuk-periuk mereka dan meminum khomer di gelas-gelas mereka? Kemudian Rasulullah Saw menjawab: Jika kalian dapati yang lain maka makan dan minum dari bejana-bejana yang selainnya. Jika
kalian tidak dapati selainnya, maka cucilah bejana-bejana ahli kitab
itu dengan air dan lalu makan dan minumlah dengannya.”
“Dengan demikian, kalau ada kiriman masakan dari mereka, maka harus ditinggalkan. Namun sebagai adab bertetangga, kiriman masakan itu boleh diterima, tetapi tidak boleh kita konsumsi. Karena hukumnya, minimal adalah syubhat, atau bahkan terlarang dengan tegas berdasarkan nash tersebut. Sebagai perbandingan, ada seorang teman baik pernah membeli ayam olahan di pasar. Ternyata si penjualnya adalah orang Budha. Lalu ditanyakan kepadanya, “Siapakah yang menyembelih ayam ini?” “Saya sendiri pak,” kata orang Budha itu. Karena sudah terlanjur dibayar, maka ayam olahan itu dibawa, lalu kemudian dibuang atau diberikan kepada hewan peliharaan. Sebagai bentuk kehati-hatian, sikap Wara’ yang utama, meninggalkan hal yang meragukan, demi untuk menjaga agama yang insya Allah diridhoi Allah, sesuai dengan tuntunan Nabi saw,” saran dia.
Hal ini, kata Hasanuddin, juga selaras dengan hadits Nabi saw dari Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw dan kesayangannya, ia berkata: “Aku telah hafal (hadits) dari Rasulullah
Saw: ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [H.R. Imam at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i].
Dalam kisah yang masyhur, Abu Bakar pernah berusaha memuntahkan susu yang telah diminumnya, karena asal-muasal susu yang meragukannya. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ayah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq memiliki seorang budak yang
setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut.
Suatu hari, (Lihat bahjatun Nadzirin, 1/649), budak tersebut membawa sesuatu (makanan), maka Abu Bakar memakannya. Lalu budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?” Abu Bakar pun balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?” Budak itu menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan
praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang anda makanan ini.” Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”. (HR. Bukhari).
“Kisah ini menggambarkan tingginya ketakwaan dan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau sangat berhati-hati dalam menjaga anggota badan beliau dari mengkonsunmsi makanan yang
dianggapnya syubhat, atau meragukan, dan inilah aplikasi dari sifat wara’ yang sebenarnya,” ujarnya.
Satya Wira