Wartapilihan.com, Jakarta – Ketua Tanfidziah PBNU, Marsyudi Shuhud mengkritisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23 Tahun 2017. Sebab, sampai saat ini, Madrasah Diniyah (MD) di Indonesia ada 70.000 dan muridnya mencapai 7 juta orang.
“Permendikbud ini berpotensi menciptakan radikalisme, jangan sampai pelajaran Tauhid tidak masuk sehingga anak senang terhadap agama tetapi tidak paham terhadap agamanya,” kata Marsyudi dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/6).
Wasekjen DPP PBNU Bidang Pendidikan ini menyoroti Pasal 5 yang mengatur tentang ekstrakulikuler. Sebab, dari 10 kegiatan ekstrakulikuler, kegiatan keagamaan ditempatkan di posisi terakhir.
“Yang ke 10 baru tentang keagamaan. Inilah yang disebut Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah di ekstrakulikulernya Permen (peraturan menteri) baru ini menjadi nomor buntut. Artinya hanya mendapatkan sepersepuluh dari porsi ekstrakulikuler,” tegasnya.
Seharusnya, lanjut Marsyudi, kurikulum MD 2017 adalah kurikulum yang mengacu pada KTSP 1983. Artinya, MD harus ada yang ngurusi yaitu Departemen Agama. Kurikulum MD Takmiliyah Awwaliyah (SD) dengan 18 jam/minggu. Kurikulum MD Takmiliyah Wustho (SMP) 2 tahun dengan 18 jam/minggu dan urikulum MD Takmiliyah Ulya (SMA) 2 tahun 18 jam/minggu dengan kurikulum akhlaq, Al Qur’an, hadits, tarikh, aqidah, imla, dan muatan lokal.
“Saya menyarankan Pemerintah mewajibkan madrasah diniyah untuk seluruh agama baik Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan lain sebagainya. Jangan berlindung di pendidikan karakter. Kebijakan pemimpin harus mendatangkan maslahat. Jangan sudah mendapatkan ayam tetapi masih mau burung,” tandasnya.
Dalam kesempatan sama, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ashrorun Niam Sholeh menanyakan di dalam Permendikbud tidak ada yang menjelaskan secara eksplisit maupun implisit soal opsionalitas.
“Pengejawantahan revolusi mental ketika diturunkan ke pendidikan karakter itu masih masuk akal, tetapi kalau penambahan jam ini tidak berdasarkan logika. Kami melihat angka kekerasan turun, tetapi angka bullying cukup naik signifikan di satuan pendidikan,” kata Ashrorun.
KPAI melihat, setelah melakukan telaah kepada Kemendikbud, ada pertentangan secara teknis termasuk pelibatan masyarakat tidak optimal. Kebijakan menambah jam sekolah dengan alasan kurangnya pengawasan dari orang tua karena sibuk kerja menurutnya logika masyarakat urban.
“Revolusi mental perlu dukungan semua pihak, salah satu indikasinya adalah penguatan karakter. Tujuan yang baik harus di implementasikan dengan cara yang baik, tidak boleh ada residu permasalahan yang merusak nilai-nilai masyarakat,” imbuhnya.
Terakhir, ia menyarankan Kemendikbud untuk melakukan rembug dengan Kemenag, Pesantren dan pihak yang terkait. Idealnya, kata Ashrorun regulasi ini adalah Perpres (PP) karena lintas Kementerian.
“KPAI sedang melakukan kajian, apabila tidak ada revisi Permen tersebut, kemungkinan kami akan judicial review kepada Mahkamah Agung,” tutupnya.
[Ahmad Zuhdi]