Mengawinkan Semiotika dan Sirah?

by
foto:istimewa

Kali ini kita akan membahas buku Teori Semiotika karya Prof. Umberto Eco. Edisi bahasa Inggrisnya pertama kali diterbitkan tahun 1976. Umberto Eco penulis kenamaan yang juga seorang semiolog, filsuf dan sejarawan asal Italia, diakui sebagai intelektual terkemuka dunia pada masanya.

Wartapilihan.com, Jakarta –Saat ini mendiang Eco lebih dikenal sebagai penulis novel. Novel-novel yang ditulisnya pun bukan novel biasa, melainkan novel yang punya bobot sejarah dan semiotika sangat tinggi.

Novel utamanya, The Name of the Rose (1980 edisi Italia, 1983 edisi bahasa Inggris) merupakan mahakarya dalam literatur novel abad 20. Bagi mereka yang gemar novel sejarah dan kebudayaan Eropa, The Name of the Rose ibarat suatu bacaan wajib. Novel yang berkisah tentang pembunuhan misterius di sebuah biara pada Abad Pertengahan ini terjual lebih dari 50 juta eksemplar. Fenomenal sekali bukan!? Jadilah profesor semiotika Universitas Bologna ini mendapat kedudukan tinggi baik dalam dunia akademis maupun sastra.

Awal 2016 lalu kala ia tutup usia, dunia telah kehilangan seorang raksasa intelektual sekaligus sastrawan hebat. Penilaian pribadi saya, novel The Name of The Rose melebihi Da Vinci Code-nya Dan Brown dari segi kerumitannya. Untuk menikmati novel Eco tersebut dengan maksimal, mesti memiliki banyak pengetahuan tentang budaya Eropa Abad Pertengahan sekaligus punya basic ilmu semiotika.

Theory of Semiotics, edisi bahasa Indonesianya diterbitkan penerbit Kreasi Wacana tahun 2009 dengan judul Teori Semiotika. Sungguh, buku yang saya (penulis) miliki paruh kedua tahun 2011 ini termasuk buku yang sangat berat dipahami. Bahkan sempat buku ini tersimpan di lemari saya lebih dari setahun lantaran saya gak ngerti-ngerti. Padahal di tahun yang sama, saya juga membaca buku-buku yang secara bobot intelektual agak ‘berat’, seperti 2 jilid Teori Tindakan Komunikatif Jurgen Habermas dan Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault, tetapi Teori Semiotika Eco dibanding buku-buku tadi masih ‘lebih juara’ soal rumitnya.

Untunglah melalui diskusi-diskusi dengan salah seorang dosen saya di UNJ yang ahli teori-teori kebudayaan saya jadi gandrung dengan semiotika. Di samping itu belakangan saya juga membaca bukunya Yasraf Amir Piliang, pakar semiotika Tanah Air dari ITB, berjudul Semiotika dan Hipersemiotika yang banyak fragmennya menafsirkan pemikiran Teori Semiotika Umberto Eco. Walhasil, kunci-kunci ilmu semiotika pun terbuka.

Semiotika telah berdampak besar ke ranah ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial, seperti cultural studies, ilmu komunikasi, antropologi, sosiologi, arsitektur, sastra, sinematografi, desain, hingga psikologi. Semiotika adalah ilmu tentang tanda (sign) beserta segala aspek pemaknaannya. Pemaknaannya pun harus bersifat konvensi sosial maupun budaya, bukan pemaknaan yang bersifat individual.

Dalam buku Teori Semiotika ini Eco memuat empat bahasan, dimulai dari suatu Logika Kebudayaan sebagai pengantar menuju pemahaman terhadap konsep-konsep teori semiotika; lalu membahas Signifikasi dan Komunikasi, lantaran Eco membedakan antara semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi sebagai dua cabang utama ranah semiotika; lalu teori kode di mana melalui kode-kode tertentu fungsi, isi dan makna tanda digunakan; serta teori produksi tanda, yakni membahas sebuah produksi atau ‘lahirnya’ tanda, serta mengapa tanda itu digunakan dengan cara-cara tertentu. Maklum, semiotika bukan hanya membahas tanda dalam arti “lambang-simbol” visual atau bersifat fisik, melainkan juga hampir seluruh aspek kehidupan manusia, semisal perkataan, perbuatan, atau sesuatu lain yang abstrak.

Eco sendiri mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang memuat aspek-aspek untuk berdusta (lie). Tanda yang menjadi objek bahasan semiotika merupakan sebuah cultural entity, kapan dan di mana saja bisa disalahgunakan memuat pesan yang tak sesuai realitas. Inilah dusta yang dimaksud Eco, bukan dusta secara harfiah, melainkan semacam simulasi yang membuat masyarakat yang menafsirkan/memaknai tanda itu tidak sesuai kenyataan yang direpresentasikannya.

Dengan demikian, wajar saja jika Teori Semiotika Eco sering kali dihubung-hubungkan dengan diskursus postmodernisme, seperti konsep-konsep hiperealitas, simulasi dan simulacra dari Sosiolog dan Filsuf kondang Perancis Jean Baudrillard yang sezaman dengan Eco. Baudrillard yang seorang pemikir utama postmodernisme pernah menuliskan konsepnya ini dalam karyanya Simulacra and Simulations (1981) bahwa masyarakat modern ‘terpaksa’ masuk dalam alam hiperealitas karena banyak dari aspek-aspek kehidupan modern sesungguhnya merupakan rekaan dari sebuah realitas, bahkan seringkali tidak berhubungan dengan realitas.

Sebagai contoh adalah pencitraan, seperti jaringan warung kopi raksasa Starbucks. Timbul dalam masyarakat kita anggapan kalau yang nongkrong di Starbucks adalah “modern”, “gaul”, “kelas menengah ke atas”, atau citra-citra positif serta ‘keren’ lainnya. Padahal warung kopi yang lebih direkomendasikan oleh coffeeholics sangatlah banyak, kendati mungkin tidak sebesar jaringan Starbucks. Penandaan dan pemaknaan ini telah memuat citra yang tidak sesuai realitanya, bahkan seringkali bisa membuat suatu perilaku tertentu dalam masyarakat. Misalnya, seolah nongkrong di warkop Starbucks adalah yang ‘paling keren’. Tanda eksisistensi diri, dan bisa jadi untuk menunjukan sesuatu yang glamour, yang hendak dibangga-banggakan melalui selfie yang disebar ke medsos misalnya. Yes, inilah garapan ilmu semiotika.

Contoh lain dalam diskursus Sirah Nabawiyah, citra Rasulullah dan kaum Muslimin oleh masyarakat Romawi Byzantium dianggap membahayakan budaya kekristenan, bar-bar, dan mengancam kekaisaran. Itu mengapa pembesar Romawi menjadi murka ketika Heraclius membahas kemungkinan menerima Islam di hadapan mereka. Tetapi Heraclius yang lebih cinta kerajaannya ketimbang kebenaran, akhirnya pun memilih memerangi Islam.

Di sini terjadi semacam rekayasa dan distorsi terhadap Islam sebagaimana mestinya, uniknya hal itu diciptakan sendiri oleh pembesar Romawi yang memang menolak apa pun sejak awal selain nilai-nilai trinitas Kristen. Apalagi Islam diasumsikan mengancam kedudukan mereka. Riwayat kejadian tadi ada di kitab Shahih Al-Bukhari, Muslim, Thabaqat Al-Kubra, Tarikh Ath-Thabari dan Dalail An-Nubuwwah Al-Baihaqi. Akhirnya masyarakat Romawi pun membenci Islam. Itu mengapa suku Ghassan yang merupakan Arab-Romawi (Arab Kristen loyalis Romawi) tega membunuh utusan Madinah kala hendak ke Bashrah, dengan restu Romawi. Padahal seorang Kisra Raja Persia yang beringas pun tidak sampai membunuh seorang utusan. Pencitraan tersebut membuat antara anggapan dan realitas ‘kehilangan kontaknya’ dalam alam pikiran Romawi.

Belum lagi, dakwah Rasulullah merupakan contoh ideal komunikasi. Di sinilah teori semiotika bisa dikawinkan dengan Sirah, tentu maksudnya dalam menganalisis. Dalam fenomena-fenomena masyarakat serta kebudayaan dalam Sirah saja, semiotika bisa berperan dalam menganalisis. Apalagi dalam ranah komunikasi, lantaran Rasulullah dan para sahabat merupakan komunikator hebat dalam menyampaikan pesan dakwah yang tiada bandingnya.

Hingga…kelak suatu hari ada karya sirah yang bisa menganalisis fenomena-fenomena budaya dan komunikasi yang terjadi dalam Sirah melalui semiotika. Namun dengan tetap mempertahankan worldview (tashawur) Islam serta konsep-konsep ajaran Islam dalam paradigma maupun sudut pandangnya. Agar memperkaya historiografi Islam kita nantinya. Begitulah Prof Akram Dhiya’ Al-Umari berpesan kepada kita dalam adikaryanya Sirah Nabawiyah Shahihah.

Ilham Martasyabana, penggiat sirah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *