Utusan khusus PBB untuk Myanmar mendesak dunia internasional agar situasi di Myanmar dibawa ke Pengadilan Internasional.
Wartapilihan.com, Yangon – Myanmar “tidak mampu dan tidak mau” untuk menyelidiki pelanggarannya terhadap Muslim Rohingya, seorang utusan hak asasi PBB mengatakan. Ia juga menggaungkan seruan agar para jenderal negara itu harus diseret ke pengadilan internasional.
Sebuah misi pencarian fakta PBB telah meminta petinggi Myanmar untuk diselidiki atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang atas penumpasan brutal terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine yang memaksa lebih dari 720.000 orang dari kelompok minoritas yang terkepung melarikan diri ke Bangladesh.
Myanmar telah menepis tuduhan itu, mengecam badan PBB bertindak bias, dan pemerintah telah membentuk komite sendiri untuk menyelidiki kejahatan tersebut.
Namun demikian, pelapor khusus PBB untuk Myanmar Yanghee Lee – yang dilarang memasuki negara itu sejak Desember – mengatakan bahwa pemerintah Myanmar telah menunjukkan sedikit kapasitas untuk penyelidikan yang tidak bias terhadap kekerasan. Ia mengatakan bahwa pihak Myanmar telah mengambil “langkah terbatas dan tidak cukup”.
“(Myanmar) tidak mampu dan tidak mau melepaskan kewajibannya untuk melakukan investigasi dan penuntutan yang kredibel, cepat, menyeluruh, independen, dan tidak memihak,” kata Lee dalam laporan yang ia terbitkan melalui akun Twitter-nya pada hari Senin (8/10).
Mengingat penolakan Myanmar untuk meminta pertanggungan jawabnya sendiri, tambahnya, kini tinggal menunggu pengadilan internasional untuk mencari keadilan.
“Tanggung jawab ada pada komunitas internasional untuk mengambil tindakan,” dia memperingatkan. “Setiap penundaan dalam menegakkan keadilan hanya akan menghasilkan lebih banyak pelanggaran.”
Dalam kesimpulannya dia merekomendasikan PBB harus “segera merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional”.
Bagian utara Rakhine telah ditutup sejak kekerasan meletus Agustus lalu dengan wartawan dan pengamat hanya diizinkan untuk berkunjung dalam perjalanan singkat dan dikawal.
Penyelidik PBB – yang menulis laporan penemuan fakta – tidak diizinkan masuk ke negara itu, sementara Lee telah dilarang memasuki Myanmar sejak Desember karena kritik tajamnya terhadap perlakuan pemerintah terhadap Rohingya.
Lee mengatakan bahwa dia telah meminta izin India untuk bertemu pengungsi Rohingya di sana, tetapi tidak mendapat tanggapan dari Delhi.
Pemimpin de facto Myanmar Suu Kyi – yang pernah dianggap oleh komunitas internasional sebagai ikon demokrasi – telah melihat kejatuhan tajam dari penghargaan yang didapatkannya setelah penolakannya untuk berbicara menentang militer.
Misi pencarian fakta PBB telah menunjukkan bahwa upaya pemerintahnya untuk menutupi fakta telah memperburuk situasi untuk Rohingya yang diperangi.
Lee juga memperingatkan akan kekhawatiran atas menurunnya kebebasan pers di Myanmar setelah wartawan Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo dipenjara selama tujuh tahun masing-masing setelah melaporkan peran militer dalam pembantaian 10 pria Rohingya di Desa Inn Din di Rakhine utara.
Menggambarkan penuntutan mereka sebagai “palsu”, dia meminta pasangan itu segera dibebaskan.
Militer membantah hampir semua tuduhan genosida yang dilontarkan terhadapnya, bersikeras bahwa “operasi pembebasan” diperlukan untuk memerangi militan Rohingya.
Pengadilan Kriminal Internasional telah memutuskan bahwa penyelidikan akan dilanjutkan karena Bangladesh – yang telah menerima pengungsi Rohingya yang melarikan diri melintasi perbatasan – adalah penandatangan undang-undang Roma yang menciptakan pengadilan.
Myanmar belum menandatangani undang-undang dan seorang menteri mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa pemerintahnya menolak “intervensi yang meragukan”. Demikian dilaporkan AFP.
Moedja Adzim