Mengapa Kedubes AS Tidak Boleh Pindah ke Yerusalem?

by
foto:istimewa

Oleh : Salim R (Salman ITB)

Yerusalem, yang dikenal di dunia Islam sebagai Al-Quds, adalah tempat suci tiga agama besar dunia: Islam, Kristen dan Yahudi. Di kota ini terdapat Bukit Bait Suci dan Tembok Barat (Tembok Ratapan) kepunyaan bangsa Yahudi. Berdiri pula Gereja Makam Kudus milik umat Kristiani, serta Kubah Batu Karang (Dome of The Rock) dan Masjid Al-Aqsha tempat suci kaum Muslimin. Kota Tua dan situs-situs sucinya ini diresmikan sebagai bagian UNESCO World Heritage Site pada 1981.

Wartapilihan.com, Jakarta –– Mengapa pemindahan kedubes ini menjadi masalah besar? Baru-baru ini, janji Presiden AS Donald Trump untuk mengukuhkan Yerusalem sebagai ibukota Israel telah menimbulkan kontroversi dan kemarahan di seantero dunia. Trump akan melakukan ini dengan memindahkan Kedubes AS ke Al-Quds. Meskipun hingga enam bulan ke depan Kedubes AS masih akan tetap berada di di Tel Aviv, Trump menyampaikan bahwa pemindahan ke Yerusalem akan terjadi “sesegera mungkin”. Departemen Luar Negeri AS telah diperintahkan untuk mengantisipasi kekerasan dalam berbagai aksi protes di seluruh dunia jika pemerintahan Trump secara resmi mengumumkan pemindahan tersebut.
Jika Amerika Serikat memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem, secara efektif AS mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini akan menjungkirbalikkan kesepakatan internasional selama 70 tahun, dan menurut banyak pihak, akan menyiratkan akhir dari upaya perdamaian Israel dan Palestina.

Awalnya, rencana Pemisahan dari PBB (UN Partition Plan) pada tahun 1947 menetapkan kota Yerusalem sebagai “kota internasional” yang utuh tak terbelah. Namun, Perang Arab-Israel 1948, yang kemudian diikuti Deklarasi Kemerdekaan Israel, membelah kota tersebut. Ketika perang berakhir pada 1949, batas gencatan senjata—biasa disebut Green Line karena digambar dengan tinta berwarna hijau—memasukkan wilayah barat Yerusalem dalam kontrol Israel, sementara Yordania mengontrol bagian timurnya, termasuk Kota Tua yang tersohor itu.
Selama beberapa waktu Green Line tersebut memisahkan teritori Israel dan Palestina menjadi Yerusalem Timur (Palestina) dan Yerusalem Barat (Israel), meskipun Israel bersikeras menganggap kota tersebut sebagai suatu kesatuan (di bawah kendali mereka).
Hal ini berubah saat Perang Enam Hari 1967, Israel merebut Yerusalem Timur. Sejak itu, seluruh kota jatuh ke dalam kontrol Israel. Penduduk kota ini (yang berkebangsaan Israel) merayakan “Hari Yerusalem” pada akhir Mei atau awal Juni. Namun, rakyat Palestina dan banyak negara lain tetap memandang Yerusalem Timur sebagai ibukota masa depan negara Palestina.

Apakah ada negara yang menempatkan kedubesnya di Yerusalem?

Sebelum tahun 1980, sejumlah negara menempatkan kedutaan besarnya (untuk Israel) di Yerusalem, termasuk Belanda dan Kosta Rika. Pada bulan Juli 1980, Israel mengesahkan undang-undang yang menyatakan bawah Yerusalem adalah ibukota Israel bersatu. Dewan Keamanan PBB merespon langkah Israel ini dengan mengeluarkan Resolusi 478 (20 Agustus 1980)
yang melarang Israel membuat undang-undang yang menyatakan perubahan status Yerusalem. Perubahan status itu dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Semua negara yang membuat perwakilan diplomatik di Yerusalem diminta agar menutupnya.
Negara-negara sahabat Israel beramai-ramai memindahkan kedubesnya dari Yerusalem ke Tel Aviv akibat mengikuti resolusi PBB tersebut. Kosta Rika dan El Salvador menjadi negara terakhir yang melakukannya pada tahun 2006. Saat ini, sekitar 86 negara memiliki kedubes di Tel Aviv dan tak satupun yang menempatkan kedubesnya di Yerusalem. Beberapa negara masih menempatkan konsulat di Yerusalem, namun berfungsi sebagai perwakilan bagi otoritas Palestina, seperti Inggris dan Prancis.

Bagaimana sebenarnya posisi Amerika?

Kedubes Amerika Serikat sampai saat ini berada di Tel Aviv. Kediaman Duta Besar AS untuk Israel terletak di Herzliya Pituach, sekitar 30 menit berkendara ke utara. Situasinya menjadi lebih rumit ketika pada 1989, Israel mulai menjual sebidang tanah di Yerusalem bagi Amerika Serikat untuk membangun kedubes barunya di sana. Pembelian kavling ini dicicil selama 99 tahun dengan cicilan US$ 1 per tahun. Sampai hari ini, kavling tersebut belum pernah dibangun dan tetap kosong.

Pada tahun 1995, para pelobi Israel berhasil mendorong Kongres AS mengesahkan undang-undang yang mengharuskan Amerika Serikat memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Para pendukung undang-undang tersebut menegaskan bahwa AS harus menghormati dan mengakui pilihan Israel menjadikan Yerusalem sebagai ibukotanya.

Jadi, mengapa kedutaan Amerika belum juga dipindah?

Setiap presiden AS sejak 1995—Presiden Clinton, Bush, dan Obama—telah menolak memindahkan kedubesnya, dengan alasan tindakan tersebut berisiko bagi kepentingan keamanan nasional AS. Setiap enam bulan, para presiden ini menggunakan hak “presidential waiver”, yaitu hak presiden untuk menunda penerapan aturan perundang-undangan tertentu, agar pemindahan kedubes ini tidak terlaksana.

Bagi Israel, tidak banyak yang akan berubah. Saat ini pun, kantor dan kediaman resmi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ada di Yerusalem. Parlemen Israel berkedudukan di Yerusalem, begitu juga Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri. Para pemimpin dunia yang berkunjung ke Israel selalu melakukan lawatan ke Yerusalem untuk bertemu dengan para pejabat tinggi Israel.

Namun deklarasi pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem akan punya makna simbolis yang mendalam dan makin menyulitkan proses perdamaian Israel-Palestina. Pemerintahan Otoritas Palestina telah memperingatkan bahwa mengubah status Yerusalem akan berarti tamatnya upaya perdamaian. Uni Eropa, Jerman dan Perancis juga sudah mendesak Donald Trump agar tidak mengambil tindakan gegabah mengubah status quoYerusalem. Organisasi Kerjasama Islam, OKI, yang beranggotakan 57 negara mengatakan, mengubah status Yerusalem adalah “agresi telanjang” terhadap dunia Arab dan Muslim.

Organisasi Liga Arab menyatakan bahwa langkah ini akan menjadi “tindakan berbahaya yang bakal berakibat buruk” di seluruh Timur Tengah. Arab Saudi, sekutu penting Amerika Serikat, juga sudah bereaksi keras menentang langkah Donald Trump. Max Fisher seorang kolumnis New York Times, dalam artikelnya (09/12) menulis bahwa langkah Trump ini membuat perdamaian dan negara Palestina menjadi semakin kecil kemungkinannya (less likely) terwujud.

Begitupula dengan Budhiana Kartawijaya, wartawan senior HU Pikiran Rakyat dan Sekretaris Dewan Pakar Salman ITB. “Ya pasti mengecam. Karena Trump memotong proses negosiasi damai,” tegasnya. Masyarakat Muslim Indonesia dan seluruh dunia telah menunjukkan sikap yang senada. Para pemimpin negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) berkumpul di Istanbul Turki Rabu (13/12/2017) untuk mengambil sikap atas keputusan Trump memindahkan kedubes AS ke Yerusalem. Presiden RI Joko Widodo yang turut hadir menyampaikan enam usulan. Diantara keenam usulan tersebut, adalah ajakan kepada negara-negara lain untuk tidak mengikuti langkah Amerika memindahkan kedubesnya, serta seruan bagi negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel untuk meninjau kembali hubungan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, OKI juga mengumumkan bahwa Yerusalem adalah ibukota Palestina dan menyerukan masyarakat internasional untuk mengikuti jejaknya.

So, apa aksi kalian untuk menyelamatkan Yerusalem? II

Sumber:
The Jerussalem Issue, Explained (The New York Times, Dec 9th 2017 by Max Fisher )

Why moving the US embassy to Jerusalem is so controversial (CNN, Dec 6th 2017 by Oren Liebermann |)

Pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem Bisa Berakibat Fatal (Deutsche Welle, 11/12/2017 )

Soal Yerusalem, Menlu RI Mulai Galang Dukungan Internasional (Republika, 11/12/2017 )

OKI Deklarasikan Jerusalem sebagai Ibukota Palestina
Bicara di KTT OKI, Jokowi Sampaikan Enam Usulan soal Yerusalem

Wawancara Budhiana Kartawijaya via Whatsapp, Selasa (12/12/2017)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *