Pidato Megawati Januari 2018 di Hari Ulang Tahun PDIP ke-45 ini ‘lebih lunak’ dibanding dengan pidatonya pada HUT PDIP ke-44, 2017 lalu. Politik PDIP Jelang Pilkada 2018?
Wartapilihan.com, Jakarta –-Pada pidatonya beberapa hari lalu (10/1/2018) di JCC Jakarta, sebagaimana biasanya, Mega mengawali salam berbagai agama : Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Damai Sejahtera untuk kita semua, Om Swastyastu, Namo Buddhaya. Ketua Umum PDIP ini memberi judul pidatonya dengan judul : Pancasila Bintang Pentuntun Indonesia Raya.
Setelah menyampaikan penghormatan kepada tokoh-tokoh yang hadir, Megawati mengingatkan jati diri partai. “Alhamdulillah kita panjatkan kehadiran Allah Yang Maha Esa, ternyata PDI Perjuangan mampu melewati badai hujan sejarah, 45 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 10 Januari 1973, Partai Nasional Indonesia atau PNI, Partai Kristen Indonesia atau Parkindo, Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia atau IPKI dan Musyawarah Rakyat Banyak atau Murba melakukan fusi dengan nama Partai Demokrasi Indonesia atau yang terkenal dengan PDI. Pada 1 Februari 1999 yaitu saat Kongres ke 5 karena PDI ketika saya sebagai ketua umumnya, tidak diizinkan untuk ikut pemilihan umum kecuali mengubah nama. Maka dalam keputusan Kongres ke 5 itulah PDI mengubah namanya menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berideologi Pancasila 1 Juni 1945,” terangnya.
‘Berbeda’ dengan pidatonya tahun lalu –yang meragukan kehidupan akhirat- dalam pidatonya kali ini, putri Soekarno menyatakan pentingnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. “Saya paparkan sedikit soal sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jejak historis bangsa Indonesia menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi bangsa Indonesia, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bintang penuntun utama untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mengejar kebajikan, menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mengejar kebaikan. Oleh sebab itu, di dalam Pancasila, Ketuhanan dimasukkan dengan nyata dan tegas sebagai sila pertama. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila, Bung Karno menjabarkan, mengamanatkan, menegaskan maksud dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!” Pemahaman dan pengamalan sila pertama seperti yang dipesankan oleh Bung Karno tersebut, sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya yakin, lima sila dalam Pancasila pun adalah jawaban terhadap problem multi dimensi dunia di abad 21. Jadi, Pancasila tetap relevan di abad ini.”
Di sini Mega menyatakan dengan jelas bahwa negara Indonesia adalah satu negara yang ber Tuhan. Tampaknya ini untuk menampik pendapat-pendapat yang deras di luar bahwa PDIP pro dengan PKI atau kaum ateis. Di luar teks pidato, Mega juga menyatakan terus terang kecamannya terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa PDIP dan Jokowi adalah PKI.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, tidak dimaknai Mega dengan tauhid (ketuhanan dalam Islam). Beda dengan penafsiran tokoh kemerdekaan Mohammad Hatta yang menyatakan bahwa sila pertama itu bermakna tauhid. Hal itu dinyatakan Hatta ketika melobi Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo (18 Agustus 1945) agar mau mengganti bunyi sila pertama ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mega juga memaparkan tentang demonstrasi massa yang terjadi akhir-akhir ini. Apakah ini berkaitan dengan Reuni Aksi 212? Hanya ia yang bisa menjawabnya. Cermati pidatonya : “Pengorganisiran massa pun dapat dilakukan dengan memanfaatkan hoax. Tujuannya, untuk menciptakan “massa yang tidak sadar”, yang akan dengan mudah dikerahkan, digunakan bagi kepentingan politik apapun. Pada peristiwa-peristiwa tertentu, massa “patuh” seperti ini dapat diperalat dan dilibatkan dalam tindakan kekerasan yang memberangus kemanusiaan, tanpa perlu paksaan. Jika dikaji secara mendalam, praktek-praktek tersebut berpangkal dan berujung pada bagi-bagi kekuasaan dalam politik. Yang pada akhirnya tidak lebih dari persoalan kapital. Karena itu tidak-lah mengherankan jika era post-truth kemudian melahirkan politisi-politisi populis. Suatu sistem ekonomi yang jelas bertentangan dengan sistem ekonomi Pancasila.”
Pidato Megawati 2017
Pada pidato HUT PDIP ke-44 (10/1/2017), di tempat yang sama, Mega jauh lebih galak. Pidato Mega tahun lalu, membuat Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab melaporkan Megawati ke kepolisian. Karena Mega dalam pidatonya meragukan kehidupan akhirat.
Cermati pidato Mega tahun lalu –yang tentu pidatonya dibuat tim PDIP bersama Mega, “Apa yang terjadi di penghujung tahun 2016, harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap tendensi hidupnya “ideologi tertutup”, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup dari masyarakat. Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter, dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula. Bagi mereka, teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan. Syarat mutlak hidupnya ideologi tertutup adalah lahirnya aturan-aturan hingga dilarangnya pemikiran kritis. Mereka menghendaki keseragaman dalam berpikir dan bertindak, dengan memaksakan kehendaknya. Oleh karenanya, pemahaman terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan pun dihancurkan, bahkan dimusnahkan. Selain itu, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolelir karena kepatuhan total masyarakat menjadi tujuan. Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Di sisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.”
Walhasil, apakah pidato Mega yang lunak pada HUT PDIP 2018 ini untuk menjaga suara PDIP di Pemilu 2018? Wallahu a’lam. Yang jelas dalam Pilkada kali ini, PDIP di beberapa daerah juga berkoalisi dengan ‘partai koalisi umat’. Dan pada 8 Januari 2018 lalu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengunjungi Harian Republika untuk menjelaskan tentang hubungan yang baik Soekarno dan Islam.
Tentu bagi Imam Besar FPI Habib Rizieq, langkah-langkah PDIP ini perlu dicermati. Karena hubungan PDIP/Soekarno dengan Islam (tokoh-tokoh Islam) berwarna hitam putih. Tidak putih semuanya. Wallahu alimun hakim. II
Nuim Hidayat Dachli