Manasik haji merupakan peragaan pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan rukun-rukunnya; tetapi dalam tataran makna, manasik sejatinya berasal dari kata nusuk, atau jamak dari nasikah yang bermakna binatang yang dikurbankan.
Wartapilihan.com, Jakarta – Dengan kata lain, manasik haji sangat berkaitan erat dengan kurban, atau menyembelih binatang. Menurut Ustadz Kuswandani Muhammad Yahdin, penyembelihan binatang kurban juga memiliki makna berupa momen penyembelihan sifat kebinatangan di dalam diri; artinya, bukan sekedar berkurban binatang kemudian dibagikan, dan dimakan bersama, setelah itu selesai.
Ia pun mengutip Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 196 yang dikatakan, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban….”
“Dengan demikian, prosesi haji penuh dengan simbol. Seperti larangan memotong kuku atau memotong rambut adalah sebuah simbol bahwa jamaah membawa dirinya apa adanya untuk kemudian dibersihkan atau dipotong di Tanah Suci. Ketika berhaji, manusia harus menghajikan semua aspek tubuhnya, lambang bahwa manusia itu harus mengislamkan semua aspek wujudnya,” terang Kuswandani, Selasa, (14/8/2018).
Lebih lanjut dia menjelaskan, ketika berhaji, Allah ingin melihat hambaNya datang dengan penuh ketaatan, dengan kesadaran penuh dengan apa yag menjadi perintah dan larangan.
Simbol lain pun ada pada lima titik yang menjadi pintu miqat. Pintu miqat ini adalah perlambang lima panca indra manusia, dan tiga sisi ka’bah melambangkan pikiran, hawa nafsu dan syahwat.
“Untuk masuk ke rumah Allah harus melalui pintu depan dimana terdapat maqam ibrahim, bagi manusia kebanyakan maqam Ibrahim hanya merupakan simbol sejarah, tanpa mengetahui maknanya yakni keberserahdirian, sehingga adanya maqam Ibrahim di pintu Ka’bah memberi sebuah penjelasan bahwa untuk memasuki rumah Allah, sang hamba harus memiliki keberserahdirian, seperti dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS,” tegasnya.
Adapun thawaf, yaitu merupakan perlambang orbit diri. Setiap hamba hendaknya mengelilingi Allah sesuai dengan orbit yang Dia ciptakan untuk kita. Orbit tersebut bermakna apa yang dimudahkan dalam kehidupan, seperti minat, bakat, dan takdir hidup yang mengarah kepada satu kemisian hidup seorang manusia di muka bumi.
“Perjalanan sa’i tidak kalah bermaknanya. Selain menapak-tilasi perjalanan Siti Hajar saat berlari kecil penuh harapan akan adanya air dan kemudian saat air yang dilihat hanya fatamorgana, beliau berlari kecil menuju Ismail dengan penuh kecemasan. Hal ini adalah representasi hidup manusia, ada harapan dan ada kecemasan, silih berganti,” tukas dia.
Hal ini, terang Kuswandani, Allah ciptakan sebagai sebuah ruang bagi hamba untuk kembali kepadaNya; berdoa agar tetap terbimbing saat memperoleh harapan, dan tetap berdoa minta tuntunan Allah saat menghadapi kecemasan agar tidak terjerumus.
“Hal ini adalah khauf dan roja’, jika sang hamba dapat menyikapi dengan benar maka Allah akan menganugerahkan air kehidupan kepada dirinya, sama seperti air zamzam yang memancar dari kaki Ismail.
Jika perjalanan haji atau umrah dimaknai dengan benar, dan dijalankan dengan penuh kesadaran akan pemaknaan tersebut, maka insya Allah haji atau umrah akan menjadi transformasi jiwa, atau menjadi haji yang mabrur,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini